Tangerang Selatan, Humas BRIN. Pusat Riset Fisika Kuantum – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyelenggarakan Kolokium Fisika Kuantum BRIN, pada Jumat (9/9). Kolokium daring yang diangkat adalah SCC-DFTB Method for Computational Quantum Chemistry Framework oleh Wahyu Dita Saputri dari PR Fisika Kuantum.
Dita mengatakan metode SCC-DFTB (Self Consistent Charge – Density Functional Tight Binding) merupakan metode komputasi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi sifat struktur dan dinamika dari suatu material atau senyawa kimia. “Metode SCC-DFTB merupakan aproksimasi dari metode DFT sehingga dapat mengakomodir sifat struktur elektronik suatu material/senyawa,” papar alumnus S3 UGM.
Dirinya menjelaskan kelebihan dari metode SCC-DFTB adalah proses perhitungannya yang relatif lebih cepat dibandingkan metode ab initio. “Metode ini dapat diaplikasikan pada beberapa framework, seperti kalkulasi energi, dinamika elektron, transfer elektron, dinamika molekuler, dan lain-lain,” jelas periset kelahiran tahun 1993.
Sebagai informasi, acara Kolokium yang diikuti oleh mahasiswa, dosen, dan peneliti ini diselenggarakan dua kali setiap bulannya, dengan menghadirkan pembicara dari internal PR Fisika Kuantum BRIN maupun pembicara tamu dari luar BRIN. Topik yang disajikan sangat beragam terkait berbagai fenomena kuantum, baik dari ranah fundamental, hingga aplikasi teknologi dari cabang fisika partikel hingga ke fisika material. (hrd/ ed: adl)
Tangerang Selatan – Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM) mengembangkan riset nanomaterial untuk sensor dan baterai. Kedua topik riset ini dibahas melalui webinar ORNAMAT seri keenam secara daring dengan mengusung dua tema yakni riset tentang Nanomaterial untuk Sensor dan Aplikasi Komputasi Density-Functional Tight-Binding (DFTB) untuk bahan elektroda baterai, Selasa (12/07).
ORNM Ratno Nuryadi menyampaikan bahwa webinar kali ini ORNM menampilkan para periset muda untuk tampil. “Dari statistik sampai dengan pemetaan yang ke-6, sivitas ORNM akan mencapai 500 periset. Dilihat dari komposisi umurnya, yang berada dalam kisaran 21-30 tahun ada 16%, umur 31-40 tahun ada 40%, umur 41-50 tahun 21%, dan sisanya lebih dari 50 tahun. Ini pertanda yang baik sivitas ORNM banyak yang berusia muda. Semoga peran dan mobilitas sebagai periset di ORNM bisa maksimal dengan lingkugan seperti ini,” ujarnya.
Webinar ini menghadirkan dua narasumber, yakni Ni Luh Wulan Septiani dari Kelompok Riset Fungsional Dimensi Rendah Pusat Riset (PR) Material Maju dengan tema ‘Rekayasa Nanomaterial untuk Sensor Gas Berkinerja Tinggi’ dan Wahyu Dita Saputri dari Kelompok Riset Simulasi dan Desain Nanomaterial – PR Fisika Kuantum, dengan tema ‘Aplikasi Metode Komputasi Density-Functional Tight-Binding (DFTB) pada Optimasi Konfigurasi Antrakuinon sebagai Kandidat Bahan Elektroda Baterai Sodium’.
“Kedua tema ini saling beririsan karena sama-sama di bidang material. Kalau dilihat satu persatu, sensor di sini sangat luas aplikasinya, seperti sensor lingkungan, sensor untuk mendeteksi parameter fisik dan lain sebagainya. Sensor ini merupakan perangkat yang saat ini memiliki tidak hanya dari sisi dasar, tetapi miliki peluang pasar yang cukup besar. Di pasar global, sensor memiliki peningkatan setiap tahun. Tahun 2019 mencapai 530 juta dolar AS, dan perkiraan tahun 2026 1,3 miliar dolar AS, dengan kenaikan pertumbuhan tahunan gabungan 11% lebih,” terang Ratno.
Demikian pula Baterai yang memiliki potensi dari sisi aplikasi atau dilihat dari sisi sains dasar dan terapan. “Banyak diaplikasi dikehidupan sehari-hari sehingga pasar global baterai cukup tinggi. Di tahun 2020 mencapai 46 miliar dolar AS dengan pertumbuhan 6% lebih di tahun 2030, bisa mencapi 80 miliar dolar AS. Ini menandakan bahwa riset di bidang sensor dan baterai memiliki potensi yang sangat menarik dan strategis,” imbuhnya.
Ratno berhadap dengan adanya webinar ini para periset dan mitra bisa saling berbagi. “Ini akan melahirkan diskusi-diskusi dan peluang kolaborasi yang bisa kita eksplorasi ke depannya,” tuturnya.
Pada kesempatan ini, pemateri pertama Ni Luh Wulan Septiani memaparkan akan bahaya sulfur dioksida (S02). “Gas ini merupakan unsur berbahaya yang bersumber dari industri, transportasi, dan aktivitas gunung berapi. Gas S02 ini jika terhirup manusia dapat menggangu saluran atau kerusakan pernafasan. Yang lebih rentan yang terkena S02 ini adalah orang tua dan orang-orang dengan riwayat penyakit paru-paru dan anak-anak. Untuk memonitoring konsentrasi gas S02 diperlukan alat sensor gas,” jelasnya.
“Sensor gas ini harus memiliki respon, sensitivitas, selektivitas yang tinggi, waktu respon yang cepat, waktu pulih cepat, temperatur kerja rendah, stabil, dan waktu hidup yang panjang. Untuk mendapatkan kriteria yang maksimal, diperlukan rekayasa berupa morfologi yang berhubungan dengan luas permukaan. Rekayasa antarmuka biasanya oksida logam atau material aslinya didekorasi dengan material lainnya, sehingga menghasilkan efek-efek yang dapat meningkatkan sensivitas, respon, mempercepat reaksi permukaan, dan komposit mirip dengan rekayasa antarmuka,” tambahnya.
Ni Luh Wulan juga menyebutkan bahwa dengan modifikasi gabungan dapat meningkatkan kinerja secara signifikan, dan modifikasi ZnO dengan Multi-Walled Carbon Nanotube (MWCNT) dapat meningkatkan respon selektivitas juga menurunkan temperatur kerja.
Dalam kesempatan yang sama, pemateri kedua Wahyu Dita Saputri mempresentasikan material katoda berbasis antrakuinon. “Mengapa kami memilih antrakuinon (AQ) karena memiliki nilai ekonomi, ramah lingkungan, kapasitasnya 257mAh/g, tetapi struktur molekulnya dapat dimodifikasi untuk mendapatkan kapasitas dan potensial redoks lebih tinggi,” ucapnya.
Antrakuinon juga memiliki kekurangan yaitu performa silkus yang rendah karena kelarutannya tinggi pada elektrolit. “Cara mengatasinya yaitu dengan AQ yang dapat terenkapsulasi pada permukaan karbon. AQ memiliki permukaan dan volume pori luas, dan pori terbentuk rapi, sehingga konduktivitas elektrik lebih baik, dan adanya interaksi ? – ? antara AQ dan karbon. Latar belakang pemakaian baterai AQ karena berlimpahnya pada kerak bumi sekitar 23.000 ppm, sementara litium 7 ppm,” paparnya.
Menurut Wahyu Dita, penelitian ini ada dua jenis, yaitu komputasi yang merupakan kerja sama antara BRIN dan University of Innsbruck Austria, serta eksperimen yang dikerjakan oleh Institute for Physical Chemistry University of Innsbruck. “Metode komputasi sangat banyak sekali, ada beberapa jenis yang secara garis besar menggunakan metode medan gaya. Proses AQ ini lebih efektif yang dibuktikan dengan penelitian oligomer antrakuinon,” sebutnya.
“Potensi penelitian selanjutnya yakni bisa bekerja sama tentang AQ yang digantikan komposisinya dengan proses oligomerasi, sehingga dapat dibentuk kandidat bahan elektroda lebih lanjut,” pungkasnya. (esw/ ed. adl)
Tangerang Selatan, Humas BRIN. Organisasi Riset Elektronika dan Informatika (OREI) serta Organisasi Riset Nanoteknologi dan Mineral (ORNM) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berkolaborasi mengadakan webinar dengan tema ‘Aspek Riset Elektronika, Informatika, Fisika Energi Tinggi dan Nuklir pada Kolaborasi Riset Internasional ALICE (A Large Ion Collider Experiment)-CERN’, yang dilaksanakan secara daring pada Selasa (21/6).
Webinar ini menghadirkan tiga narasumber, yakni Suharyo Sumowidagdo (Periset Pusat Riset Fisika Kuantum), Esa Prakasa (Kepala PR Sains Data dan Informasi BRIN), dan Rfiki Sadikin (Plt. Kepala Pusat Riset Komputasi BRIN).
Dalam sambutannya Kepala OREI BRIN Budi Prawara menyampaikan bahwa webinar ini merupakan kolaborasi riset. “ALICE merupakan salah satu fasilitas milik organisasi Eropa terkait riset nuklir untuk mengakselerasi proton dan ion dengan energi yang tinggi. Kolaborasi riset dengan ALICE sudah dimulai sejak tahun 2014 yang lalu, periset kita diwakili oleh Rifki Sadikin melalui LIPI yang kemudian menjadi full member di tahun 2014,” ujarnya.
“Kolaborasi riset global ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas periset kita melalui interaksi dan kolaborasi dengan periset dari berbagi penjuru dunia dengan topik-topik riset terkini dan pelopor di bidangnya,” tambah Budi.
Saat ini BRIN sedang memproses addendum perjanjian dengan ALICE, dengan ini kita mengharapkan bertambahnya kolaborator dari Indonesia.
“Webinar ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait dengan kerjasama. Untuk sementara kita mengusulkan agar partisipasi lembaga-lembaga Indonesia dibentuk sebagai institusi. Anggota pendiri klaster ini adalah BRIN, Universitas Indonesia (UI), dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Klaster ini akan menjadi ALICE Indonesia yang nantinya akan disingkat menjadi alice.id,” jelas Budi.
BRIN akan menjadi lembaga utama ALICE dan bertangung jawab untuk menyelenggarakan klaster sekretariat, serta menyediakan infrasktruktur penelitian, seperti komputer khusus koneksi jaringan, ruang laboratorium, dan ruang kerja bersama. BRIN akan menyediakan dana untuk partisipasi periset atau siswa dalam ALICE ini.
Skema asisten tersedia untuk partisipasi dalam jangka pendek sebagai contoh untuk waktu sampai dengan 1 tahun. Saat ini BRIN sedang menjajaki juga program degree by research, yakni gelar dengan skema penelitian tersedia untuk program gelar pascasarjana. Programnya 2 tahun S2 dan 3 tahun untuk mahasiswa doktoral. UI dan IPB akan menyediakan infrastruktur untuk mendidik mahasiswa magister dan Doktor serta pemberian gelar. Mahasiswa nanti akan dibimbing oleh dosen dari UI dan IPB serta supervisor dari BRIN.
“Saya berharap webinar dari ketiga narasumber ini akan dapat bermanfaat bagi kita semua dan memberikan motivasi bagi kita, untuk dapat terus berkontribusi. Khususnya para periset di area riset fisika kuantum, kemudian material maju, dan elektronika informatika maju,” tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala ORNM BRIN, Ratno Nuryadibr memberikan sambutan bahwa webinar ini merupakan sebuah acara yang sangat penting dan membanggakan untuk kita semua. “Kita dapat berdiskusi dalam mengeksplorasi peluang-peluang yang bisa diberikan pada kolaborasi riset internasional di tingkat global khususnya ALICE di Swiss,” ucapnya.
“Selama ini kita telah menunjukkan bagaimana kontribusi yang diberikan Indonesia ke internasional, khususnya ALICE dalam hal infrastruktur. Seiring dengan intergasi BRIN kita sadar bersama bahwa BRIN ini sekarang sangat luas bidang riset didalamnya. BRIN memiliki banyak OR dan PR dengan lingkup latar belakang riset yang bervariasi,” urai Ratno.
“Semoga dengan adanya webinar ini kita bisa menggali potensi-potensi kerja sama dan menjadi ajang sosialisasi bagi periset yang sudah melakukan riset diALICE dan berpengalaman, serta webinar ini dapat menjadi pembelajaran bagi kita untuk membuka kira-kira peluang yang bisa kita eksplorasi untuk berkontribusi dalam kolaborasi ditingkat global,” tuturnya.
Suharyo Sumowidagdo dalam presentasi ini menyampaikan materi tentang ‘Pengenalan Kolaborasi Riset ALICE-CERN dan Riset Fisika, Instrumentasi, dan Elektronika pada ALICE-CERN’.
“ALICE adalah sebuah konsorsium atau kolaborasi terdiri dari banyak institusi yang sudah bersepakat bekerja sama dalam suatu topik penelitian. Hal ini memerlukan konstruksi untuk pembuatan instrumen penelitian yang besar, dalam hal ini ALICE dan terletak di lokasi yang khusus dalam hal ini CERN. Operasionalnya memakan waktu lama dan membutuhkan kepakaran dan SDM yang banyak,” jelas Suharyo.
ALICE beranggota 40 negara dan 173 institusi pada saat ini sedang dikembangkan materi paling panas yang diciptakan manusia di laboratorium dengan cara menumbukan partikel ion timbal.
“Alat akselerator merupakan alat eksperimen, ada beberapa sub detektor dan memiliki fungsi masing-masing, serta partikel ion-ion. Jika ada tumbukan maka akan dideteksi oleh detektor. Large Hadron Collider (LHC) dan detektor memiliki jadwal operasional. Apabila periode run akselerator berjalan, detektor mengambil data. Jika long shut down, akselerator berhenti dan detektor bisa diakses. Pada saat akselerator berjalan ada radiasi yang sangat tinggi, sehingga detektor ditutup tidak dapat diakses,” urai Suhayo.
Pemateri kedua, Esa Prakasa, pada webinar memaparkan materi tentang ‘Riset informatika pada kolaborasi ALICE-CERN: Studi Kasus Pendekatan Computer Vision untuk QC Detektor ITS (Inner Tracking System)’.
ALICE adalah fisika partikel berskala besar dan berjangka panjang percobaan. Eksperimen dilakukan di CERN, Swiss. Proyek ALICE sedang melakukan studi komprehensif tentang hadron, elektron, muon, dan foton yang dihasilkan dalam tumbukan inti berat. ALICE juga mempelajari tumbukan proton-proton dan proton-nukleus, keduanya sebagai perbandingan dengan tumbukan nukleus-nukleus.
“Secara singkatnya kami mengamati tumbukan partikel yang nantinya akan dilacak pergerakan partikel seperti apa. Selama proses tumbukan posisi dari partikel-partikel di dalam LHC akan direkam dengan sensor berupa chip yang jumlahnya sekitar 20.000. Sensor chip yang dipasang dalam detektor Inner Tracking System (ITS) ini merupakan yang paling awal, karena dalam satu tempat lintasan ada tumbukan lain, dan ini akan ada beberapa detektor lain di dalam radius yang lebih lebar,” terang Esa.
“Detektor ITS ada beberapa lapisan semacam silinder yang tersusun dalam ribuan atau puluhan ribu sensor chip yang disebut dengan inner layer, middle layer, dan outer layer,” imbuh Esa.
“Pada kolaborasi ALICE ini kami merekam permukaan, baik itu sensor itu sendiri maupun pemasangan dan dihitung dengan logaritma untuk kemudian sebagai pembanding. Algoritma berbasis visi telah diterapkan untuk menilai kualitas chip, dalam hal properti 3D, integritas tepi chip, cacat permukaan, dan penyelarasan chip pada permukaan detektor,” lanjutnya.
Kemudian algoritma berbasis visi dapat digunakan untuk meningkatkan, tidak hanya kualitas chip sensor itu sendiri, tetapi juga dapat memastikan kualitas data eksperimen yang diperoleh oleh sensor yang dibangun. “Data yang dikumpulkan dari beberapa tahap berpotensi dianalisis dengan metode baru lainnya. Metode inspeksi visual akan diperlukan dalam proyek peningkatan di masa mendatang. Metode inspeksi juga dapat diterapkan dalam kegiatan manufaktur lainnya,” jelas Esa.
Pemateri ketiga Rifki Sadikin tampil dengan paparan materi ‘Riset komputasi pada kolaborasi ALICE-CERN: Studi Kasus Koreksi Space-Charge Distortion pada Detektor TPC (Time Projection Chamber)’.
Dalam kesempatan ini Rifki menyampaikan keterlibatannya dalam proyek kerja sama dengan ALICE. “Kami terlibat di bagian komputasi terkait metode numerik dan pengolahan data di eksperimen ALICE pada salah satu detektor TPC. Secara kolaborasi kami terlibat dalam piranti lunak pengolahan datadan koordinasi komputasi. Saat ini kami juga di bagian rekontrasi dan kalibrasi aplikasi yang dibuat untuk membantu kontruksi jalannya detektor tersebut,” bahasnya.
“Cara kerja detektor dengan besar diameter 5 meter panjang 5 m, yaitu mendeteksi elektron yang melintas di tutup silinder. Hasil gambar dari silinder adalah memang lintasan yang terdeteksi. Sampai saat ini kami masih mengembangkan produk ini,” pungkas Rifki. (esw/ed: adl)