Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM), BRIN yang berlokasi di Kawasan Sains dan Teknologi (KST) B.J. Habibie, Serpong, mempunyai tugas untuk melaksanakan riset di berbagai bidang yang terlaksana di tujuh Pusat Riset yaitu Pusat Riset Material Maju, Pusat Riset Fisika Kuantum, Pusat Riset Metalurgi, Pusat Riset Kimia Maju, Pusat Riset Teknologi Polimer, Pusat Riset Teknologi Pertambangan dan Pusat Riset Fotonik.
Berita yang telah diliput oleh media eksternal pada tahun 2022 sebanyak : 166 (seratus enam puluh enam) berita.
Peliputan berita oleh media eksternal yang telah terlaksana pada tahun 2022 sebagai berikut :
No
Tanggal Posting
Judul Artikel
Link Posting
1
4/1/2022
BRIN Kembangkan Implan Pengganti Sendi Buatan dalam Negeri
Jakarta – Humas BRIN. Riset dengan judul The Value of Agricultural Waste: Cellulose as a Building Block for Materials, mengantarkan Athanasia Amanda Septevani meraih The 2022 (The 16th) Japan International Award for Young Agricultural Researchers (Japan Award) di Tokyo Jepang, pada Selasa (22/11).
Hasil penelitiannya ini merupakan pengolahan limbah dari agroindustri, khususnya perkebunan kelapa sawit, untuk diolah menjadi material berbasis selulosa. Material ini memiliki sifat baru, dan bernilai tinggi, serta dapat diaplikasikan ke berbagai bidang, seperti lingkungan, kesehatan, kemasan, elektronik, dan energi.
Wanita yang akrab dipanggil Amanda ini, bersama penerima penghargaan lainnya dari Madagaskar dan Meksiko berkesempatan mempresentasikan hasil risetnya. “Hal ini menjadi kebahagiaan tersendiri, melalui apreasiasi internasional sebagai hasil kerja keras kami. Saya bersyukur, dapat mengharumkan nama Indonesia dalam perkembangan iptek, pada skala internasional,” ujar peneliti yang menyelesaikan pendidikan doktoralnya di The University of Queensland, Australia.
Melalui presentasinya, peneliti yang awalnya ingin menjadi dokter ini, berkesempatan menunjukkan hasil riset yang sedang dikembangkan oleh BRIN. Kontribusinya dalam menghadapi tantangan pengolahan limbah agroindustri di Indonesia, dan solusi alternatif untuk negara lain. Sekaligus membuka peluang kerja sama dengan berbagai pihak, bersama-sama memberikan solusi inovatif melalui riset.
Wanita yang bersuami peneliti juga ini mengungkapkan harapannya, agar dapat menjalin kerja sama riset lebih lanjut dengan pemerintah Jepang. Khususnya Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries (MAFF) dan Japan International Research Center for Agricultural Sciences (JIRCAS). “Semoga dengan penghargaan ini, mampu memberikan manfaat nyata. Memberikan dampak langsung, melalui kontribusi perkembangan iptek di bidang pertanian, kehutanan, khususnya dalam pengelolaan, dan teknologi limbah,” ungkapnya.
Menurutnya, riset material ini sangat penting dikembangkan secara berkesinambungan, untuk mengatasi permasalahan lingkungan. Limbah padat biomassa jumlahnya banyak, namun masih belum dimanfaatkan secara optimal. “Pemanfaatan limbah agroindustri menjadi material maju (waste for materials), tidak hanya dapat mengatasi masalah pencemaran limbah. Selain itu, dapat memberikan nilai baru dan manfaat, menjadi produk inovatif yang bernilai tinggi. Pada akhirnya, bisa meningkatkan produktivitas indutri agro secara menyeluruh, menuju ekonomi sirkular,” ulas Amanda.
Sejak 2017 setelah studi doktor hingga sekarang, dirinya bersama tim telah melakukan riset ini secara berkesinambungan dan konsisten. “Berbagai pendanaan, telah berhasil kami dapatkan. Baik dalam maupun luar negeri, dan dari berbagai sektor, seperti lembaga pemerintah, universitas, serta industri. Salah satu industri yang terlibat aktif dengan kami, adalah PT Mandiri Palmera Agrindo, yaitu industri kelapa sawit. Perusahaan yang aktif bersama kami, dalam mengimplementasikan teknologi yang kami kembangkan, dalam mengolah limbah perkebunan kelapa sawit mereka di Sulawesi,” jelasnya.
Sebagai informasi, Japan Award diselenggarakan tiap tahun oleh MAFF dan JIRCAS. Bertujuan untuk memotivasi para peneliti muda, dalam mengembangkan penelitian di bidang pertanian, kehutanan, dan perikanan, serta industri terkait di negara-negara berkembang. (mfn/ ed:adl, ns)
Sumber : https://brin.go.id/news/110902/meriset-pengolahan-limbah-dari-agroindustri-amanda-sukses-raih-japan-award
Tangerang Selatan – Humas BRIN. Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko bersama jajaran manajemen BRIN mengadakan Rapat Pimpinan (Rapim) penyusunan rumah program 2023. Pada rangkaian Rapim ini, dilakukan pembahasan rumah program (RP) dari tiga Organisasi Riset (OR) yang berbasis di Kawasan Sains dan Teknologi (KST) BJ Habibie Serpong, yakni OR Nanoteknologi dan Material (ORNM), OR Energi dan Manufaktur (OREM) dan OR Tenaga Nuklir (ORTN). Acara ini berlangsung di Gedung 71, KST BJ Habibie, Rabu (16/11).
Dalam sambutannya Laksana Tri Handoko mengarahkan bahwa penyusunan Rumah Program (RP) 2023 ini merupakan amanat dari Bappenas yang perlu dilaksanakan. “Rumah program 2023 ini bisa dilakukan tanpa harus melalui Call for Proposal tetapi Call for Join Collaboration, dan ini menjadi tugas inti Kepala OR. Kolaborasi ini dimungkinkan melibatkan pihak eksternal BRIN. Jika ada kendala terkait peralatan atau SDM, dapat dicarikan solusi dengan harapan target 2023 hingga 2024 tercapai,” terangnya.
“Kepala OR diharapkan dapat fokus pada rumah program yang menjadi tusinya. Untuk Call for Join Collaboration harus terarah karena program dari organisasi riset sangat generik dan harus dicermati bersama,” imbuh Handoko.
Pada kesempatan tersebut, Kepala ORNM Ratno Nuryadi menyampaikan bahwa ORNM merencanakan RP1 dan RP2. “Hasil riset RP1 nanoteknologi dan material maju terdiri dari 4 purwarupa, 200 KTI global, dan 50 HKI. Sementara untuk RO RP2 adalah hasil riset sains fundamental molekuler berupa 1 purwarupa, 100 KTI global, dan 10 HKI,” ungkapnya.
Berdasarkan arahan Kepala BRIN, ORNM akan mengembangkan 3 fokus kegiatan rumah program, yakni riset material alat kesehatan, instrumentasi pertanian, dan sains fundamental molekuler.
Berikutnya Kepala OREM Haznan Abimanyu menjabarkan Rumah Program yang akan dikembangkan, yaitu energi baru dan terbarukan. “Hasil pengembangan energi baru dan terbarukan pada dua tahun mendatang difokuskan pada prototipe turbin organic rankine cycle (ORC), terkait dengan potensi sampah, excess panas proses industri, pemanfaatan fuel cell, dan penyimpanan hidrogen,” ujarnya
Menanggapi pemaparan dari OREM, Handoko memberikan arahan agar OR menjalin komunikasi dengan industri untuk melakukan magang industri bagi periset, berfokus pada cofiring katalis dari biomassa, serta mengembangkan teknologi proses yang tepat guna. “Buatlah teknologi tepat guna agar dapat digunakan oleh industri, sehingga diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomi, agar produk menjadi lebih baik dan mutu yang terjaga,” pesannya.
Kemudian pada sesi berikutnya, Kepala ORTN Rohadi Awaludin menjelaskan Rumah Program yang akan dikembangkan di tahun 2023. “Tiga program kami yaitu energi untuk pembangunan berkelanjutan, daya saing industri untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya lokal dan daya saing produk dalam negeri, serta keselamatan dan keamanan radiasi untuk meningkatkan perlindungan terhadap masyarakat dari bahaya radiasi,” tuturnya.
Handoko menganjurkan ORTN agar lebih fokus kepada pengembangan nuklir untuk kesehatan, khususnya Radioisotop dan Radiofarmaka (RI/RF). Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya permintaan dari beberapa rumah sakit di Indonesia terkait kebutuhan RI/RF, baik untuk terapi maupun pengobatan. “Tujuannya selain disebabkan oleh kebutuhan dalam negeri yang semakin meningkat, juga mengurangi impor untuk nuklir medisinal,” ulasnya. (jp,esw,ls/ ed: adl)
Tangerang Selatan – Humas BRIN. Dalam rangka meningkatkan daya saing riset di Indonesia, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berupaya melengkapi fasilitas riset dengan alat-alat pengujian terbaru. Salah satunya adalah Transmission Electron Microscope Electron (TEM) Talos yang akan segera hadir di Laboratorium Karakterisasi Lanjut Kawasan Sains dan Teknologi B.J. Habibie. Guna memberikan informasi yang lengkap terkait TEM Talos kepada masyarakat umum, BRIN menggelar webinar ORNAMAT ke-11 edisi khusus TEM 1 pada Kamis (15/9).
Kepala Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM) BRIN, Ratno Nuryadi, menyampaikan bahwa webinar kali ini bertujuan meningkatkan pengetahuan terkait karakterisasi TEM. “TEM merupakan alat karakterisasi material dengan presisi sangat tinggi dengan skala nanometer. Khususnya karena alat TEM akan masuk ke lab material sekitar akhir tahun ini, sekitar Desember 2022,” ungkapnya.
Melalui webinar ini, Ratno mengajak peserta untuk mengetahui apa keunikan, keunggulan, dan kehebatan alat TEM ini dibanding dengan alat TEM yang lain. Ia juga menceritakan rencana webinar edisi khusus TEM akan diadakan dalam lima pertemuan.
“Prinsip alat ini berbasis tembakan elektron pada material lapisan tipis. Elektron akan menembus lapisan tipis dan ditangkap oleh detektor dan ditampilkan oleh citra. Gambar yang ditampilkan menampilkan kondisi riil atom per atom. Bahkan deretan atom yang sangat kecil, kurang dari 1 nanometer bisa terlihat,” jelas Ratno.
Untuk dapat menggunakan alat pengukur karakterisasi TEM ini, diperlukan kemampuan yang unik dari segi preparasinya. Pengerjaan preparasi sampel dapat memakan waktu yang lama, bahkan bisa sampai berbulan bulan. “Penggunaan alat ini tentunya tidak mudah, jadi butuh keahlian yang unik untuk menggunakan alat ini, terutama preparasinya untuk mempersiapkan material lapisan tipis,” imbuhnya.
Dijelaskan Ratno, manfaat dan keuntungan penggunaan TEM ini akan dapat meningkatkan kualitas riset di BRIN karena alat TEM ini terbaru di Asia Tenggara. “Semoga benefit dari TEM ini dapat dipahami oleh para periset internal dan eksternal BRIN. Silakan dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk meningkatkan kualitas riset kita menjadi standar global,” harapnya.
Pada saat ini kata Ratno, telah terbentuk tim yang akan melakukan pengembangan dan kolaborasi riset berbasis TEM untuk sains material, yang terdiri dari Yuliati Herbani (Pusat Riset Fotonik), Eni Sugiarti (Pusat Riset Material Maju/PRMM), Arbi Dimyati (Pusat Riset Teknologi Deteksi Radiasi dan Analisis Nuklir), Fadli Rohman (PRMM), Christin Rina Ratri (PRMM), Toto Sudiro (PRMM), Nendar Herdianto (PRMM), Dwi Gustiono (PRMM), dan Mohammad Dani (Pusat Riset Teknologi Reaktor Nuklir).
“Adanya tim ini agar bisa membantu sebelum TEM ini masuk BRIN. Tim akan melakukan penyiapan, sehingga kualitas riset kita menjadi lebih baik. Ini saatnya untuk menggali dan memanfaatkan alat ini. Silakan bagi bapak ibu yang punya ide, silakan kontak dengan tim ini, agar saat alat TEM ini masuk bisa bermanfaat,” ujarnya.
Pakar TEM dari Thermo Fisher Scientific yang berbasis di Singapura, Riza Iskandar memperkenalkan alat TEM Talos F200X yang baru dibeli oleh BRIN. “Jika tidak ada halangan, pada akhir tahun alat ini bisa berjalan. Sehingga melalui webinar ini dapat memberikan tambahan wawasan, seperti riset apa yang bisa dilakukan di BRIN atau di indonesia dengan alat TEM ini,” kata Riza.
Menurut Riza, alat TEM seperti yang dimiliki oleh BRIN hanya ada tiga di Asia Tenggara, selain di Indonesia, ada di Singapura dan Thailand. “Agar membuat Indonesia bangga, peneliti BRIN bisa mengekspor pengetahuan tentang material melalui alat ini. Karena alat ini juga mudah digunakan, semi otomatis, sehingga bisa membantu peneliti,” urai Riza.
Dijelaskan Riza, prinsip TEM fungsi utamanya sebagai mikroskop adalah untuk memperbesar obyek yang berukuran nano. “TEM Talos memiliki keunggulan untuk eksplorasi selain gambar, misalnya informasi struktur seperti kristal, alat ini dapat memberikan info struktur apakah kubik, heksagonal, atau lainnya melalui gambar detil,” ucap Riza.
“Keunggulan berikutnya, di TEM ini bisa didapatkan informasi struktur unsur kimia apa saja yang ada, serta dapat memvisualiasikan distribusi unsur-unsur kimia tersebut. Sebagai tambahan, fitur yang dimiliki alat ini bisa menampilkan ikatan elektron antara dua fasa,” lanjutnya.
BRIN saat ini sudah mempunyai satu buah TEM. Kehadiran TEM yang baru ini akan semakin melengkapi laboratorium karakterisasi. “TEM ini terbaik di kelasnya. Memiliki ekstra kecerahan yang menghasilkan gambar lebih baik. Dilengkapi dengan detektor 4 buah, sehingga bisa dapat sinyal di berbagai sisi. TEM pada umumnya menghasilkan gambar 2 dimensi, tapi dengan teknologi pada alat ini bisa menghasilkan gambar 3 dimensi,” ulas Riza.
Menurutnya, yang membedakan TEM dengan alat lain yang sejenis adalah TEM memliki sumber cahaya elektron. Jika dioperasikan maka TEM memiliki panjang gelombang yang kurang lebih 100 kali lebih kecil. “Untuk membandingkan prinsip kerjanya, bisa dibandingkan dengan mikroskop optik cahaya. Maka TEM dapat melakukan pembesaran di bagian layar. Operasionalnya pun mesti dalam kondisi vakum, tidak boleh bersentuhan dengan udara, karena mempergunakan elektron,” jelasnya.
Ukuran sampel yang mampu diteliti menggunakan TEM ini mesti sangat kecil. Menyesuaikan dengan wadah yang ada pada alat ini sebesar 2-3 milimeter. “Preparasi sampelnya sangat krusial, penting bagi periset di BRIN menaruh sampel dengan ukuran yang dipersyaratkan oleh TEM, supaya hasil penelitiannya dapat berhasil dengan baik,” harap Riza. (adl, mfn/ed:pur)
Tangerang Selatan – Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM), mengenalkan dua topik riset yang tengah dikembangkan melalui webinar yang bertajuk ORNAMAT seri sepuluh, Selasa (06/09). Kedua topik tersebut yakni, terkait ketahanan pangan dengan judul ‘Aplikasi Pengukuran Volume Cairan Bioflok Kolam Ikan dengan Metode Optik’ dan topik berikutnya terkait kesehatan dengan judul ‘Sintesis Polymethylmethacrylate (PMMA) dengan Miniemulsion Polymerzation dan Penambahan Graphene pada Aplikasi Semen Tulang untuk Menurunkan Temperatur Eksoterm’.
Terkait topik ketahanan pangan, Kepala ORNM, Ratno Nuryadi mengatakan, Indonesia merupakan negara berpenduduk terpadat keempat di dunia yang memiliki jumlah populasi lebih dari 275 juta orang. “Pertumbuhan ini akan terus meningkat di negara kita, tetapi jumlah produksi pangan, ternyata masih terbatas. Negara Indonesia masih banyak mengimpor terkait dengan kebutuhan pangan,” ungkap Ratno.
Ratno menambahkan, melalui riset budidaya ikan dengan teknologi bioflok, yang diharapkan dapat menghemat penggunaan air, pakan ikan, dan dapat menghemat lahan. Budidaya ikan ini akan lebih irit dibandingkan dengan budidaya secara konvensional.
Sedangkan untuk topik kesehatan, Ratno menyoroti banyaknya kasus patah tulang yang disebabkan oleh kecelakaan. “Banyak kasus patah tulang disebabkan oleh kecelakaan, atau penyebab yang lain akibat jatuh dan sebagainya. Menurut data kasus ini menyebabkan kebutuhan implan tulang di Indonesia semakin tinggi hingga mencapat 10 ton per tahun,” kata Ratno.
Dijelaskan olehnya, terkait dengan kebutuhan implan tulang, Indonesia saat ini masih sangat bergantung pada produk impor. Jadi dalam rangka meningkatkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) ini, riset dan inovasi semen tulang dengan komponen lokal ini dilakukan oleh Oka dan tim.
Ratno berharap ORNAMAT ini bisa memberikan wawasan dan pengetahuan yang lebih luas kepada para periset, praktisi, akademisi, dan industri. “Semoga kegiatan ini melahirkan diskusi-diskusi yang positif,” ungkapnya.
Aplikasi Pengukuran Volume Cairan Bioflok Kolam Ikan
Peneliti Kelompok Riset Sistem Kontrol dan Pengukuran Berbasis Optoelektronik, Jalu Ahmad Prakosa menjelaskan penelitiannya yang berjudul ‘Aplikasi Pengukuran Volume Cairan Bioflok Kolam Ikan dengan Metode Optik’. Menurutnya, volume bioflok merupakan faktor penting dalam mengembangkan budidaya ikan yang sukses. Namun demikian, penggunaan kerucut ukur sedimentasi untuk pengukuran volume bioflok membutuhkan waktu yang cukup lama.
Optoelektronika merupakan salah satu cara yang efisien untuk mengukur volume bioflok dengan cepat. “Prinsip penghamburan cahaya dapat diterapkan untuk merealisasikan dalam mengukur volume bioflok cairan kolam ikan menjadi lebih cepat,” terang Jalu.
Sumber cahaya lurus seperti laser dan fotodioda sebagai sensor cahaya, dimanfaatkan dalam metode optik bekerja sama dengan mikrokontroler. Cangkir kerucut ukur Imhoff memvalidasi metode optik yang diusulkan ini, baik di kolam ikan lele dan nila.
“Penelitian ini bertujuan untuk membangun teknik yang efisien untuk mengukur bioflok secara cepat dengan metode optik. Motode optik yang diusulkan telah berhasil dalam mengukur volume bioflok cairan kolam ikan lebih cepat dengan memanfaatkan sifat hamburan cahaya,” ujar Jalu.
Cairan yang memiliki partikel flok lebih besar akan menyerap lebih sehingga melanjutkan hamburan cahaya lebih kecil. Dalam risetnya, volume bioflok kolam ikan lele lebih besar, sekitar tiga kali lipat daripada kolam ikan nila.
“Dalam mendukung program ketahanan pangan nasional, penelitian ini bermanfaat,” tegasnya.
Aplikasi Semen Tulang untuk Menurunkan Temperatur Eksoterm
Pada kesempatan yang sama, periset dari Kelompok Riset Koloid dan Nanosains, Oka Arjasa, memaparkan hasil penelitiannya dengan judul ‘Sintesis Polymethylmethacrylate (PMMA) dengan Miniemulsion Polymerzation dan Penambahan Graphene pada Aplikasi Semen Tulang untuk Menurunkan Temperatur Eksoterm’.
Tim BRIN bekerjasama dengan tim ITB melakukan riset semen tulang dan berhasil menurunkan suhu curing semen tulang menjadi 46% lebih rendah dari produk semen tulang komersial melalui modifikasi sintesis miniemulsion dan penambahan bahan graphene.
Oka menjelaskan selain menurunkan suhu curing, penambahan graphene juga meningkatkan kekuatan tarik serta menimbulkan pori-pori pada semen tulang, yang dapat meningkatkan interaksi tulang dengan semen tulang.
Bahan graphene yang diteliti melalui kegiatan riset terpisah, telah berhasil disintesis dari bahan biomassa dan batubara. Selanjutnya, tim peneliti mencoba mengoptimasi metode sintesis serta melakukan pengujian poliferasi sel terhadap semen tulang yang dihasilkan.
Hasil dari risetnya, sintesis PMMA dengan metode miniemulsion polymerization berhasil dilakukan oleh Oka dan timnya.
“Penambahan surfaktan meningkatkan solid content PMMA, menurunkan ukuran partikel, dan menurunkan temperatur semen tulang PMMA,” paparnya.
Adanya penambahan costabilizer virgin coconut oil (VCO) dapat meningkatkan ukuran partikel, namun tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap solid content dan penurunan temperatur semen tulang.
“Kemudian terakhir, penambahan graphene dapat meningkatkan kekuatan tarik semen tulang PMMA,” pungkasnya. (hrd/ed : adl)
Tangerang Selatan, Humas BRIN. Organisasi Riset Nano Teknologi dan Material (ORNM) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kembali menggelar serial webinar ORNAMAT kesembilan yang dilaksanakan secara daring pada Selasa (23/8), dengan mengangkat dua tema yakni ‘Pirolisis Biomassa untuk Menghasilkan Biofuels dan Bahan Kimia’ dan ‘Syarat Batas bagi Medan Fermion pada Sistem dengan Area Terbatas (Confinement System)’. Kegiatan webinar ini dilakukan dalam upaya mendukung penguatan iklim riset, akumulasi pengetahuan, dan sarana membuka peluang kolaborasi bagi mitra, baik internal maupun eksternal BRIN.
Mewakili Kepala Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material BRIN, Yenny Meliana menyampaikan harapannya akan webinar ORNAMAT ini. “Melalui webinar ORNAMAT, ke depannya diharapkan BRIN khususnya di ORNM, banyak mitra yang berminat untuk menjalin kolaborasi dengan periset BRIN,” sambutnya.
Lebih lanjut Yenny menjelaskan bahwa baik pada kegiatan post-doctoral, visiting research, visiting professor, dan webinar ini, bisa menambah suasana dan dinamika riset di lingkungan ORNM agar menjadi semakin bagus ruang lingkupnya. “Dua tema ini mudah-mudahan membawa ilmu baru dan menambah ilmu pengetahuan baik dari sivitas ORNM maupun dari rekan-rekan di luar BRIN,” harap Kepala Pusat Riset (PR) Kimia Maju ini.
Pada webinar ini menampilkan dua narasumber yakni Dieni Mansur dari Kelompok Riset Termokimia PR Kimia Maju dan Ar Rohim, pascadoktoral pada Kelompok Riset Fisika Teori Energi Tinggi PR Fisika Kuantum.
Pirolisis Biomassa untuk Biofuels dan Bahan Kimia
Dalam paparannya, Dieni Mansur mempresentasikan topik pirolisis biomassa untuk menghasilkan biofuels dan bahan kimia. Materi ini sangat menarik dalam mendukung program pemerintah mengenai pengurangan pemanasan global di Indonesia khususnya. Proses menghasilkan energi listrik menggunakan bahan bakar fosil seperti batu bara di PLTU, dapat mengakibatkan terjadinya pemanasan global. Hal ini terjadi karena peningkatan gas emisi rumah kaca.
“Untuk mengatasinya, maka diusahakan teknologi co-firing, yakni biomasa berupa pellet atau sampah digunakan untuk mensubtitusi batu bara pada rasio tertentu sebagai bahan bakar untuk pembangkit,” terangnya.
Sejalan dengan isu penyediaan listrik yang berbasis biomassa, penggunaan bahan bakar nabati seperti biosolar yang merupakan campuran solar dan biodiesel juga ditingkatkan persentasenya oleh pemerintah, mulai dari B20 sampai dengan B100.
Penggunaan biodiesel ini dari minyak sawit ini digolongkan sebagai biofuel generasi pertama yang berkompetisi dengan bahan makanan, di mana minyak sawit digunakan sebagai minyak goreng. “Agar tidak terjadi kompetisi dengan minyak makan, dibuat pengembangan biofuel generasi kedua, maka yang digunakan adalah biomassa lignoselulosa menggunakan proses pirolisis,” ucap Dieni.
Dirinya kemudian menjabarkan tentang proses pirolisis. “Priolisis merupakan pemecahan dekompisisi termal pada suhu tinggi biasanya suhu 300-600 derajat celcius tanpa adanya oksigen. Proses priolisis biomassa menghasilkan tiga produk utama, yaitu bio-oil, gas, dan char yang dipengaruhi oleh laju pemanasan dan suhu terhadap bahan bakunya,” jelasnya.
Biasanya jika laju pemanasan lambat itu akan membentuk dua fase pirolisis yakni bio-oil untuk bahan bakar dan asap cair. Aplikasi untuk asap cair yang telah kami lakukan memiliki beberapa fungsi, misalnya menghambat pertumbuhan mikroba dan menyembuhkan luka. Hal itu tergantung pada bahan baku yang digunakan, seperti kayu putih, sekam padi, dan tempurung kelapa,” ungkapnya.
“Sementara char adalah residu yang digunakan sebagai pengganti batu bara, tetapi kualitas char tergantung pada jenis bahan baku yang digunakan,” imbuhnya.
Menurutnya, pirolisis oil dari biomassa lignaselulosa berpotensi untuk menghasilkan bahan kimia, contohnya asam asetat, metanol, furfuril alkohol, fenol, dan aseton. Bio-oil dari biomassa lignaselulosa setelah hidrodeoksigenasi, berpotensi sebagai biofuel karena nilai kalor naik. “Bio-oil dari proses co-pirolisis biomassa lignoselulosa berpotensi sebagai biofuel karena senyawa hidrokarbonnya tinggi,” urainya.
Dieni juga mengajak peserta webinar untuk berkolaborasi “Pada kesempatan ini kami membuka kolaborasi dengan berbagai pihak untuk kegiatan biochemical dan biofuels yang masih berupa cairan campuran, sehingga dibutuhkan alat distilasi vakum untuk fraksi yang lebih murni dan bahan kimia dimaksud bisa terwujud. Serta pada kegiatan char, mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan, diantaranya aplikasi untuk gasifikasi, co-firing, pembakaran di PLTU, dan masih banyak penggunaan lainnya,” tandasnya.
Syarat Batas Medan Fermion pada Sistem Area Terbatas
Dalam kesempatan yang sama, Ar Rohim menampilkan materi mengenai syarat batas bagi medan fermion pada sistem dengan area terbatas (confinement system). Sistem pada area terbatas itu merupakan topik dasar yang diajarkan dalam mekanika kuantum. Contoh sederhananya seperti sumber potensial tak hingga, di mana momentum dan energi mempunyai nilai diskrit.
“Dalam perkembangannya, sistem ini mempunyai banyak sekali aplikasi, baik secara teoritis maupun ekperimental. Untuk sistem yang lebih kompleks tidak hanya melibatkan partikel bebas, seperti partikel yang terperangkap di sistem grativitasi menjadi langkah penting dalam perkembangan netron optik,” ulasnya yang berkolaborasi dengan Kyushu University Jepang dan PR Fisika Kuantum BRIN.
Kemudian contoh lainnya adalah Efek Casimir, medan yang berada di antara dua pelat sejajar dalam keadaan vakum memiliki sifat saling tarik-menarik. “Menariknya, ini berbeda dengan teori klasik yang menyebutkan bahwa bila tidak ada gaya dari luar, maka tidak akan terjadi tarik-menarik,” tutur Ar Rohim.
Ar Rohim juga menyampaikan terkait diskusi pada partikel Dirac yang tidak trivia karena berkaitan dengan masalah pada syarat batas yang digunakan relativistik partikel. “Persamaan Dirac dalam bentuk medan Dirac diperoleh dari selesaian persamaan Dirac yang merupakan persamaan diferensial orde satu, sebagai contoh persamaan Dirac bagi partikel bebas,” ulasnya.
Menurut peneliti pascadoktoral ini, syarat batas chiral MIT pada sistem dengan area terbatas dapat ditinjau dua jenis sistem. “Sistem partikel Dirac dalam kotak 1 dimensi serta medan fermion masif di antara dua pelat sejajar. Di sini kita menganalisis sistem Casimir-nya. Keberadaan syarat terbatas chiral MIT menunjukan beberapa fitur, di antaranya momentum terdiskritasi, khususnya komponen yang tegak lurus terhadap permukaan batas,” ujarnya.
Terdapat kemungkinan bentuk simentri pada distribusi kerapatan probabilitas, bergantung pada pengaturan awal keadaan spin dan sudut chiral. “Pantulan spin terjadi secara konsisten, komponen fungsi gelombang pantulan pada permukaan batas satu sama dengan komponen fungsi gelombang datang pada permukaan batas dua,” jelas Ar Rohim.
Kemudian ia menerangkan fitur terakhir mengenai medan fermion masif di antara dua pelat chiral sejajar. “Sifat energi Casimir bagi medan fermion masif di antara dua plat, sejajar terhadap sudut memiliki bentuk yang simetri. Energi Casimir pada keadaan chiral selalu lebih besar dari energi Casimir pada keadaan achiral,” pungkasnya. (esw/ ed. adl)
Tangerang Selatan, Humas BRIN. Gerald Ensang Timuda, periset Pusat Riset Material Maju – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada Selasa (16/7) mempresentasikan risetnya berjudul “Aplikasi Material Metal Oksida Nanostruktur untuk Produksi Hidrogen Ramah Lingkungan”. Topik riset tersebut dipresentasikan pada webinar ORNAMAT seri #7 tahun 2022 di lingkungan Organisasi Riset Nano Teknologi dan Material BRIN
Dalam paparannya, Gerald menyampaikan alasan melakukan riset material nanostruktur untuk produksi hidrogen.Gerald menjelaskan bahwa riset ini merupakan salah satu bagian dari upaya untuk menciptakan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). “Penggunaan energi berbasis fosil di Indonesia ketersediaannya semakin menipis dan juga polusi yang dihasilkan, sehingga diperlukan upaya efisiensi dan alternatif sumber energi baru,” ujarnya.
“Kami memilih hidrogen sebagai salah satu solusi bahan bakar, karena kita memiliki teknologi berbasis hidrogen untuk menghasilkan listrik yang kita kenal dengan fuel cell. Teknologi ini hanya menghasilkan produk samping berupa air, uap air dan panas, jadi sangat ramah lingkungan,” tutur Gerald.
Bagaimana Hidrogen Diproduksi?
Hidrogen dapat diperoleh dengan berbagai macam metode. Yang paling umum digunakan disebut Steam Methane Reforming. Prosesnya adalah dengan mereaksikan gas metana dengan uap air (steam) bersuhu tinggi (700 – 1000 oC) pada tekanan sekitar 3-25 bar. Tetapi permasalahan dari metode ini adalah gas metana berasal dari gas alam yang berarti masih termasuk sumber bahan bakar fosil, dan dalam prosesnya menghasilkan gas-gas rumah kaca seperti CO dan CO2 selain gas hidrogen.
Metode popular lain adalah elektrolisis air. Molekul air (H2O) dipecah menjadi gas oksigen (O2) dan gas hidrogen (H2) menggunakan energi listrik. Permasalahan utama dari proses ini adalah energi yang dibutuhkan untuk memecah air menjadi gas hidrogen dan oksigen selalu lebih tinggi dibandingkan proses sebaliknya. Sehingga, tidak masuk akal jika hidrogen hasil elektrolisis air dijadikan sumber energi listrik.
“Oleh karena itu, perlu digunakan sumber energi lain untuk memecah molekul air”, ujar Gerald. Metode yang dikembangkan oleh Gerald dan timnya adalah dengan memanfaatkan energi surya sebagai sumber energinya, yang dikenal dengan sistem Photoelectrochemical Water Splitting.
Permasalahan Intermittency
Konversi energi surya umumnya menjadi listrik menggunakan sel surya (solar cell). Tetapi ada permasalahan intermittency. Yaitu, energi matahari bersinar siang hari, tetapi kebutuhan energi yang sangat tinggi itu terjadi di malam hari. Jadi tidak ada ketidakcocokan di sini.
Ketidakcocokan kebutuhan energi ini membutuhkan adanya teknologi sekunder seperti teknologi baterai untuk menyimpan listrik hasil konversi sel surya. Alternatif lain adalah penyimpanan energi dalam bentuk gas hidrogen. Hidrogen bisa dikonversi kapan saja menjadi listrik kembali menggunakan piranti seperti fuel cell, sehingga bisa mencukupi kebutuhan energi di waktu-waktu ketika pasokan energi matahari tidak ada atau kurang optimal.
Pasokan energi dari matahari cukup melimpah
Penggunaan energi surya untuk produksi hidrogen sangat potensial karena pasokan energi dari matahari sangat berlimpah. Pasokan energi matahari ke permukaan bumi dapat mencapai 10.000 kali konsumsi energi global. Oleh karena itu, secara ideal, jika sumber energi dari matahari ini bisa dikonversi dengan priranti yang memiliki efisiensi 10%, maka perlu menutupi permukaan bumi sebesar 0,1 % saja untuk dapat mencukupi kebutuhan energi global. Dalam skala lokal, menutupi daerah kurang lebih seluas ibu kota baru, cukup untuk memenuhi kebutuhan energi nasional.
Produksi Hidrogen dengan Energi Surya
Gerald dan tim memproduksi hidrogen sendiri dengan bantuan energi surya yaitu menggunakan energi matahari ini sendiri, untuk mengaktifkan salah satu elektroda dari alat elektrolis air. “Dengan elektroda ini yang menyerap energi dari matahari dan memecah hidrogen atau oksigen yang ada di air secara langsung,” menurut Gerald.
Terknologi ini, Gerald dan tim menamakan sistem Photoelectrochemical (PEC) Water Spliting, yang sedang dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir.
Prinsip PEC Water Spliting
Prinsip PEC Water Spliting adalah, saat cahaya matahari yang masuk ke sistem maka cahaya matahari akan diserap oleh suatu material aktif (fotoabsorber). Material fotoabsorber di sini adalah material semikonduktor yang memiliki level energi konduksi dan valensi yang bersesuaian dengan level energi reduksi maupun oksidasi air sehingga mampu menghasilkan gas hidrogen dan oksigen.
Setelah energi cahaya diserap oleh material absorber sebagai foto-anoda, elektron yang ada di level valensi dari material tersebut akan tereksitasi menuju level konduksi, dan meninggalkan hole di level valensi. Hole ini akan mengoksidasi air sehingga molekul air terpisah menghasilkan gas oksigen dan ion H+. Elektron tereksitasi di level konduksi akan dikeluarkan ke rangkaian eksternal menuju katoda, dan digunakan untuk mereduksi ion H+ dan menghasilkan gas hidrogen.
Mengapa Perlu Nanostruktur?
Struktur nano sangat dibutuhkan agar bisa diperoleh luas permukaan yang tinggi sehingga semakin banyak lokasi terjadinya reaksi pemecahan air. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan pula sifat listrik material setelah menjadi struktur nano.
Hambatan listrik bisa menjadi lebih tinggi setelah berstruktur nano dibandingkan bulk-nya, misalnya untuk jenis mesoporous nanoparticle. Hal ini mengakibatkan berkurangnya elektron yang tersedia untuk reaksi reduksi air sehingga produksi hidrogen juga menurun.
“Untuk meningkatkan sifat listrik, pengembangan struktur 1D atau 2D seperti nanorod atau nanosheet menjadi pilihan, meskipun dengan trade-off luas permukaan yang semakin kecil,” ujar periset muda ini.
Nanostruktur Metal Oksida di PEC Water Splitting
Beberapa contoh aplikasi nanostruktur untuk beberapa jenis material metal oksida, antara lain:
Zinc oxide atau seng oksida (ZnO)
Pada paper Electrochemistry Communications 13 (2011) 1383-1386, dijelaskan perbedaan antara dua nanostruktur ZnO untuk PEC Water Splitting, yaitu nanotube dan nanosheet. Nanosheet menghasilkan photocurrent yang lebih tinggi dari nanotube. Respon photocurrent adalah respon arus yang dihasilkan ketika foto-anoda semikonduktor disinari cahaya. Ini adalah salah satu cara mendeteksi sifat foto-anoda yang baik.
Paper Nano Energy 20 (2016) 156-167 juga mempelajari perbedaan berbagai nanostruktur ZnO, dan dalam hal ini orientasi kristal dari permukaan material yang terekspos ke air juga dipelajari: nanosheet dengan orientasi (002), nanorod (100), dan nanopiramida (101). Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa struktur nanosheet dengan orientasi (002) menghasilkan photocurrent terbesar.
Dari kedua contoh di atas, telah diperlihatkan pentingnya nanostruktur yang tepat untuk aplikasi PEC Water Splitting. Kami juga melakukan penelitian ke arah ini. Dari paper yang sebelumnya mereka membuat nanosheet dengan posisi lembaran (sheet)-nya sejajar dengan permukaan substrat, sekarang kami mencoba membuat nanosheet yang lembarannya tegak lurus terhadap substrat (berdiri). Harapannya, nanosheet dapat ditumbuhkan ke atas (semakin tinggi) sehingga luas permukaannya juga semakin tinggi.
“Hasil penelitian kami ini telah kami publikasikan di AIP Conf.Proc.2382 (2021) 020006. Selain itu kami juga mengembangkan metode baru untuk sintesis serbuk ZnO sehingga menghasilkan struktur unik spiked-nanosheet. Aplikasi serbuk ini sebagai PEC Water Splitting telah kami laporkan di ‘The 6th International Symposium on the Frontier of Applied Physics (ISFAP 2021)’, di mana prosidingnya akan dipublikasikan dalam waktu dekat ini,” urai Gerald.
Titanium dioxide (TiO2)
Material semikonduktor metal oksida lain yang mirip dengan ZnO dari segi level energi dan bandgap adalah TiO2. Untuk aplikasi sebagai foto-anoda sistem PEC Water Splitting, berbagai jenis nanostruktur telah dilaporkan, antara lain nanoparticle, nanotube, nanorod, nanotube dan nanorod bercabang, dsb. (Small (2019) 1903378). Respon photocurrent yang lebih besar diperoleh untuk struktur dengan luas permukaan tinggi seperti nanotube dan nanorod bercabang.
Bismuth Vanadate (BiVO4)
Kedua material yang sudah diterangkan di atas, ZnO dan TiO2, hanya mampu menyerap cahaya ultraviolet (UV) dari sinar matahari. Padahal, cahaya UV hanya bagian kecil dari spektrum cahaya matahari. Spektrum cahaya tampak, yang merupakan porsi terbesar, tidak bisa diserap. Untuk meningkatkan efektivitas penyerapan, perlu dikembangkan material yang mampu menyerap cahaya tampak, seperti Bismuth Vanadate (BiVO4)
Material ini termasuk yang tertinggi efesiensinya di golongan metal oksida untuk aplikasi foto-anoda PEC Water Splitting. Paper Nature Communication 6 (2015) 8769 melaporkan struktur BiVO4 nanoporous nano-coral dan mendapatkan efisiensi yang tertinggi di kelasnya.
Hematit (Fe2O3)
Material metal oksida lain yang memiliki spektrum penyerapan cahaya tampak adalah hematit (Fe2O3). Paper NanoscaleHoriz 1 (2016) 243-267 menjelaskan berbagai nanostruktur hematit untuk aplikasi PEC Water Splitting, seperti nanorod, dendrites, nanocone, cauliflower, dan nanosheet. Salah satu permasalahan hematit adalah mudahnya elektron tereksitasi kembali ke level semula (dikenal dengan rekombinasi). Sehingga, sintesis menjadi struktur nano selain untuk meningkatkan luas permukaan juga untuk meningkatkan sifat transportasi elektronnya. Di antara berbagai nanostruktur di atas, struktur nanocone dan cauliflower termasuk yang tertinggi respon photocurrent-nya.
Struktur hybrid
Selain pengembangan nanostruktur, Gerald dan timnya juga mengembangkan struktur hybrid atau heterostruktur antar metal oksida.
“Hal ini berfungsi untuk melebarkan spektrum cahaya matahari yang bisa diserap oleh material. Material nanostruktur seperti ZnO dan TiO2 memiliki sifat fotoelektrik yang baik, namun hanya mampu menyerap spektrum ultraviolet (UV) dari cahaya matahari. sementara kita ingin penyerapan bisa sampai di visible,” kata Gerald.
“Di sisi lain, Fe2O3 memiliki spektrum penyerapan di cahaya tampak, tetapi sifat transport elektronnya kurang baik sehingga hanya sedikit elektron yang bisa dimanfaatkan untuk mereduksi air. Dengan struktur hybrid diharapkan sifat transportasi elektron meningkat sehingga elektron yang dihasilkan dari penyerapan cahaya tampak bisa lebih banyak tersedia untuk reduksi air,” pungkasnya. (hrd/ ed. adl)
Tangerang Selatan – Humas BRIN. Memperingati Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) yang ke-27, pada 10 Agustus 2022, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memperkenalkan penamaan baru empat kawasan sains dan teknologi, untuk memperkuat ekosistem riset dan inovasi di Indonesia. Empat kawasan sains dan teknologi tersebut yaitu KST BJ Habibie di Kawasan Serpong, Tangerang Selatan, KST Soekarno di Kawasan Cibinong Science Center, KST Siwabessy di Kawasan Pasar Jumat Jakarta, dan KST Samaun Samadikun di Kawasan Bandung.
KST BJ Habibie merupakan kawasan sains dan teknologi yang telah dikenal sebagai kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Serpong. Saat itu, Puspiptek merupakan unit kerja di bawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi, yang didirikan berdasarkan Keputusan Presiden nomor 43/1976 tanggal 1 Oktober 1976.
Ide mendirikan kawasan Puspiptek Serpong sudah mulai digagas, saat era Menristek Soemitro Djojohadikoesoemo. Selanjutnya, di bawah kepemimpinan Menristek BJ Habibie, kawasan Puspiptek kemudian dikembangkan secara serius. Kawasan itu pernah disebut sebagai “Silicon Valley” Indonesia. Kala itu, Habibie membangun kawasan puspiptek dengan mengambil contoh pusat inovasi teknologi Silicon Valley di Amerika Serikat (AS).
Kawasan Sains dan Teknologi (KST) sendiri diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2017. Peraturan tersebut mulai berlaku pada tanggal 22 November 2017. KST merupakan wahana yang dikelola secara profesional untuk mengembangkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan melalui pengembangan, penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan penumbuhan perusahaan pemula berbasis riset.
Peraturan ini dibuat dalam rangka memfasilitasi perkembangan industri, khususnya pelaku usaha skala kecil menengah berbasis inovasi. Sehingga perlu disediakan layanan bagi industri dalam suatu kawasan yang memfasilitasi invensi menjadi inovasi, untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing.
Kawasan Sains dan Teknologi akan mempermudah terjadinya interaksi dan komunikasi antar pelaku utama yang terlibat dalam penciptaan inovasi, baik pengembang teknologi, pengguna teknologi, maupun fasilitator atau intermediator. Kawasan Sains dan Teknologi hadir untuk mendukung industri strategis di dalam negeri.
Sosok BJ Habibie
Pemberian nama kawasan sains dan teknologi tidak lepas dari kiprah dan peran Prof. Dr.-Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie. Tokoh nasional yang dikenal sebagai Bapak Teknologi Nasional itu, pernah menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi RI (1978-1998), Wakil Presiden RI (1998), dan Presiden RI (1998–1999).
BJ Habibie lahir di Kota Pare-Pare Sulawesi Selatan pada tanggal 25 Juni 1936. Ia sempat menempuh masa pendidikannya di SMAK Dago, Bandung dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Ia berkuliah di jurusan Teknik Penerbangan spesialis Konstruksi Pesawat Terbang di Rheinisch-Westfälische Technische Hochschule (RWTH) Aachen, Jerman pada tahun 1955.
Ia memutuskan mengambil studi di Jerman atas arahan Presiden Soekarno tentang pentingnya penguasaan teknologi di Indonesia, yakni teknologi maritim dan teknologi dirgantara. Di kampus inilah, BJ Habibie belajar teknologi konstruksi pesawat dan menjadi pakar yang pertama kali menciptakan pesawat terbang di Indonesia.
Crack Progression Theory menjadi salah satu penemuanya yang paling fenomenal di dunia penerbangan. Crack Progression Theory merupakan suatu teori yang bertujuan untuk mengetahui keretakan yang terjadi di suatu pesawat. Atas hasil karyanya itu, ia dijuluki sebagai “Mr Crack”.
Saat menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) sejak tahun 1978 sampai Maret 1998, BJ Habibie membuat berbagai terobosan. Targetnya, Indonesia sebagai negara agraris dapat melompat langsung menjadi negara industri dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satunya adalah melalui pengembangan industri strategis PT Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN) yang saat ini menjadi PT Dirgantara Indonesia (DI).
IPTN di bawah pengelolaan BJ Habibie berhasil mengembangkan teknologi pesawat. Karya yang paling legendaris dari BJ Habibie yaitu pesawat N250 atau dikenal dengan Gatotkaca. Pesawat ini mengudara pertama kali di Bandung pada tahun 10 Agustus 1995. Oleh karena itu, hari bersejarah tersebut dicanangkan sebagai Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas).
Riset dan Inovasi Unggulan KST BJ Habibie
KST BJ Habibie berdiri di atas lahan seluas 460 Hektar. Saat ini terdapat 6 Organisasi Riset (OR), 24 Pusat Riset (PR), serta lebih dari 3.000 sumber daya manusia (SDM) yang beraktifitas di kawasan tersebut. Berlokasi di Jalan Raya Puspiptek, Tangerang Selatan, Banten, kawasan ini terbagi dalam beberapa zona yaitu, Zona Perkantoran, Zona Edukasi, Zona Ruang Terbuka Hijau, Zona Perumahan dan Fasilitas Publik, serta Zona Bisnis Teknologi. KST BJ Habibie dirancang untuk mensinergikan SDM yang terlatih dengan peralatan dan pelayanan yang mendukung riset terlengkap di Indonesia.
Salah satu organisasi riset BRIN yang berlokasi di KST BJ Habibie adalah Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM). Kepala ORNM, Ratno Nuryadi, menceritakan pengalamannya bekerja di KST BJ Habibie sejak tahun 2008. “Saya pulang dari Jepang tahun 2008 dan masuk ke Unit Kerja Pusat Teknologi Material, (eks) BPPT yang berada di Puspiptek (KST BJ Habibie). Saya dan tim melakukan riset di bidang material elektronik, khususnya pengembangan material fungsional termasuk instrumentasinya untuk sensor lingkungan (gas) dan kesehatan (biosensor),” ungkapnya.
Berbekal ilmu nanosains di bidang divais semikonduktor silikon berstruktur nano yang diperoleh selama studi di Shizuoka University Jepang, dirinya dan tim mengembangkan material fungsional lapisan tipis ZnO (oksida zinc) untuk mendeteksi gas CO, CO2, O2, dan metana dan konsentrasi rendah.
Efek penambahan (doping) logam tanah jarang cerium pada sensitivitas gas juga dipelajari oleh Ratno. “Proses pendeteksian gas ini dilakukan dengan perangkat MEMS (microelectromechanical systems), surface plasmon resonance, dan perangkat perubahan konduktivitas,” ujarnya.
Menurutnya, di KST BJ Habibie terdapat banyak infrastruktur riset untuk bidang Nanoteknologi dan Material, baik dari sisi peralatan proses/sintesis material maupun karakterisasinya hingga level skala nanometer (10 pangkat 9 meter).
“Peralatan proses dari berbagai pendekatan ilmu juga ada, seperti pendekatan kimiawi, fisika, maupun biologi. Yang terbaru juga akan masuk High Resolution Transmission Electron Microscopy (HRTEM), alat pengukur hingga level atom, untuk material sains di Lab KST BJ Habibie yang akan mendukung riset nanoteknologi dan material lebih kuat lagi,” terangnya.
Saat ini, ORNM yang dipimpin oleh Ratno berfokus pada riset dan inovasi dalam bidang pertambangan, metalurgi, material maju, kimia, polimer, fisika kuantum dan fotonik. Riset dan inovasi material dengan penekanan kuat pada sintesis, karakterisasi dan aplikasi untuk bahan logam, keramik, polimer, komposit, organik dan anorganik dilakukan hingga skala mikro dan skala nano. Aplikasi mencakup berbagai macam bidang termasuk energi, lingkungan, infrastruktur, kesehatan, dan elektronik.
Produk inovasi yang dihasilkan oleh ORNM di KST BJ Habibie diantaranya adalah material pelapis untuk aplikasi cofiring boiler pada PLTU, furnace suhu tinggi dengan isolator lokal, cat anti deteksi radar, inovasi pengembangan produksi powder timah dan kajian produksi timah sulfat, katalis bahan bakar nabati untuk biofuel, pengembangan bahan baku baterai dan sel baterai, rubber airbag untuk bantalan kapal, impan tulang dan gigi, hasil riset surfaktan turunan sawit untuk bahan adjuvant vaksin hewan, serta penambangan emas tanpa merkuri.
Untuk meningkatkan kapasitas SDM di Indonesia, sejumlah pusat riset di KST BJ Habibie juga menawarkan layanan bagi siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dan mahasiswa untuk praktik kerja industri (PRAKERIN), magang atau praktik kerja lapangan, serta bimbingan tugas akhir skripsi dan tesis.
Selain itu, tersedia layanan pengujian, kalibrasi, dan sertifikasi dari berbagai peralatan dan fasilitas laboratorium di KST. Layanan ini dikelola oleh Deputi Bidang Infrastruktur Riset dan Inovasi BRIN dan bisa diakses melalui aplikasi layanan sains (ELSA) maupun perjanjian kerja sama (PKS).
Sejumlah fasilitas yang dapat dimanfaatkan oleh pihak internal maupun eksternal seperti Iradiasi Gamma; Technology Business Incubation Center; Lab Fuel Cell, Konservasi, dan Konversi Energi; Lab Karakterisasi Lanjut; Aerodinamika, Aeroelastika, Aeroakustika, Lab Layanan Pengujian Kekuatan Struktur, Bioteknologi, dan Uji Emisi. (adl, aj/ed: jml)
Tangerang Selatan – Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM) mengenalkan dua aplikasi riset permukaan untuk implan gigi dan deteksi bakteri. Kedua aplikasi riset tersebut diulas pada webinar ORNAMAT seri kelima, Selasa (28/6).
Kedua aplikasi riset permukaan tersebut yakni Aplikasi Teknologi Sandblasted with Large Grit and Acid-etched (SLA) dalam Modifikasi Permukaan Implan Gigi’ dan Modifikasi dan Optimasi Silika Nanopartikel Fluorosensi Berbasis Mineral Alam sebagai Platform Deteksi Bakteri.
Kepala Pusat Riset Fisika Kuantum, Ahmad Ridwan Tresna Nugraha yang mewakili Kepala ORNM mengatakan bahwa webinar ORNAMAT kali ini menampilkan pemateri yang mempunyai kesamaan yakni membahas ilmu pengetahuan dan teknologi seputar permukaan atau surface dari kelompok riset yang terdapat di ORNM.
“Keberadaan dari kelompok-kelompok riset yang memiliki spesialis di bidang permukaan ini menandakan begitu pentingnya studi permukaan. Boleh dibilang bahwa permukaan adalah kunci untuk membuka ilmu pengetahuan dan teknologi baru. Kalau di ilmu fisika, sebagian besar fenomena alam semesta adalah fenomena interaksi di permukaan,” kata Ridwan.
Peneliti dari Pusat Riset Material Maju, Razie Hanafi, menyampaikan menjelaskan terkait ‘Aplikasi Teknologi Sandblasted with Large Grit and Acid-etched (SLA) dalam Modifikasi Permukaan Implan Gigi’. Menurut Razie, berdasarkan data dari Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), di Indonesia belum ada produsen lokal yang memproduksi implan gigi. Masih 100 persen impor.
“Hal ini menjadi perhatian PDGI, karena bila tidak perlu impor, maka layanan implan bagi masyarakat Indonesia ini bisa lebih diperluas. Jadi kami duduk bersama bagaimana mengembangkan implan gigi, berinovasi dengan teknologi bersama mitra,” ujar Razie.
Guna merealisasikan pengembangan implan gigi, lanjut Razie, perlu membuat program rekayasa permukaan pada implan gigi. Rekayasa permukaan ini dapat dilakukan dengan jalan modifikasi morfologi (penaikan harga kekasaran, mengubah topografi, merancang morfologi pada skala nano) secara fisika, kimia, maupun mekanik. Alternatif lain bisa melalui modifikasi coating (pelapisan), dengan hidroksiapatit, biomimetik, ataupun hybrid. Selain itu, bisa juga gabungan kedua modifikasi.
Rekayasa permukaan implan gigi yang kemudian dipilih oleh Razie adalah modifikasi morfologi. Berdasarkan hasil studi, teknologi SLA (sandblasting with lage-grit and acid-etching) dipilih untuk surface treatment. “Jadi sederhana saja metodenya, implan di-blasting dengan partikel, lalu dimasukkan dalam larutan asam,” ujar Razie.
Razie menganggap SLA penting, terutama karena mendukung BIC (bone-to-implant-contact). “JIka BIC meningkat beberapa hari setelah pemasangan implan ke tubuh pasian, maka prosesnya dapat dikatakan berhasil,” tegasnya.
“Selain itu SLA relatif lebih murah dan time economy, baik karena proses pemasangannya mudah, cepat, dan sangat ekonomis,” lanjut Razie.
Setelah sampel didapatkan dari segi formula dan desainnya, dilakukan uji biokompatibilitas dan sifat osteogenik bahan implan gigi. “Jadi kita menguji bahan implan itu tidak secara langsung pada makhluk hidup, tetapi secara in vitro,” jelas Razie.
Peneliti dari Kelompok Riset Kimia Permukaan dan Nanopartikel, Siti Nurul Aisyiyah Jenie menyajikan materi berjudul ‘Modifikasi dan Optimasi Silika Nanopartikel Fluorosensi Berbasis Mineral Alam sebagai Platform Deteksi Bakteri’.
Kegiatan ini telah dirintis Aisyiyah sejak 2017, yang kemudian dalam perkembangannya dapat diaplikasikan ke dalam berbagai platform deteksi. Untuk topik kali ini merupakan kegiatan dengan skema kerja sama Southeast Asia-Europe Joint Funding untuk riset dan inovasi terkait deteksi bakteri.
Latar belakang riset yang Aisyiyah dan tim lakukan adalah adanya fenomena antimicrobial resistance (AMR) atau resistensi bakteri, yang mengancam kesehatan global. “Tingkat kematian di Asia dan Afrika termasuk tinggi, sehingga hal ini menjadi perhatian kami untuk melakukan penelitian ini,” kata Aisyiyah.
Dijelaskan Aisyiyah, dalam mengantisipasi bakteri yang resisten terhadap antibiotik, yaitu selain dengan memodifikasi antibiotik adalah metode skrining. Sayangnya, metode skrining yang ada saat ini masih mahal dan membutuhkan fasilitas laboratorium yang canggih.
“Tantangan penelitian ini ada dua, yakni kebutuhan klinis dan kebutuhan pasar. Kami ingin sebagai personil non medis bisa dengan mudah memperoleh sistem skrining di toko terdekat, seperti layaknya akses alat pregnancy test atau tes kehamilan,” paparnya.
Riset yang diharapkan adalah yang mampu menghasilkan alat yang mudah digunakan, sifatnya non invasif, serta dapat menganalisis banyak hal sekali waktu. “Melalui pendekatan nanoteknologi, biosensor berbasis struktur nano, akan didapatkan sistem bio-deteksi yang cepat, ultra sensitif, selektif, akurat, ekonomis, dan sustainable,” urainya.
Dirinya menyebutkan bahwa risetnya berfokus pada platform nanobiosensor dengan memodifikasi dan menghasilkan sinyal deteksi, secara optikal dan fluoresensi. “Jadi kita bisa mengoptimasi elemen bio rekognisi dengan memodifikasi permukaan kimia. Untuk nanomaterial yang digunakan di sini adalah silika,” urai Ais.
Dikatakan olehnya bahwa sel bakteri ukurannya besar dalam skala nanometer, yaitu 1000 nm. Sementara alat pendeteksi bakteri yang ia buat dalam skala nanometer. “Mengapa tetap dibuat dalam struktur nano? Karena sifat intrinsik nanomaterial dapat meningkatkan performa biosensor. Kemudian meningkatkan proses rekognisi dan transduksi. Kalau secara fluorosensi itu intensitasnya akan lebih tinggi, sehingga sensitivitas dan selektivitas performa biosensor meningkat. Kuncinya memang memodifikasi permukaannya,” terangnya.
Dalam proses pembuatannya, pada dasarnya adalah menggunakan metode sol-gel untuk menghasilkan nanopartikel. “Metode sol-gel termodifikasi ini dipilih karena sederhana, tidak menggunakan pelarut organik, tanpa suhu dan tekanan ekstrim, mudah dan murah,” tutur Ais.
Lebih lanjut ia mengembangkan dengan penambahan dye rhodamin. “Ketika rhodamin sudah terikat dengan silika maka tingkat fluorosensinya menjadi dua kali lebih tinggi dalam konsentrasi yang sama,” cakapnya.
Kemudian, memodifikasi nanopartikel silika dengan antibodi untuk meningkatkan selektivitas bakteri melalui intensitas fluoresensi. “Kesimpulannya, nanomaterial silika berbasis mineral alam memiliki potensi yang sangat besar untuk disintesis dan dimodifikasi menjadi platform deteksi bakteri,” pungkasnya. (adl/ed:pur)