Categories
Uncategorized

Melalui Riset Kimia dan Fisika, BRIN Buka Peluang Kolaborasi dengan Mitra

Tangerang Selatan, Humas BRIN. Organisasi Riset Nano Teknologi dan Material (ORNM) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kembali menggelar serial webinar ORNAMAT kesembilan yang dilaksanakan secara daring pada Selasa (23/8), dengan mengangkat dua tema yakni ‘Pirolisis Biomassa untuk Menghasilkan Biofuels dan Bahan Kimia’ dan ‘Syarat Batas bagi Medan Fermion pada Sistem dengan Area Terbatas (Confinement System)’. Kegiatan webinar ini dilakukan dalam upaya mendukung penguatan iklim riset, akumulasi pengetahuan, dan sarana membuka peluang kolaborasi bagi mitra, baik internal maupun eksternal BRIN.

Mewakili Kepala Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material BRIN, Yenny Meliana menyampaikan harapannya akan webinar ORNAMAT ini. “Melalui webinar ORNAMAT, ke depannya diharapkan BRIN khususnya di ORNM, banyak mitra yang berminat untuk menjalin kolaborasi dengan periset BRIN,” sambutnya.

Lebih lanjut Yenny menjelaskan bahwa baik pada kegiatan post-doctoral, visiting research, visiting professor, dan webinar ini, bisa menambah suasana dan dinamika riset di lingkungan ORNM agar menjadi semakin bagus ruang lingkupnya. “Dua tema ini mudah-mudahan membawa ilmu baru dan menambah ilmu pengetahuan baik dari sivitas ORNM maupun dari rekan-rekan di luar BRIN,” harap Kepala Pusat Riset (PR) Kimia Maju ini.

Pada webinar ini menampilkan dua narasumber yakni Dieni Mansur dari Kelompok Riset Termokimia PR Kimia Maju dan Ar Rohim, pascadoktoral pada Kelompok Riset Fisika Teori Energi Tinggi PR Fisika Kuantum.

Pirolisis Biomassa untuk Biofuels dan Bahan Kimia

Dalam paparannya, Dieni Mansur mempresentasikan topik pirolisis biomassa untuk menghasilkan biofuels dan bahan kimia. Materi ini sangat menarik dalam mendukung program pemerintah mengenai pengurangan pemanasan global di Indonesia khususnya. Proses menghasilkan energi listrik menggunakan bahan bakar fosil seperti batu bara di PLTU, dapat mengakibatkan terjadinya pemanasan global. Hal ini terjadi karena peningkatan gas emisi rumah kaca.

“Untuk mengatasinya, maka diusahakan teknologi co-firing, yakni biomasa berupa pellet atau sampah digunakan untuk mensubtitusi batu bara pada rasio tertentu sebagai bahan bakar untuk pembangkit,” terangnya.

Sejalan dengan isu penyediaan listrik yang berbasis biomassa, penggunaan bahan bakar nabati seperti biosolar yang merupakan campuran solar dan biodiesel juga ditingkatkan persentasenya oleh pemerintah, mulai dari B20 sampai dengan B100.

Penggunaan biodiesel ini dari minyak sawit ini digolongkan sebagai biofuel generasi pertama yang berkompetisi dengan bahan makanan, di mana minyak sawit digunakan sebagai minyak goreng. “Agar tidak terjadi kompetisi dengan minyak makan, dibuat pengembangan biofuel generasi kedua, maka yang digunakan adalah biomassa lignoselulosa menggunakan proses pirolisis,” ucap Dieni.

Dirinya kemudian menjabarkan tentang proses pirolisis. “Priolisis merupakan pemecahan dekompisisi termal pada suhu tinggi biasanya suhu 300-600 derajat celcius tanpa adanya oksigen. Proses priolisis biomassa menghasilkan tiga produk utama, yaitu bio-oil, gas, dan char yang dipengaruhi oleh laju pemanasan dan suhu terhadap bahan bakunya,” jelasnya.

Biasanya jika laju pemanasan lambat itu akan membentuk dua fase pirolisis yakni bio-oil untuk bahan bakar dan asap cair. Aplikasi untuk asap cair yang telah kami lakukan memiliki beberapa fungsi, misalnya menghambat pertumbuhan mikroba dan menyembuhkan luka. Hal itu tergantung pada bahan baku yang digunakan, seperti kayu putih, sekam padi, dan tempurung kelapa,” ungkapnya.

“Sementara char adalah residu yang digunakan sebagai pengganti batu bara, tetapi kualitas char tergantung pada jenis bahan baku yang digunakan,” imbuhnya.

Menurutnya, pirolisis oil dari biomassa lignaselulosa berpotensi untuk menghasilkan bahan kimia, contohnya asam asetat, metanol, furfuril alkohol, fenol, dan aseton. Bio-oil dari biomassa lignaselulosa setelah hidrodeoksigenasi, berpotensi sebagai biofuel karena nilai kalor naik. “Bio-oil dari proses co-pirolisis biomassa lignoselulosa berpotensi sebagai biofuel karena senyawa hidrokarbonnya tinggi,” urainya.

Dieni juga mengajak peserta webinar untuk berkolaborasi “Pada kesempatan ini kami membuka kolaborasi dengan berbagai pihak untuk kegiatan biochemical dan biofuels yang masih berupa cairan campuran, sehingga dibutuhkan alat distilasi vakum untuk fraksi yang lebih murni dan bahan kimia dimaksud bisa terwujud. Serta pada kegiatan char, mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan, diantaranya aplikasi untuk gasifikasi, co-firing, pembakaran di PLTU, dan masih banyak penggunaan lainnya,” tandasnya.

Syarat Batas Medan Fermion pada Sistem Area Terbatas

Dalam kesempatan yang sama, Ar Rohim menampilkan materi mengenai syarat batas bagi medan fermion pada sistem dengan area terbatas (confinement system). Sistem pada area terbatas itu merupakan topik dasar yang diajarkan dalam mekanika kuantum. Contoh sederhananya seperti sumber potensial tak hingga, di mana momentum dan energi mempunyai nilai diskrit.

“Dalam perkembangannya, sistem ini mempunyai banyak sekali aplikasi, baik secara teoritis maupun ekperimental. Untuk sistem yang lebih kompleks tidak hanya melibatkan partikel bebas, seperti partikel yang terperangkap di sistem grativitasi menjadi langkah penting dalam perkembangan netron optik,” ulasnya yang berkolaborasi dengan Kyushu University Jepang dan PR Fisika Kuantum BRIN.

Kemudian contoh lainnya adalah Efek Casimir, medan yang berada di antara dua pelat sejajar dalam keadaan vakum memiliki sifat saling tarik-menarik. “Menariknya, ini berbeda dengan teori klasik yang menyebutkan bahwa bila tidak ada gaya dari luar, maka tidak akan terjadi tarik-menarik,” tutur Ar Rohim.

Ar Rohim juga menyampaikan terkait diskusi pada partikel Dirac yang tidak trivia karena berkaitan dengan masalah pada syarat batas yang digunakan relativistik partikel. “Persamaan Dirac dalam bentuk medan Dirac diperoleh dari selesaian persamaan Dirac yang merupakan persamaan diferensial orde satu, sebagai contoh persamaan Dirac bagi partikel bebas,” ulasnya.

Menurut peneliti pascadoktoral ini, syarat batas chiral MIT pada sistem dengan area terbatas dapat ditinjau dua jenis sistem. “Sistem partikel Dirac dalam kotak 1 dimensi serta medan fermion masif di antara dua pelat sejajar. Di sini kita menganalisis sistem Casimir-nya. Keberadaan syarat terbatas chiral MIT menunjukan beberapa fitur, di antaranya momentum terdiskritasi, khususnya komponen yang tegak lurus terhadap permukaan batas,” ujarnya.

Terdapat kemungkinan bentuk simentri pada distribusi kerapatan probabilitas, bergantung pada pengaturan awal keadaan spin dan sudut chiral. “Pantulan spin terjadi secara konsisten, komponen fungsi gelombang pantulan pada permukaan batas satu sama dengan komponen fungsi gelombang datang pada permukaan batas dua,” jelas Ar Rohim.

Kemudian ia menerangkan fitur terakhir mengenai medan fermion masif di antara dua pelat chiral sejajar. “Sifat energi Casimir bagi medan fermion masif di antara dua plat, sejajar terhadap sudut memiliki bentuk yang simetri. Energi Casimir pada keadaan chiral selalu lebih besar dari energi Casimir pada keadaan achiral,” pungkasnya. (esw/ ed. adl)

Categories
Nanoteknologi & Material Riset & Inovasi Uncategorized

Aplikasi Material Metal Oksida Nanostruktur untuk Produksi Hidrogen Ramah Lingkungan

Tangerang Selatan, Humas BRIN. Gerald Ensang Timuda, periset Pusat Riset Material Maju – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada Selasa (16/7) mempresentasikan risetnya berjudul “Aplikasi Material Metal Oksida Nanostruktur untuk Produksi Hidrogen Ramah Lingkungan”. Topik riset tersebut dipresentasikan pada webinar ORNAMAT seri #7 tahun 2022 di lingkungan  Organisasi Riset Nano Teknologi dan Material BRIN

Dalam paparannya, Gerald menyampaikan alasan melakukan riset material nanostruktur untuk produksi hidrogen. Gerald menjelaskan bahwa riset ini merupakan salah satu bagian dari upaya untuk menciptakan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). “Penggunaan energi berbasis fosil di Indonesia ketersediaannya semakin menipis dan juga polusi yang dihasilkan, sehingga diperlukan upaya efisiensi dan alternatif sumber energi baru,” ujarnya.

“Kami memilih hidrogen sebagai salah satu solusi bahan bakar, karena kita memiliki teknologi berbasis hidrogen untuk menghasilkan listrik yang kita kenal dengan fuel cell. Teknologi ini hanya menghasilkan produk samping berupa air, uap air dan panas, jadi sangat ramah lingkungan,” tutur Gerald.

Bagaimana Hidrogen Diproduksi?

Hidrogen dapat diperoleh dengan berbagai macam metode. Yang paling umum digunakan disebut Steam Methane Reforming. Prosesnya adalah dengan mereaksikan gas metana dengan uap air (steam)  bersuhu tinggi (700 – 1000 oC) pada tekanan sekitar 3-25 bar. Tetapi permasalahan dari metode ini adalah gas metana berasal dari gas alam yang berarti masih termasuk sumber bahan bakar fosil, dan dalam prosesnya menghasilkan gas-gas rumah kaca seperti CO dan CO2 selain gas hidrogen. 

Metode popular lain adalah elektrolisis air. Molekul air (H2O) dipecah menjadi gas oksigen (O2) dan gas hidrogen (H2) menggunakan energi listrik. Permasalahan utama dari proses ini adalah energi yang dibutuhkan untuk memecah air menjadi gas hidrogen dan oksigen selalu lebih tinggi dibandingkan proses sebaliknya. Sehingga, tidak masuk akal jika hidrogen hasil elektrolisis air dijadikan sumber energi listrik.

“Oleh karena itu, perlu digunakan sumber energi lain untuk memecah molekul air”, ujar Gerald. Metode yang dikembangkan oleh Gerald dan timnya adalah dengan memanfaatkan energi surya sebagai sumber energinya, yang dikenal dengan sistem Photoelectrochemical Water Splitting.

Permasalahan Intermittency

Konversi energi surya umumnya menjadi listrik menggunakan sel surya (solar cell). Tetapi ada permasalahan intermittency. Yaitu, energi matahari bersinar siang hari, tetapi kebutuhan energi yang sangat tinggi itu terjadi di malam hari. Jadi tidak ada ketidakcocokan di sini. 

Ketidakcocokan kebutuhan energi ini membutuhkan adanya teknologi sekunder seperti teknologi baterai untuk menyimpan listrik hasil konversi sel surya. Alternatif lain adalah penyimpanan energi dalam bentuk gas hidrogen. Hidrogen bisa dikonversi kapan saja menjadi listrik kembali menggunakan piranti seperti fuel cell, sehingga bisa mencukupi kebutuhan energi di waktu-waktu ketika pasokan energi matahari tidak ada atau kurang optimal.

Pasokan energi dari matahari cukup melimpah

Penggunaan energi surya untuk produksi hidrogen sangat potensial karena pasokan energi dari matahari sangat berlimpah. Pasokan energi matahari ke permukaan bumi dapat mencapai 10.000 kali konsumsi energi global. Oleh karena itu, secara ideal, jika sumber energi dari matahari ini bisa dikonversi dengan priranti yang memiliki efisiensi 10%, maka perlu menutupi permukaan bumi sebesar 0,1 % saja untuk dapat mencukupi kebutuhan energi global. Dalam skala lokal, menutupi daerah kurang lebih seluas ibu kota baru, cukup untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. 

Produksi Hidrogen dengan Energi Surya

Gerald dan tim memproduksi hidrogen sendiri dengan bantuan energi surya yaitu menggunakan energi matahari ini sendiri, untuk mengaktifkan salah satu elektroda dari alat elektrolis air. “Dengan elektroda ini yang menyerap energi dari matahari dan memecah hidrogen atau oksigen yang ada di air secara langsung,” menurut Gerald.

Terknologi ini, Gerald dan tim menamakan sistem Photoelectrochemical (PEC) Water Spliting, yang sedang dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir.

Prinsip PEC Water Spliting

Prinsip PEC Water Spliting adalah, saat cahaya matahari yang masuk ke sistem maka cahaya matahari akan diserap oleh suatu material aktif (fotoabsorber). Material fotoabsorber di sini adalah material semikonduktor yang memiliki level energi konduksi dan valensi yang bersesuaian dengan level energi reduksi maupun oksidasi air sehingga mampu menghasilkan gas hidrogen dan oksigen. 

Setelah energi cahaya diserap oleh material absorber sebagai foto-anoda, elektron yang ada di level valensi dari material tersebut akan tereksitasi menuju level konduksi, dan meninggalkan hole di level valensi. Hole ini akan mengoksidasi air sehingga molekul air terpisah menghasilkan gas oksigen dan ion H+. Elektron tereksitasi di level konduksi akan dikeluarkan ke rangkaian eksternal menuju katoda, dan digunakan untuk mereduksi ion H+ dan menghasilkan gas hidrogen.  

Mengapa Perlu Nanostruktur?

Struktur nano sangat dibutuhkan agar bisa diperoleh luas permukaan yang tinggi sehingga semakin banyak lokasi terjadinya reaksi pemecahan air. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan pula sifat listrik material setelah menjadi struktur nano.

Hambatan listrik bisa menjadi lebih tinggi setelah berstruktur nano dibandingkan bulk-nya, misalnya untuk jenis mesoporous nanoparticle. Hal ini mengakibatkan berkurangnya elektron yang tersedia untuk reaksi reduksi air sehingga produksi hidrogen juga menurun.

“Untuk meningkatkan sifat listrik, pengembangan struktur 1D atau 2D seperti nanorod atau nanosheet menjadi pilihan, meskipun dengan trade-off luas permukaan yang semakin kecil,” ujar periset muda ini.

Nanostruktur Metal Oksida di PEC Water Splitting 

Beberapa contoh aplikasi nanostruktur untuk beberapa jenis material metal oksida, antara lain:

Zinc oxide atau seng oksida (ZnO)

Pada paper Electrochemistry Communications 13 (2011) 1383-1386, dijelaskan perbedaan antara dua nanostruktur ZnO untuk PEC Water Splitting, yaitu nanotube dan nanosheet. Nanosheet menghasilkan photocurrent yang lebih tinggi dari nanotube. Respon photocurrent adalah respon arus yang dihasilkan ketika foto-anoda semikonduktor disinari cahaya. Ini adalah salah satu cara mendeteksi sifat foto-anoda yang baik.

Paper Nano Energy 20 (2016) 156-167 juga mempelajari perbedaan berbagai nanostruktur ZnO, dan dalam hal ini orientasi kristal dari permukaan material yang terekspos ke air juga dipelajari: nanosheet dengan orientasi (002), nanorod (100), dan nanopiramida (101). Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa struktur nanosheet dengan orientasi (002) menghasilkan photocurrent terbesar.

Dari kedua contoh di atas, telah diperlihatkan pentingnya nanostruktur yang tepat untuk aplikasi PEC Water Splitting. Kami juga melakukan penelitian ke arah ini. Dari paper yang sebelumnya mereka membuat nanosheet dengan posisi lembaran (sheet)-nya sejajar dengan permukaan substrat, sekarang kami mencoba membuat nanosheet yang lembarannya tegak lurus terhadap substrat (berdiri). Harapannya, nanosheet dapat ditumbuhkan ke atas (semakin tinggi) sehingga luas permukaannya juga semakin tinggi. 

“Hasil penelitian kami ini telah kami publikasikan di AIP Conf.Proc.2382 (2021) 020006. Selain itu kami juga mengembangkan metode baru untuk sintesis serbuk ZnO sehingga menghasilkan struktur unik spiked-nanosheet. Aplikasi serbuk ini sebagai PEC Water Splitting telah kami laporkan di ‘The 6th International Symposium on the Frontier of Applied Physics (ISFAP 2021)’, di mana prosidingnya akan dipublikasikan dalam waktu dekat ini,” urai Gerald.

Titanium dioxide (TiO2

Material semikonduktor metal oksida lain yang mirip dengan ZnO dari segi level energi dan bandgap adalah TiO2. Untuk aplikasi sebagai foto-anoda sistem PEC Water Splitting, berbagai jenis nanostruktur telah dilaporkan, antara lain nanoparticle, nanotube, nanorod, nanotube dan nanorod bercabang, dsb. (Small (2019) 1903378). Respon photocurrent yang lebih besar diperoleh untuk struktur dengan luas permukaan tinggi seperti nanotube dan nanorod bercabang.

Bismuth Vanadate (BiVO4

Kedua material yang sudah diterangkan di atas, ZnO dan TiO2, hanya mampu menyerap cahaya ultraviolet (UV) dari sinar matahari. Padahal, cahaya UV hanya bagian kecil dari spektrum cahaya matahari. Spektrum cahaya tampak, yang merupakan porsi terbesar, tidak bisa diserap. Untuk meningkatkan efektivitas penyerapan, perlu dikembangkan material yang mampu menyerap cahaya tampak, seperti Bismuth Vanadate (BiVO4)

Material ini termasuk yang tertinggi efesiensinya di golongan metal oksida untuk aplikasi foto-anoda PEC Water Splitting. Paper Nature Communication 6 (2015) 8769 melaporkan struktur BiVO4 nanoporous nano-coral dan mendapatkan efisiensi yang tertinggi di kelasnya.

Hematit (Fe2O3

Material metal oksida lain yang memiliki spektrum penyerapan cahaya tampak adalah hematit (Fe2O3). Paper Nanoscale Horiz 1 (2016) 243-267 menjelaskan berbagai nanostruktur hematit untuk aplikasi PEC Water Splitting, seperti nanorod, dendrites, nanocone, cauliflower, dan nanosheet. Salah satu permasalahan hematit adalah mudahnya elektron tereksitasi kembali ke level semula (dikenal dengan rekombinasi). Sehingga, sintesis menjadi struktur nano selain untuk meningkatkan luas permukaan juga untuk meningkatkan sifat transportasi elektronnya. Di antara berbagai nanostruktur di atas, struktur nanocone dan cauliflower termasuk yang tertinggi respon photocurrent-nya.

Struktur hybrid 

Selain pengembangan nanostruktur, Gerald dan timnya juga mengembangkan struktur hybrid atau heterostruktur antar metal oksida.

“Hal ini berfungsi untuk melebarkan spektrum cahaya matahari yang bisa diserap oleh material. Material nanostruktur seperti ZnO dan TiO2 memiliki sifat fotoelektrik yang baik, namun hanya mampu menyerap spektrum ultraviolet (UV) dari cahaya matahari. sementara kita ingin penyerapan bisa sampai di visible,” kata Gerald.

“Di sisi lain, Fe2O3 memiliki spektrum penyerapan di cahaya tampak, tetapi sifat transport elektronnya kurang baik sehingga hanya sedikit elektron yang bisa dimanfaatkan untuk mereduksi air. Dengan struktur hybrid diharapkan sifat transportasi elektron meningkat sehingga elektron yang dihasilkan dari penyerapan cahaya tampak bisa lebih banyak tersedia untuk reduksi air,” pungkasnya. (hrd/ ed. adl)

Categories
Nanoteknologi & Material Riset & Inovasi

BRIN Kolaborasi Riset Nanokosmetik dari Bahan Alam Indonesia

Tangerang Selatan – Humas BRIN. Yenny Meliana, periset Pusat Riset Kimia Maju – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada Jumat (12/8) mempresentasikan penelitianya berjudul ‘Riset Kosmetik Berbasis Nanoemulsi dari Bahan Alam Indonesia’. Topik penelitian tersebut dipresentasikan pada webinar Pusat Kolaborasi Riset Kosmetik Nano Berbasis Biomassa – BRIN dalam peringatan Hari Teknologi Nasional Tahun 2022. 

Saat ini, Yenny Meliana bersama tim berfokus pada riset nano-emulsi dengan aplikasinya kosmetik dari bahan-bahan alam di Indonesia. 

Kepala PR Kimia Maju, mengatakan, potensi nanoteknologi sangat banyak salah satunya bagaimana aplikasi teknologi nanoemulsi. “Berdasarkan farmasi, aplikasinya banyak digunakan untuk  formulasi nanokosmetik,” ujarnya.

“Dalam riset kosmetik diterapkan dengan sistem nanoemulsi karena efektifitas kosmetik, tersedianya secara ekonomis, toksisitas rendah, dan aman untuk penggunaan komersial, dan meningkatkan kesehatan,” jelas Yenny.

Dikatakannya emulsi adalah bagaimana mengatur ukuran-ukuran dari droplet pada sistem emulsi dengan ukuran tertentu dan homologenitas tertentu. “Itu yang kami fokuskan pada riset kami berkenaan dengan sistem nanoemulsi sebagai aplikasi kosmetik,” terang Yenny pada acara yang diikuti akdemisi, periset, dan mitra industri.

Dilihat dari jumlah energi yang terlibat, pembuatan nanoemulsi bisa dilakukan dengan menggunakan energi tinggi atau menggunakan energi rendah. “Pembuatan nanoemulsi dengan energi tinggi bisa menggunakan high-pressure homogenization, microfludization, dan ultrasonication. Sedangkan pada pembuatan nanoemulsi dengan energi rendah bisa menggunakan phase inversion emulsification, spontaneous emulsification, dan solvent evaporation technique,” ulas Melly.

Pada risetnya, Melly dan tim mengaplikasikan nanoemulsi untuk target ukuran droplet. “Dengan aplikasi kosmetik dalam bentuk miniemulsi atau nanoemulsi dengan besaran droplet sebesar 200 nanometer,” ujarnya.

“Saat ini tim mengembangkan riset untuk minyak atsiri dan turunannya seperti sitronelal, eugenol, dan isopulegol yang diformulasikan dengan sistem nanoemulsi dalam kosmetik,” ujar Yenny.

Periset Kimia Makromolekul ini membeberkan beberapa produk yang telah dilakukan diantaranya nanoemulsi dan nanoenkapsulasi dari ekstrak pegagan dan jahe.

Nanoemulsi juga dikembangkan menjadi nanoemulsi dan nanoenkapsulasi berbahan ekstrak pegagan dan jahe sebagai firming agent berbentuk emulgel, dan nanodispersi berbahan ekstrak pegagan dan jahe.

Kemudian pengembangan dalam bentuk nanocream anti aging berbahan ekstrak pegagan, asiaticoside, ekstrak timun, ekstrak manggis, dan ekstrak tomat. Juga nanocream anti aging berbentuk serum dengan bahan rumput laut, alga merah, alga cokelat, dan alga hijau.

Beberapa riset Melly dan tim kembangkan yaitu solid perfume dari minyak atsiri Indonesia, nanoemulsi dan serum dari macaranga pruinose, serta nanoemulsi dan serum dari propolis, kerja sama antara PR Kimia Maju – BRIN dan Universitas Mulawarman.

Acara ini diselenggarakan untuk mendorong kegiatan kolaborasi dalam pengembangan kolaborasi riset kosmetik berbasis biomassa, sekaligus untuk memperkenalkan pusat kolaborasi riset kosmetik nano berbasis biomassa dan menyediakan peluang untuk menjalin kerja sama dengan berbagai pihak agar terselenggaranya riset dan inovasi.

Kepala Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan, Iman Hidayat mengucapkan terima kasih atas inisiatif untuk bisa membangun pusat kolaborasi riset yang memanfatkan potensi dari biomassa. “Karena biomassa di Indonesia merupakan sumber daya yang masih belum optimal,” ucap Iman.

Kepala ORHL menyampaikan bahwa program Pusat Kolaborasi Riset Kosmetik Nano Berbasis Biomassa ini menjadi titik awal salah satu pemanfaatan biomassa secara nasional. “Saya berharap ada produk 3-5 tahun ke depan yang bisa dimanfaatkan oleh industri,” tambahnya.

“Kolaborasi riset merupakan salah satu program pendanaan yang disediakan oleh BRIN, sehingga kita bisa meningkatkan kapasitas SDM, membuat jejaring, melakukan penelitian, dan sharing fasilitas,” tuturnya.

Imam turut menyampaikan strategi atau arah kebijakan dari BRIN. “BRIN saat ini sudah menyediakan infrastruktur dengan platform terbuka yang dapat digunakan oleh seluruh masyarakat Indonesia bahkan luar negeri,” tandasnya. (hrd/ ed. adl)

Categories
Nanoteknologi & Material Riset & Inovasi

Riset Atasi Pencemaran Logam Berat di Air Laut dan Pertambangan Emas

Tangerang Selatan – Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM) mengangkat tema maritim dan pencemaran logam berat di air laut dan pertambangan. Kedua tema tersebut diulas pada webinar ORNAMAT seri delapan, Selasa (9/8).

Kepala ORNM – BRIN, Ratno Nuryadi mengatakan, webinar kali ini menghadirkan dua narasumber yaitu Gadang Priyotomo dari Kelompok Riset (KR) Korosi dan Teknologi Mitigasi – PR Metalurgi, dan Fajar Yudi Prabawa dari KR Pengelolaan Dampak Pertambangan – Pusat Riset Teknologi Pertambangan.

Ratno menyampaikan terkait dengan isu maritim menjadi memenarik karena Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki potensi untuk menjadi Poros Maritim Dunia.

“Berbagai isu maritim secara nasional seperti revitalisasi, sektor-sektor ekonomi kelautan, penguatan dan pengembangan konektivitas maritim, rehabilitasi kerusakan lingkungan, dan konservasi biodiversitas, serta peningkatan kualitas dan kuantitas SDM kelautan merupakan program-program utama dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia,” ujarnya.

Ratno menambahkan, isu terkait dengan pencemaran logam berat di air laut akibat proses dekomposisi cat antifouling. Sementara menganai isu pertambangan di Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21, Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri.

“Peraturan ini mengamanatkan pengurangan merkuri pada empat sektor penting yaitu manufaktur, energi, kesehatan, dan pertambangan emas skala kecil,” kata Ratno.

Kepala ORNM berharap ORNAMAT ini bisa memberikan wawasan, pengetahuan yang lebih luas kepada para audiens. “Semoga kegiatan ini melahirkan diskusi-diskusi yang positif dan juga peluang kolaborasi antara periset, praktisi, akademisi, dan industri,” ungkapnya.

Riset Perlindungan Infrastruktur Maritim terhadap Biota Laut

Periset dari PR Metalurgi, Gadang Priyotomo menjelaskan penelitiannya yang berjudul yang berjudul ‘Perlindungan Infrastruktur Maritim terhadap Biota Laut Melalui Cat Antifouling di Perairan Tropis Indonesia’.

Gadang mengatakan, negara Indonesia fokus dalam pembangunan proses maritim dari aspek infrastruktur, politik, sosial-budaya, hukum, keamanan, dan ekonomi. “Pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim menjadi poin yang penting untuk diperhatikan juga,” ucap Gadang

Riset ditujukan pada pengembangan inovasi teknologi maritim khususnya di bidang ilmu material. “Indonesia juga mempunyai iklim tropis dengan kelembaban dan curah hujan yang tinggi. Lebih kondisi tersebut menjadikan Indonesia sangat rentan terhadap serangan korosi, terutama pada sarana transportasi yang beroperasi di laut, serta bangunan-bangunan yang berada di tepi pantai (onshore) dan lepas pantai (offshore),” paparnya.

Masalah  korosi  di  perairan laut terhadap lapis lindung cat yang teraplikasi di struktur sangat merugikan secara ekonomis, teknis, dan estetika. Penyebab utama timbulnya korosi tersebut salah satunya adalah keberadaan biota laut (biofouling) yang menempel pada substrak struktur.

“Pertumbuhan dan penempelan intensif marine biofouling harus diminimalisasi, di mana merupakan bagian dari suatu perencanaan pembangunan infrasturuktur terendam (submerged structure) yang umumnya terjadi di daerah pasang surut dan daerah fotik terendam,” jelas Gadang.

Menurutnya, salah satu metode mitigasi yang umumnya digunakan untuk mengatasi bahaya biofouling adalah penggunan cat antifouling di Indonesia. “Evaluasi performa dan pengembangan cat antifouling (AF) ke depan masih dilakukan dengan mengembangkan bahan anti biota ramah lingkungan melalui teknologi nano, untuk mengurangi atau mengantikan biosida logam berat tembaga oksida sebagai komponen utama sistem cat antifouling,” ulasnya.

Riset Pencemaran Pertambangan Emas

Pada kesempatan yang sama, periset dari Pusat Riset Teknologi Pertambangan, Fajar Yudi Prabawa, memaparkan hasil penelitiannya dengan judul ‘Zero Waste Mining ala Penambang Emas Skala Rakyat di Indonesia: Paparan Kondisi Faktual Permasalahan dan Peluang Riset yang Diperlukan. Studi Kasus: Penambang Emas di Sukabumi Jawa Barat’.

Berdasarkan data, permasalahan pada pertambangan emas rakyat atau penambang emas skala rakyat (PESK) merupakan lingkaran yang terus berulang, yakni masalah ekonomi seperi kebocoran aset negara, sosial yaitu K3 (kesehatan dan keselamatan kerja), dan lingkungan berupa kontaminasi merkuri.

Fajar menyampaikan dalam rangka mendukung percepatan program penghentian penggunaan merkuri pada penambang emas skala rakyat (PESK), diperlukan perluasan dan percepatan terlaksananya program penggantian metode Trommel Mercury (TM) ke metode non merkuri.

“Dalam program penggantian metode TM ke metode non merkuri yaitu kombinasi atau inovasi metode yang ada, cost terendah, durasi panen yang cepat baik dalam hitungan jam, aplikasi yang mudah, serta aman dan sehat,” tuturnya,

Salah satu metode yang diajukan Fajar dan tim adalah Tank Leaching, namun perlu modifikasi empat gap yang dijadikan usulan program riset serta eksperimen, untuk mendapatkan solusi terbaik. “Empat gap dalam program riset yang diperlukan antara lain bagaimana mengatasi kekurangan mesh butiran, durasi apabila menggunakan Tank Leaching, limbah TM yang diolah oleh leaching, dan terbentuknya senyawa metil merkuri,” urainya.

Lebih lanjut, hasil dari program riset yang diperlukan adalah konsep modifikasi dan purwarupa diuji hingga valid dan efektif, kemudian diuji banding dengan metode TM, karena kelebihan inovasi metode diterapkan di PESK dengan sosialisasi luas untuk mengurangi pengguna merkuri.

Menurutnya, dalam lingkup nasional, diperlukan lokasi tetap berupa area PESK sebagai lokasi laboratorium existing, untuk mendapatkaan data primer faktual, diterapkan hasil program dan eksperimen, dan area dijadikan percontohan nasional PESK yang minim dampak lingkungannya. Fajar dan tim berharap dalam target tiga tahun, PESK berhenti menggunakan merkuri dan terwujud pionir PESK yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. (hrd/ ed. adl)

Sumber : https://www.brin.go.id/news/110217/riset-atasi-pencemaran-logam-berat-di-air-laut-dan-pertambangan-emas

Categories
Uncategorized

Dikenal “Silicon Valley” Indonesia, Puspiptek Kini Menjadi KST BJ Habibie

Tangerang Selatan – Humas BRIN. Memperingati Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) yang ke-27, pada 10 Agustus 2022, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memperkenalkan penamaan baru empat kawasan sains dan teknologi, untuk memperkuat ekosistem riset dan inovasi di Indonesia. Empat kawasan sains dan teknologi tersebut yaitu KST BJ Habibie di Kawasan Serpong, Tangerang Selatan, KST Soekarno di Kawasan Cibinong Science Center, KST Siwabessy di Kawasan Pasar Jumat Jakarta, dan KST Samaun Samadikun di Kawasan Bandung. 

KST BJ Habibie merupakan kawasan sains dan teknologi yang telah dikenal sebagai kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Serpong. Saat itu, Puspiptek merupakan unit kerja di bawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi, yang didirikan berdasarkan Keputusan Presiden nomor 43/1976 tanggal 1 Oktober 1976. 

Ide mendirikan kawasan Puspiptek Serpong sudah mulai digagas, saat era Menristek Soemitro Djojohadikoesoemo. Selanjutnya, di bawah kepemimpinan Menristek BJ Habibie, kawasan Puspiptek kemudian dikembangkan secara serius. Kawasan itu pernah disebut sebagai  “Silicon Valley” Indonesia. Kala itu, Habibie membangun kawasan puspiptek dengan mengambil contoh pusat inovasi teknologi Silicon Valley di Amerika Serikat (AS). 

Kawasan Sains dan Teknologi (KST) sendiri diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2017. Peraturan tersebut mulai berlaku pada tanggal 22 November 2017. KST merupakan wahana yang dikelola secara profesional untuk mengembangkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan melalui pengembangan, penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan penumbuhan perusahaan pemula berbasis riset. 

Peraturan ini dibuat dalam rangka memfasilitasi perkembangan industri, khususnya pelaku usaha skala kecil menengah berbasis inovasi. Sehingga perlu disediakan layanan bagi industri dalam suatu kawasan yang memfasilitasi invensi menjadi inovasi, untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing. 

Kawasan Sains dan Teknologi akan mempermudah terjadinya interaksi dan komunikasi antar pelaku utama yang terlibat dalam penciptaan inovasi, baik pengembang teknologi, pengguna teknologi, maupun fasilitator atau intermediator. Kawasan Sains dan Teknologi hadir untuk mendukung industri strategis di dalam negeri. 

Sosok BJ Habibie

Pemberian nama kawasan sains dan teknologi tidak lepas dari kiprah dan peran Prof. Dr.-Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie. Tokoh nasional yang dikenal sebagai Bapak Teknologi Nasional itu, pernah menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi RI (1978-1998), Wakil Presiden RI (1998), dan Presiden RI (1998–1999). 

BJ Habibie lahir di Kota Pare-Pare Sulawesi Selatan pada tanggal 25 Juni 1936. Ia sempat menempuh masa pendidikannya di SMAK Dago, Bandung dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Ia berkuliah di jurusan Teknik Penerbangan spesialis Konstruksi Pesawat Terbang di Rheinisch-Westfälische Technische Hochschule (RWTH) Aachen, Jerman pada tahun 1955. 

Ia memutuskan mengambil studi di Jerman atas arahan Presiden Soekarno tentang pentingnya penguasaan teknologi di Indonesia, yakni teknologi maritim dan teknologi dirgantara. Di kampus inilah, BJ Habibie belajar teknologi konstruksi pesawat dan menjadi pakar yang pertama kali menciptakan pesawat terbang di Indonesia. 

Crack Progression Theory menjadi salah satu penemuanya yang paling fenomenal di dunia penerbangan. Crack Progression Theory merupakan suatu teori yang bertujuan untuk mengetahui keretakan yang terjadi di suatu pesawat. Atas hasil karyanya itu, ia dijuluki sebagai “Mr Crack”. 

Saat menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) sejak tahun 1978 sampai Maret 1998, BJ Habibie membuat berbagai terobosan. Targetnya, Indonesia sebagai negara agraris dapat melompat langsung menjadi negara industri dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satunya adalah melalui pengembangan industri strategis PT Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN) yang saat ini menjadi PT Dirgantara Indonesia (DI). 

IPTN di bawah pengelolaan BJ Habibie berhasil mengembangkan teknologi pesawat. Karya yang paling legendaris dari BJ Habibie yaitu pesawat N250 atau dikenal dengan Gatotkaca. Pesawat ini mengudara pertama kali di Bandung pada tahun 10 Agustus 1995. Oleh karena itu, hari bersejarah tersebut dicanangkan sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas). 

Riset dan Inovasi Unggulan KST BJ Habibie

KST BJ Habibie berdiri di atas lahan seluas 460 Hektar. Saat ini terdapat 6 Organisasi Riset (OR), 24 Pusat Riset (PR), serta lebih dari 3.000 sumber daya manusia (SDM) yang beraktifitas di kawasan tersebut. Berlokasi di Jalan Raya Puspiptek, Tangerang Selatan, Banten, kawasan ini terbagi dalam beberapa zona yaitu, Zona Perkantoran, Zona Edukasi, Zona Ruang Terbuka Hijau, Zona Perumahan dan Fasilitas Publik, serta Zona Bisnis Teknologi. KST BJ Habibie dirancang untuk mensinergikan SDM yang terlatih dengan peralatan dan pelayanan yang mendukung riset terlengkap di Indonesia. 

Salah satu organisasi riset BRIN yang berlokasi di KST BJ Habibie adalah Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM). Kepala ORNM, Ratno Nuryadi, menceritakan pengalamannya bekerja di KST BJ Habibie sejak tahun 2008. “Saya pulang dari Jepang tahun 2008 dan masuk ke Unit Kerja Pusat Teknologi Material, (eks) BPPT yang berada di Puspiptek (KST BJ Habibie). Saya dan tim melakukan riset di bidang material elektronik, khususnya pengembangan material fungsional termasuk instrumentasinya untuk sensor lingkungan (gas) dan kesehatan (biosensor),” ungkapnya. 

Berbekal ilmu nanosains di bidang divais semikonduktor silikon berstruktur nano yang diperoleh selama studi di Shizuoka University Jepang, dirinya dan tim mengembangkan material fungsional lapisan tipis ZnO (oksida zinc) untuk mendeteksi gas CO, CO2, O2, dan metana dan konsentrasi rendah. 

Efek penambahan (doping) logam tanah jarang cerium pada sensitivitas gas juga dipelajari oleh Ratno. “Proses pendeteksian gas ini dilakukan dengan perangkat MEMS (microelectromechanical systems), surface plasmon resonance, dan perangkat perubahan konduktivitas,” ujarnya. 

Menurutnya, di KST BJ Habibie terdapat banyak infrastruktur riset untuk bidang Nanoteknologi dan Material, baik dari sisi peralatan proses/sintesis material maupun karakterisasinya hingga level skala nanometer (10 pangkat 9 meter). 

“Peralatan proses dari berbagai pendekatan ilmu juga ada, seperti pendekatan kimiawi, fisika, maupun biologi. Yang terbaru juga akan masuk High Resolution Transmission Electron Microscopy (HRTEM), alat pengukur hingga level atom, untuk material sains di Lab KST BJ Habibie yang akan mendukung riset nanoteknologi dan material lebih kuat lagi,” terangnya. 

Saat ini, ORNM yang dipimpin oleh Ratno berfokus pada riset dan inovasi dalam bidang pertambangan, metalurgi, material maju, kimia, polimer, fisika kuantum dan fotonik. Riset dan inovasi material dengan penekanan kuat pada sintesis, karakterisasi dan aplikasi untuk bahan logam, keramik, polimer, komposit, organik dan anorganik dilakukan hingga skala mikro dan skala nano. Aplikasi mencakup berbagai macam bidang termasuk energi, lingkungan, infrastruktur, kesehatan, dan elektronik. 

Produk inovasi yang dihasilkan oleh ORNM di KST BJ Habibie diantaranya adalah material pelapis untuk aplikasi cofiring boiler pada PLTU, furnace suhu tinggi dengan isolator lokal, cat anti deteksi radar, inovasi pengembangan produksi powder timah dan kajian produksi timah sulfat, katalis bahan bakar nabati untuk biofuel, pengembangan bahan baku baterai dan sel baterai, rubber airbag untuk bantalan kapal, impan tulang dan gigi, hasil riset surfaktan turunan sawit untuk bahan adjuvant vaksin hewan, serta penambangan emas tanpa merkuri. 

Untuk meningkatkan kapasitas SDM di Indonesia, sejumlah pusat riset di KST BJ Habibie juga menawarkan layanan bagi siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dan mahasiswa untuk praktik kerja industri (PRAKERIN), magang atau praktik kerja lapangan, serta bimbingan tugas akhir skripsi dan tesis. 

Selain itu, tersedia layanan pengujian, kalibrasi, dan sertifikasi dari berbagai peralatan dan fasilitas laboratorium di KST. Layanan ini dikelola oleh Deputi Bidang Infrastruktur Riset dan Inovasi BRIN dan bisa diakses melalui aplikasi layanan sains (ELSA) maupun perjanjian kerja sama (PKS). 

Sejumlah fasilitas yang dapat dimanfaatkan oleh pihak internal maupun eksternal seperti Iradiasi Gamma; Technology Business Incubation Center; Lab Fuel Cell, Konservasi, dan Konversi Energi; Lab Karakterisasi Lanjut; Aerodinamika, Aeroelastika, Aeroakustika, Lab Layanan Pengujian Kekuatan Struktur, Bioteknologi, dan Uji Emisi. (adl, aj/ed: jml)

Sumber : https://brin.go.id/news/110223/dikenal-silicon-valley-indonesia-puspiptek-kini-menjadi-kst-bj-habibie

Categories
Nanoteknologi & Material Riset & Inovasi

Rekayasa Nanomaterial untuk Sensor Gas Berkinerja Tinggi

Tangerang Selatan, Humas BRIN. Ni Luh Wulan Septiani, periset Pusat Riset Material Maju – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada Selasa (12/7) mempresentasikan penelitianya berjudul “Rekayasa Nanomaterial untuk Sensor Gas Berkinerja Tinggi”. Topik penelitian tersebut dipresentasikan pada webinar ORNAMAT seri #6 tahun 2022 di lingkungan  Organisasi Riset Nano Teknologi dan Material BRIN

Ni Luh Wulan membagikan penelitian yang dilakukan dengan topik ‘Rekayasa Nanomaterial untuk Sensor Gas Berkinerja Tinggi’. Dalam penelitian ini, ia berfokus pada sensor gas sulfur dioksida (SO2). 

Berangkat dari bahaya sulfur dioksida (SO2), bahwa sulfur dioksida (SO2) merupakan gas yang sangat berbahaya selain karbon monoksida, nitrogen dioksida, dan particulate mater  khususnya PM 2.5. Gas yang tidak berwarna dan berbau tersebut dapat diemisikan oleh beberapa sektor dari industri, transportasi, dan aktifitas gunung berapi.

Gas SO2 ini jika terhirup oleh manusia dapat menyebabkan gangguan kesehatan terutama pada sistem pernafasan dan peredaran darah (sistem kardiovaskuler). “Jika kita menghirup gas SO2 dengan waktu yang sangat lama maka akan menyebabkan gangguan atau kerusakan sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler,” ucapnya.

“Untuk beberapa grup yang sangat berisiko, dari bahaya gas sulfur dioksida adalah orang tua, orang-orang dengan riwayat penyakit paru-paru, dan juga anak-anak,” ujar Wulan sapaan akrabnya.

Untuk memonitoring konsentrasi pada gas SO2 ini, Wulan dan tim mengembangkan sensor gas berbasis kemoresistif dengan memanfaatkan material aktif di mana beberapa propertis atau sifatnya akan berubah ketika berinteraksi dengan gas SO2 atau gas berbahaya lainnya.

“Sensor gas berbasis kemoresistif harus memiliki beberapa kriteria diantaranya respon tinggi, sensitivitas tinggi, selektivitas tinggi, waktu respon yang cepat, waktu pulih cepat, temperatur kerja rendah, stabil, dan waktu hidup panjang. Di sini penelitian yang kami lakukan adalah penelitian yang berbasis oksida logam,” kata periset Kelompok Riset Fungsional Dimensi Rendah.

Rekayasa Nanomaterial Sensor Gas

Untuk mendapatkan kriteria yang maksimal, Rekayasa Nanomaterial Sensor Gas diperlukan seperti rekayasa Morfologi, rekayasa permukaan dan rekayasa antar muka atau dengan pembuatan komposit. ”Dengan merekayasa morfologi kita dapat merekayasa porositas dan luas permukaannya sehingga situs-situs aktif  menjadi lebih banyak, sehingga dapat berinteraksi dengan baik dan maksimal dengan gas-gas target,” terang Wulan.

“Kemudian dengan Rekayasa permukaan, maka oksida logam atau material lainnya didekorasi dengan material lain seperti logam mulia atau logam lainnya untuk mendapatkan beberapa efek yang dapat meningkatkan sensitifitas respon dan juga mempercepat reaksi permukaan,” lanjutnya.

“Lalu ada rekayasa komposit yang mirip dengan rekayasa antarmuka, jadi Ketika kita membuat komposit itu kita tidak akan lepas dari adanya antarmuka atau singgungan antara fasa material yang satu dengan fasa material yang lainnya. Sinergi dari kedua fasa ini dibutuhkan untuk mencapai kinerja atau performa yang relatif tinggi ,” tambah lulusan S3 Teknik Fisika ITB.

Sensor Gas SO2  Berbasis ZnO Multilayer 

Penelitian petama yang telah dilakukan yaitu kami membuat struktur zink oxide Multilayer (ZnO Multilayer). Sebagai sensor gasnya sendiri, Dr.Wulan dan tim mencoba beberapa temperatur dari 200 hingga 4000C, dan respon ZnO multilayer terhadap SO2 ini sangat baik pada temperatur suhu 300 0C.

“Pada ZnO Sheet Layer yang pertama responnya relatif rendah yaitu di bawah 40%, kemudian ZnO Nanorods dengan dua lapisan atau double layer memiliki respon yaitu sekitar 70%. Jika ditingkatkan menjadi 3 lapisan maka respon akan mencapai 99,9% pada temperatur 3000C,” paparnya.

Pertama, Wulan dan tim melakukan studi mekanisme Sensor Gas SO2  Berbasis ZnO Multilayer yaitu di mana reaksi permukaan sangat bergantung pada kandungan oksigen di udara. 

“Ketika udara di sekitarnya yang belum terpapar gas pada temperatur tertentu, maka oksigen dalam udara akan ter-adsorpsi, kemudian akan terionisasi dengan mengambil elektron pada permukaan ZnO, sehingga menciptakan adanya lapisan depresi. Lapisan depresi meningkatkan resistansi dari ZnO,” jelasnya.

Sensor Gas SO2 Berbasis ZnO Multilayer lebih baik dibandingkan dengan single layer, karena ketika ada multilayer, maka pembauran (diffusion path) semakin panjang sehingga udara dan SO2 dapat berpenetrasi lebih dalam karena situs aktif yang tersedia melimpah.

Kemudia ada singgungan-singgungan antar muka yang menimbulkan potensial barir yang memiliki kontribusi dan berubah ketika terpapar oleh gas target. Dan untuk SO2 sendiri ketika dia berinteraksi dengan ion oksigen dia akan menjadi sulfur trioksida (SO3) dan melepas kembali elektronnya keperrmukaan ZnO sehingga lapisan depresinya akan mengecil dan resistansinya akan turun. 

Sensor Gas SOBerbasis ZnO Wool Ball-like

Kemudian yang kedua, Dr. Wulan dan tim merekayasa morfologi dari ZnO dengan bentuk menyerupai bola rajut atau wool ball. Dengan melakukan rekayasa dari ZnO dengan menggunakan metode hidrotermal dengan bantuan glycerol sebagai capping agent.

Ketika tanpa gliserol maka ZnO terbentuk seperti brokoli, dan ketika ada gliserol sebesar 4 mL maka ZnO mulai tumbuh plat-plat berukuran 2 µm yang bergabung untuk membentuk suatu bola.

Ketika gliserol ditambah sebesar 8 mL maka ZnO sudah terlihat cukup baik strukturnya, dan ketika ditambah lagi hingga 10 mL menghasilkan bola rajut yang sangat besar berukuran sekitar 5 mikrometer. 

Untuk mekanismenya sendiri, ada dua hal yang penting yaitu propanol dan gliserol. Di mana gliserol merupakan capping agent yang menghambat pertumbuhan dari ZnO ke arah-arah tertentu. Sehingga pada dua jam pertama sudah terlihat adanya pembentukan wool ball, dan ketika diperlama partikel-partikel kecil akan bergabung dengan partikel-partikel dua dimensi (2D) dan pada delapan jam dia sudah relatif sempurna pembentukankannya. 

“Untuk bentuk bolanya sendiri dipengaruhi oleh propanol dan juga tekanan dari segala arah pada proses hidrotermal dan untuk gliserolnya sendiri dia berkontribusi dalam pembentukan partikel 2D,” jelas Wulan.

Setelah pembentukan wool ball ini, dilakukan kalsinasi untuk menghilangkan zat-zat yang tidak dibutuhkan karena setelah proses hidrotermal produknya belum ZnO tetapi zinc glycerolate yaitu produk hasil reaksi antara zinc dengan glycerol. “Setelah dikalsinasi ternyata terlihat adanya permukaan yang kasar dan ketika diperbesar ternyata partikel-partikel 2D itu tersusun dari partikel-partikel kecil yaitu berbentuk segi enam (heksagonal) dengan ukuran sekitar 30 nanometer,” jelasnya.

“Ketika diuji sebagai sensor gas SO2, wool ball memiliki respon yang sangat tinggi pada temperatur 3500C, sedangkan pada temperatur suhu 3000C wool ball memiliki respon sebesar 70,” imbuhnya.

“Dan itu 35 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ZnO Multilayer. Di mana pada temperatur 3000C itu sekitar 99% atau hampir dua kali lipatnya. Sedangkan berbasis ZnO Wool Ball-like  pada temperatur 3000C responnya adalah 70 kali lipat,” sambungnya.

Ketika diuji bagaimana selektifitasnya sebagai sensor gas SO2, Wulan dan tim mencoba dari beberapa gas antara lain metanol, toluen, heksan, xylena, CO, CO2, dan SO2

“ZnO memiliki kecendrungan untuk menyukai SO2 dibanding gas yang lain, tetapi di sini memang masih relatif tinggi responnya terhadap CO dan CO2. Hal ini menunjukkan perlu modifikasi lebih lanjut untuk meningkatkan selektifitas dari ZnO dengan sturktur ini,” ulasnya.

Modifikasi ZnO Wool ball like dengan MWCNT 

Wulan dan tim mencoba gabungkan ZnO dengan Multiwalled Carbon Nanotubes (MWCNT) dan ketika ditambah dengan MWCNT terjadi perubahan struktur. “Modifikasi ZnO Wool ball like dengan MWCNT merusak dari struktur bolanya sendiri dan di sini terlihat ada beberapa nanotube yang masuk dan penetrasi ke dalam bola,” kata Wulan.

Semakin banyak MWCNT yang ditambahkan ini, tentu akan semakin banyak juga MWCNT yang masuk ke dalam ZnO, dan terdapat beberapa partikel minirod ZnO yang tumbuh di atas permukaan MWCNT.

Ketika diuji sebagai sensor gas SO2 terlihat kurva respon terhadap temperatur, terjadi pergeseran temperatur optimal dari 350 ke 3000C, dan juga adanya peningkatan respon dari 70 ke 2210C.

“Ketika diuji selektifitasnya dia meningkat dengan sangat pesat ketika ada MWCNT. Kehadiran MWCNT ini tidak hanya menurunkan temperatur optimalnya, tetapi juga meningkatkan selektifitas dari ZnO itu sendiri,” ungkap Wulan.

Sensor Gas SOBerbasis ZnO Hollow Sphere

Kemudian yang ketiga, Wulan dan tim mengembangkan Sensor Gas SO2 Berbasis ZnO Hollow Sphere. Metode Hollow Sphere sama dengan metode Wool Ball-like yaitu menggunakan metode hidrotermal, tetapi tidak dengan bantuan gliserol, tetapi menggunakan antosianin sebagai soft template pembentukan ZnO.

Anthocyanin diperoleh dari proses ekstraksi beras hitam, lalu dilakukan variasi konsentrasi antosianin, sehingga terlihat ketika ditambahkan sebesar 0,0103 gram antosianin terbentuk bola dengan ruang kosong di dalamnya, dan ketika di tambah lebih jauh ternyata struktur yang dihasilkan mengalami kerusakan 

“Di sini yang kami dapatkan adalah sebesar 0,01 gram antosianin yang merupakan konsentrasi atau jumlah antosianin paling optimal untuk mendapatkan hollow sphere,” terangnya.

Modifikasi ZnO Hollow sphere dengan MWCNT

Sebetulnya untuk ZnO hollow sphere sendiri ketika diuji hasilnya mirip dengan metode Wool Ball-like, namun pada temperatur 3500C bahwa temperatur utamanya memiliki respon yang relatif lebih rendah yaitu sekitar 75.

MWCNT dapat merusak struktur dari ZnO Hollow sphere karena penetrasi ke dalam dan membuat ZnO nya itu terbelah. Semakin banyak MWCNT ditambahkan, semakin rusak strukturnya dan di beberapa partikel bermigrasi ke permukaan MWCNT, sehingga tumbuh di atas MWCNT

Dengan penambahan MWCNT juga ternyata dapat menggeser temperatur optimal dari 350 ke 3000C dan di sini sekitar 150 responnya pada temperatur 3000C.

Menurutnya Wulan, untuk selektifitanya sendiri untuk ZnO Hollow sphere memang relatif buruk. Metode ZnO Hollow sphere lebih respon terhadap metanol dibandingkan dengan SO2 itu sendiri, tetapi ketika adanya MWCNT respon meningkat secara signifikan.

“CNT dapat meningkatkan selektifitas juga menurunkan temperatur kerja dan ZnO,” terang Wulan.

Mekanisme Sensor ZnO Hollow sphere dengan MWCNT

MWCNT merupakan material sensor juga, tetapi reaksi antara MWCNT dengan gas pada umumnya reaksi fisisorpsi dan interaksi fisis itu sangat lemah, sehingga responnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan ZnO. 

Jika digabungkan, MWCNT yang memiliki temperatur kerja yang relatif lebih rendah karena konduktifitasnya lebih tinggi, dapat menurunkan temperature kerja ZnO.

Selain itu MWCNT ketika digabungkan dengan ZnO maka akan terjadi pn junction pada pada antar mukanya dan potensial barir pada antarmuka tersebut berkontribusi dengan sangat baik atau untuk mendeteksi gas SO2.

“Ketika ada gas berinteraksi pada antarmuka MWCNT-ZnO, maka potensial barir ini akan berubah dan menyebabkan adanya perubahan sifat elektronik atau perubahan resistansi dari sistem ZnO dan MWCNT,” urai Wulan.

“Tetapi konsentrasi antara CNT dan ZnO sangat perlu dipertimbangkan karena saat lebih banyak CNT dbandingkan dengan ZnO, maka CNT menjadi mendominasi sebagai sensor gas sehingga responnya menjadi lebih rendah walau pun temperatur kerjanya menjadi lebih rendah juga,” lanjutnya.

“Sinergi antara CNT dan ZnO, sangat ingin dicapai untuk mendapatkan sensor gas dengan temperatur kerja rendah tetapi memiliki respon yang relatif tinggi,” pungkasnya. (hrd/ ed. adl)