Tangerang Selatan – Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM) mengenalkan dua aplikasi riset permukaan untuk implan gigi dan deteksi bakteri. Kedua aplikasi riset tersebut diulas pada webinar ORNAMAT seri kelima, Selasa (28/6).
Kedua aplikasi riset permukaan tersebut yakni Aplikasi Teknologi Sandblasted with Large Grit and Acid-etched (SLA) dalam Modifikasi Permukaan Implan Gigi’ dan Modifikasi dan Optimasi Silika Nanopartikel Fluorosensi Berbasis Mineral Alam sebagai Platform Deteksi Bakteri.
Kepala Pusat Riset Fisika Kuantum, Ahmad Ridwan Tresna Nugraha yang mewakili Kepala ORNM mengatakan bahwa webinar ORNAMAT kali ini menampilkan pemateri yang mempunyai kesamaan yakni membahas ilmu pengetahuan dan teknologi seputar permukaan atau surface dari kelompok riset yang terdapat di ORNM.
“Keberadaan dari kelompok-kelompok riset yang memiliki spesialis di bidang permukaan ini menandakan begitu pentingnya studi permukaan. Boleh dibilang bahwa permukaan adalah kunci untuk membuka ilmu pengetahuan dan teknologi baru. Kalau di ilmu fisika, sebagian besar fenomena alam semesta adalah fenomena interaksi di permukaan,” kata Ridwan.
Peneliti dari Pusat Riset Material Maju, Razie Hanafi, menyampaikan menjelaskan terkait ‘Aplikasi Teknologi Sandblasted with Large Grit and Acid-etched (SLA) dalam Modifikasi Permukaan Implan Gigi’. Menurut Razie, berdasarkan data dari Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), di Indonesia belum ada produsen lokal yang memproduksi implan gigi. Masih 100 persen impor.
“Hal ini menjadi perhatian PDGI, karena bila tidak perlu impor, maka layanan implan bagi masyarakat Indonesia ini bisa lebih diperluas. Jadi kami duduk bersama bagaimana mengembangkan implan gigi, berinovasi dengan teknologi bersama mitra,” ujar Razie.
Guna merealisasikan pengembangan implan gigi, lanjut Razie, perlu membuat program rekayasa permukaan pada implan gigi. Rekayasa permukaan ini dapat dilakukan dengan jalan modifikasi morfologi (penaikan harga kekasaran, mengubah topografi, merancang morfologi pada skala nano) secara fisika, kimia, maupun mekanik. Alternatif lain bisa melalui modifikasi coating (pelapisan), dengan hidroksiapatit, biomimetik, ataupun hybrid. Selain itu, bisa juga gabungan kedua modifikasi.
Rekayasa permukaan implan gigi yang kemudian dipilih oleh Razie adalah modifikasi morfologi. Berdasarkan hasil studi, teknologi SLA (sandblasting with lage-grit and acid-etching) dipilih untuk surface treatment. “Jadi sederhana saja metodenya, implan di-blasting dengan partikel, lalu dimasukkan dalam larutan asam,” ujar Razie.
Razie menganggap SLA penting, terutama karena mendukung BIC (bone-to-implant-contact). “JIka BIC meningkat beberapa hari setelah pemasangan implan ke tubuh pasian, maka prosesnya dapat dikatakan berhasil,” tegasnya.
“Selain itu SLA relatif lebih murah dan time economy, baik karena proses pemasangannya mudah, cepat, dan sangat ekonomis,” lanjut Razie.
Setelah sampel didapatkan dari segi formula dan desainnya, dilakukan uji biokompatibilitas dan sifat osteogenik bahan implan gigi. “Jadi kita menguji bahan implan itu tidak secara langsung pada makhluk hidup, tetapi secara in vitro,” jelas Razie.
Peneliti dari Kelompok Riset Kimia Permukaan dan Nanopartikel, Siti Nurul Aisyiyah Jenie menyajikan materi berjudul ‘Modifikasi dan Optimasi Silika Nanopartikel Fluorosensi Berbasis Mineral Alam sebagai Platform Deteksi Bakteri’.
Kegiatan ini telah dirintis Aisyiyah sejak 2017, yang kemudian dalam perkembangannya dapat diaplikasikan ke dalam berbagai platform deteksi. Untuk topik kali ini merupakan kegiatan dengan skema kerja sama Southeast Asia-Europe Joint Funding untuk riset dan inovasi terkait deteksi bakteri.
Latar belakang riset yang Aisyiyah dan tim lakukan adalah adanya fenomena antimicrobial resistance (AMR) atau resistensi bakteri, yang mengancam kesehatan global. “Tingkat kematian di Asia dan Afrika termasuk tinggi, sehingga hal ini menjadi perhatian kami untuk melakukan penelitian ini,” kata Aisyiyah.
Dijelaskan Aisyiyah, dalam mengantisipasi bakteri yang resisten terhadap antibiotik, yaitu selain dengan memodifikasi antibiotik adalah metode skrining. Sayangnya, metode skrining yang ada saat ini masih mahal dan membutuhkan fasilitas laboratorium yang canggih.
“Tantangan penelitian ini ada dua, yakni kebutuhan klinis dan kebutuhan pasar. Kami ingin sebagai personil non medis bisa dengan mudah memperoleh sistem skrining di toko terdekat, seperti layaknya akses alat pregnancy test atau tes kehamilan,” paparnya.
Riset yang diharapkan adalah yang mampu menghasilkan alat yang mudah digunakan, sifatnya non invasif, serta dapat menganalisis banyak hal sekali waktu. “Melalui pendekatan nanoteknologi, biosensor berbasis struktur nano, akan didapatkan sistem bio-deteksi yang cepat, ultra sensitif, selektif, akurat, ekonomis, dan sustainable,” urainya.
Dirinya menyebutkan bahwa risetnya berfokus pada platform nanobiosensor dengan memodifikasi dan menghasilkan sinyal deteksi, secara optikal dan fluoresensi. “Jadi kita bisa mengoptimasi elemen bio rekognisi dengan memodifikasi permukaan kimia. Untuk nanomaterial yang digunakan di sini adalah silika,” urai Ais.
Dikatakan olehnya bahwa sel bakteri ukurannya besar dalam skala nanometer, yaitu 1000 nm. Sementara alat pendeteksi bakteri yang ia buat dalam skala nanometer. “Mengapa tetap dibuat dalam struktur nano? Karena sifat intrinsik nanomaterial dapat meningkatkan performa biosensor. Kemudian meningkatkan proses rekognisi dan transduksi. Kalau secara fluorosensi itu intensitasnya akan lebih tinggi, sehingga sensitivitas dan selektivitas performa biosensor meningkat. Kuncinya memang memodifikasi permukaannya,” terangnya.
Dalam proses pembuatannya, pada dasarnya adalah menggunakan metode sol-gel untuk menghasilkan nanopartikel. “Metode sol-gel termodifikasi ini dipilih karena sederhana, tidak menggunakan pelarut organik, tanpa suhu dan tekanan ekstrim, mudah dan murah,” tutur Ais.
Lebih lanjut ia mengembangkan dengan penambahan dye rhodamin. “Ketika rhodamin sudah terikat dengan silika maka tingkat fluorosensinya menjadi dua kali lebih tinggi dalam konsentrasi yang sama,” cakapnya.
Kemudian, memodifikasi nanopartikel silika dengan antibodi untuk meningkatkan selektivitas bakteri melalui intensitas fluoresensi. “Kesimpulannya, nanomaterial silika berbasis mineral alam memiliki potensi yang sangat besar untuk disintesis dan dimodifikasi menjadi platform deteksi bakteri,” pungkasnya. (adl/ed:pur)
Tangerang Selatan, Humas BRIN. Sri Rahayu, periset Pusat Riset Material Maju – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada Selasa (14/6) mempresentasikan risetnya berjudul ‘Sintesa Co-Doped Cerium Gadolinium Oxide dengan Metoda Sol Gel Ramah Lingkungan untuk Aplikasi Solid Oxide Fuel Cell’. Topik riset tersebut dipresentasikan pada webinar ORNAMAT seri #4 tahun 2022 di lingkungan Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material BRIN.
Sri Rahayu memaparkan terkait so gel baru yang ramah lingkungan untuk aplikasi SOFC (Solid Oxide Fuel Cell).
Dalam presentasinya Sri menyampaikan latar belakang melakukan riset fuel cell. “Ini terkait dengan kegundahan banyak orang terhadap dampak lingkungan yang disebabkan oleh pembangkit fosil. Pada pertemuan Konferensi Iklim COP26, negara-negara bersepakat untuk mengganti pembangkit fosil mereka terutama barubara ke pembakit lain yang lebih ramah lingkungan, salah satunya fuel cell,” ujarnya.
Hal tersebut juga disampaikan oleh Kementerian ESDM bahwa hidrogen itu akan didorong menjadi kontributor transisi energi di Indonesia guna menuju net zero emission di tahun 2060. Sejalan dengan energi terbarukan lainnya seperti pembangkit listrik tenaga surya, pembangkit listrik hidro, dan panas bumi.
“Fuel cell adalah perangkat elektrokimia yang mengubah reaksi kimia menjadi energi listrik. Cara kerjanya mirip dengan cara kerja baterai yang terdiri dari anoda, katoda, dan elektrolit,” jelas Sri.
“Fuel cell sebagai perangkat penghasil listrik yang sangat bersih karena keluarannya itu hanya uap air (H2O), juga murah, serta mudah dan cepat pengoperasiannya,” tambahnya.
Solid Oxide Fuel Cell (SOFC)
Fuel cell terdiri dari berbagai macam jenis bergantung dari material dan operasi temperaturnya. Sri dan tim sendiri mengembangkan fuel cell pada solid oxide fuel cell (SOFC).
“SOFC merupakan salah satu jenis fuel cell yang disukai karena dapat beroperasi pada suhu tinggi serta tidak harus menggunakan hidrogen, tetapi bisa mempergunakan gas alam lainnya sebagai bahan bakar (fuel),” jelas Sri.
“Tetapi karena suhu yang tinggi, mengakibatkan biaya operasi menjadi tinggi, mudah terdegradasi, dan maintenance yang tinggi,” lanjutnya.
Sri menyampaikan, bahwa banyak orang yang ingin menurunkan suhu operasi temperatur di bawah 6000C. “Salah satu upaya untuk menurunkan temperatur adalah dengan mendapatkan elektrolit yang padat dan memiliki ion konduktif yang sangat tinggi. Salah satu caranya adalah dengan dua substitusi ion (co-doped),” menurut periset muda ini.
“Jadi kita punya host, dan kita ganti unsurnya dengan dua unsur lainnya yang memiliki ion radius yang mirip,” terangnya lagi.
“Dengan menggunakan dua substitusi ion (co-doped) diharapkan aktifasi energinya turun dan ion konduktifnya menjadi naik, dengan syarat kita harus mencari mismatch-nya tidak terlalu jauh sehingga kita bisa mendapat konduktivitas yang optimum,” paparnya.
Cerium Gadolinium Oxide (CGO)
Diketahui, bahwa metode sintesa powder itu bisa dilakukan dengan dua cara yaitu:
Mekanikal yang sering kita tahu seperti ball mill, mechanical milling, dan itu sangat umum dipergunakan di industri karena murah, mudah, dan proven teknologinya, tetapi produk finalnya terkadang kemurniannya tidak terlalu bagus karena homogenitasnya tidak terlalu baik dan ukuran partikelnya cenderung tidak terlalu halus.
Dari proses kimiawi memiliki kemurnian yang tinggi dan komposisi kontrol yang baik, dan ukuran partikelnya yang sangat kecil, tetapi komprosifitasi agak sulit karena control pH.
Sri dan tim mengusulkan sintesa co-doped CGO dengan metoda sol gel sodium alginat yang ramah lingkungan, untuk aplikasi SOFC. Sodium alginat merupakan biopolimer yang berasal dari ekstraksi ganggang cokelat di mana terdapat dua gugus yaitu manorolit acid (M) dan glorini acid (G) yang banyak digunakan di industri farmasi, rabeh, maupun makanan.
“Jadi kami menawarkan metoda sodium alginat ramah lingkungan untuk digunakan pada co-coped cerium gadolinium oxide (CGO) agar dapat menurunkan suhu operasinya di bawah 6000C, serta mengurangi biaya operasi, maintenance, dan degradasi material,” kata Sri.
Metodologi yang diterapkan yaitu sodium alginate powder yang digunakan diletakkan pada rotary fan device dan disemprot oleh deionized water agar menghasilkan sodium granules. Kemudian granules-nya dimasukkan ke dalam metal nitrate yang setelah dilarutkan dalam deionised water, diaduk di stirrer dalam waktu beberapa jam, dan akan mendapatkan wet metal-alginate granules. “Begitu mendapatkan wet metal-alginate granules, setelah itu dioven agar mendapatkan granules yang kering setelah itu kalkinasi,” ungkap periset Kelompok Riset Fuel Cell dan Hidrogen.
Hasil Riset
Untuk proses optimasi kalkinasinya Sri dan tim mempergunakan thermogravimetric analysis (TGA), untuk mendapatkan suhu optimumnya. “Melalui Cerium Gadolinium Oxide (CGO), sementara dengan perbandingan Cerium (Ce) 80, Godolinium (Gd) 20 dan saya co-doped dengan parsial substitusi Godolinium (Gd) dengan disprosium pada komposisi Cerium (Ce) 80, Godolinium (Gd) 10, dan Disprosium (Dy) 10, DCe 80, Gd 10, dan Ho 10, serta Ce 80, Gd 10, dan Er 10. Sehingga dapat ditunjukkan bahwa dia itu akan drop di suhu sekitar 4000C,” paparnya.
Dengan teknik analisis XRD (X-Ray Difraction) untuk mengidentifikasi fasa kristalin terlihat bahwa tidak ada fasa lainnya yang terdeteksi bahwa suhu 7000C lebih tajam dan 500 ribu lebih broad karena pengaruh temperatur.
Dari hasil kristalografinya, terkonfirmasi bahwa fasa yang terbentuk adalah cubic fluorit cristal structure dengan Fm3m space group, dengan crystalline size-nya pada suhu 5000C sekitar 12 nanometer sedangkan pada suhu 7000C sekitar 20-30 nanometer.
“Hasil dari Struktur kristal menunjukkan fase tunggal cubic (fluorite). Dengan ukuran kristal akhir nanopartikel pada kalsinasi suhu 5000C lebih kecil dibandingkan suhu 7000C,” ucapnya.
“Jadi dengan metode sol-gel baru ini (sodium alginat) merupakan proses yang menjanjikan untuk menghasilkan nanopartikel senyawa kompleks logam untuk SOFC karena prosesnya beroperasi pada suhu rendah dan menggunakan bahan ramah lingkungan yang dapat menekan biaya produksi,” kata Sri.
Sri berharap dari hasil risetnya, bisa berkolaborasi dengan kelompok riset lainnya dalam pengembangannya. “Bisa mengembangkan dengan bio-polimer lainnya, menghitung tekno ekonomian,” tutup peraih S3 dari University of Leeds di Inggris tahun 2021. (hrd/ ed: adl)
Tangerang Selatan, Humas BRIN. Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mendapat kunjungan dari Perwakilan Deakin University, Australia, pada Senin (27/6) di Kawasan Sains Teknologi Serpong.
Perwakilan dari Deakin University, Bas Baskaran menyampaikan peluang kolaborasi dengan skema DBR (degree by research) yang sudah diinisiasi dengan Deputi Sumber Daya Manajemen IPTEK (SDMI) BRIN.
“Kami datang ke setiap organisasi riset agar mendapat gambaran yang lebih spesifik, terkait potensi topik yang bisa dikolaborasikan. Salah satu topik adalah bahan bakar hijau (green fuel), termasuk produksi hidrogen dan penyimpangan. Selain itu, topik yang lain adalah nanoteknologi untuk pertanian dan nanoteknologi untuk ekonomi sirkular,” terang Bas.
Menjawab hal tersebut Kepala ORNM BRIN, Ratno Nuryadi menjabarkan tentang peluang kolaborasi. “Kami membuka peluang potensi kerjasama antara Deakin Univesity dan ORNM BRIN dengan topik-topik yang relevan, melalui berbagai skema pendanaan DBR. Riset material sangat penting untuk bisa dieksplorasi lagi. Bagaimana kita bekerjasama mungkin kita dapat berdiskusi lebih lanjut ke Direktur Manajemen Talenta,” jelasnya.
“Kami akan mendiskusikan dulu dengan semua Kepala Pusat Riset (PR) dan akan membuat satu atau dua topik percontohan untuk latihan kolaborasi. Harapan kami adalah agar kerja sama ini akan berlanjut,” ucapnya.
Ke depannya, Deakin University dan BRIN akan mengadakan program studi dengan riset. Untuk program ini mahasiswa diminta beberapa bulan riset di Deakin dengan fasilitas tambahan uang saku, sehingga memenuhi standar minimal di Australia.
Pada kesempatan yang sama, perwakilan Deakin University, Sovi Arinta mengatakan dukungannya untuk program DBR dari BRIN. “Untuk calon DBR diutamakan yang menguasai bahasa Inggris yang baik. Deakin University juga mendorong kerja sama penelitian, yang sejalan dengan penelitian yang sedang dikerjakan, seperti carbon fiber untuk aplikasi bidang kesehatan,” urainya.
“Deakin juga akan mengadakan workshop yang lebih detil, terkait apa saja yang bisa dimanfaatkan dengan BRIN, seperti DBR dan join riset,” imbuhnya.
Lebih lanjut Sovi menuturkan bahwa Deakin University dalam program DBR akan membantu living cost selama karya siswa DBR perlu hadir di sana. “Dari pertemuan ini ada penambahan kerja sama fasilitas dan platform dari Deakin untuk program DBR di bidang energi dan elektromaterial, serat dan tekstil, serat karbon dan komposit, serta advanced-alloy dan infrastruktur material,” pungkasnya. (hrd, adl)
Tangerang Selatan, Humas BRIN. Yogi Angga Swasono, periset Pusat Riset Teknologi Polimer – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada Selasa (14/6) mempresentasikan risetnya berjudul ‘The Optimization of Tensille Strength Property of Polypropylene/Clay Composite Prepared in a Twin Screw Extruder’ (Optimasi Sifat Tensile Strength Polypropylene/Clay yang Dipreparasi Menggunakan Alat Twin Screw Extuder). Topik riset tersebut dipresentasikan pada webinar ORNAMAT seri #4 tahun 2022 di lingkungan Organisasi Riset Nano Teknologi dan Material BRIN.
Riset ini dimulai dari pengertian komposit itu sendiri secara dominan terdiri dari polimer sebagai matriks dan serat atau filler (pengisi) sebagai material untuk penguat. Ada pun aplikasi untuk komposit polimer ini ada di beberapa bidang antara lain: otomotif, aeronautical, material untuk bangunan, peralatan rumah tangga, dan kemasan.
Keunggulan dari komposit polimer ini adalah resistensi terhadap korosi, lebih mudah proses manufakturnya, ringan, kuat, dan ductile sifatnya.
Lalu polypropylene (PP) adalah salah satu jenis termoplastik polimer yang digunakan sebagai matriks dalam komposit polimer. Kemudian clay atau tanah liat, digunakan luas sebagai filler pada komposit polimer.
Ada beberapa keunggulan PP dibandingkan dengan termoplastik polimer lainnya antara lain kemudahan dalam prosesnya, rigidity yang baik, murah biaya produksinya, ringan, dan memiliki sifat mekanis yang baik.
Sedangkan keunggulan dari penggunaan clay pada komposit, antara lain memiliki rasio area permukaan dan volume yang besar, reaktivitas yang tinggi, struktur lapisannya yang berskala nano, penggunaannya yang rendah atau komposisinya yang rendah yang digunakan untuk komposit, dan peningkatan mechanical properties dari polimer yang ditambahkan clay.
Di samping keunggulan-keunggulan PP dan clay, terdapat tantangan atau yang perlu diperhatikan dalam pencampuran atau penggabungan PP dan clay, antara lain dispersi, clay dalam matriks PP, kemudian ikatan antara PP dan clay itu sendiri, kemudian penggunaan dari compatibilizer atau kopling agent, lalu komposisi dari PP Clay dan compatibilizer, serta kondisi dari proses.
Lalu setelah dilakukan studi literatur, Yogi menemukan beberapa jenis compatibilizer itu sendiri, antara lain polypropylene-methyl polyhedral oligomeric silsesquioxane (PP-POSS), styrene-ethylene-butylene-styrene block copolymer grafted maleic anhydride (SEBS-g-MA), dan polypropylene grafted maleic anhydride (PP-g-MA).
Yogi menjelaskan dari beberapa jenis compatibilizer, PP-g-MA memiliki peningkatan mekanikal properti yang paling baik dari komposit PP Clay dibandingkan dengan jenis compatibilizer lainnya. Sehingga pada riset ini digunakan PP-g-MA sebagai compatibilizer atau penghubung antara PP yang memiliki sifat hidrofobik dan clay yang memiliki sifat yang lebih hidrofilik.
“Dari beberapa literatur-literatur yang telah distudi, ada tiga parameter proses yang mempengaruhi kenaikan dari tensile strength polimer atau komposit polimer . Pertama, rasio clay, dan compatibilizer sebagai penghubung antara PP dan clay, kedua, temperatur proses, dan ketiga screw speed atau kecepatan pengadukan,” terang Yogi.
“Ada tiga material yang digunakan pada riset ini antara lain: Pertama, polypropylene (PP) sebagai matrik dalam polymer composites. Kedua, clay sendiri sebagai filler/reinforcement agent yang mengandung 25 – 50% organic compound. Ketiga, Polypropylene-grafted-Maleicanhydride (PP-g-MA) sebagai compatibilizer/penghubung antara PP dengan clay,” jelas Yogi.
Preparasi Sampel
Berdasarkan studi literatur yang dilakukan Yogi, ada tiga variabel untuk preparasi sampel antara lain rasio, kecepatan putar screw atau kecepatan pengadukan, dan temperatur proses.
“Dari ketiga variabel ini saya atur level-level per variabel yaitu rasionya 1:1, 1:2, dan 1:3. Untuk screw speed-nya saya variasikan dari 30, 40, dan 50 rpm, lalu temperatur dari 180, 200, dan 220 0C,” kata Yogi.
“Dari tiga variabel dan tiga level dari variasi ini, dihasilkan kurang lebih ada 15 sampel untuk variasi, rasio, kecepatan, dan temperatur,” lanjutnya.
Tahapan dari riset yang lakukan, yaitu PP, clay, dan 6 wt % dari PPgMA, dicampur menggunakan twin screw extruder, kemudian terbentuklah komposit PP/Clay. Lalu komposit PP/Clay yang dihasilkan dari twin screw extruder dicetak menggunakan alat injection molding, sehingga memenuhi standar ASTM D-638 spesimen pengujian ASTM D-638, kemudian dilakukan pengujian tensile strength.
Setelah didapatkan data-data dari pengujian tensile strength dari 15 sampel tersebut dilakukan optimasi menggunakan software Minitab 16. Yang terakhir dilakukan analisis dari struktur clay yang berada didalam matrik PP itu menggunakan alat analisis XRD.
Hasil
Hasil dari 15 sampel yang telah diuji tensile strength, didapatkan nilai terendah untuk nilai tensile strength rata-rata sebesar 30,359 N/mm2, kemudian yang tertinggi nilai tensile strength rata-rata sebesar 32,353 N/mm2. Jika dilihat ke-15 sampel dengan tidak ditambahkan clay dan tidak ditambahkan PPgMA, maka nilai dari tensile strength rata-ratanya sebesar 27,895 N/mm2.
“Dengan penambahan clay dan adanya compatibilizer di dalam komposit clay ini, meningkatkan sifat tensile strength dari 30,359 N/mm2 yang paling rendah sampai 32,353 N/mm2,” ungkap Yogi.
Lanjutnya, dari ke-15 data tensile strength ini diolah menggunakan software Minitab16, kemudian dihasilkan data-data untuk Analysis of Variance (Anova) yang dihasilkan antara lain rasio clay compatibilizer (X1), screw speed (X2), dan temperatur (X3).
X1, X2, X3 yang merupakan suku-suku yang terdapat di polynomial equation. Kemudian polynomial equation digunakan untuk proses response optimizer dalam menentukan titik optimum dari variasi yang dilakukan di riset ini.
Dari Anova didapatkan 4 suku yang berpengaruh signifikan antara lain rasio clay compatibilizer (X1), screw speed (X2), kemudian X1*X1 yang merupakan kuadratik dari komponen/suku X1, serta X1*X2 yang merupakan koefisien untuk interaksi antara rasio Clay/compatibilizer (X1) dan Screw speed (X2).
Selain penentuan secara Anova, dilakukan uji lack of fit atau kesesuaian model dengan kesesuaian data-data tensile strength dengan model yang dihasilkan. Jadi lack of fit yang dihasilkan pada model ini memiliki nilai sebesar 0,379 artinya di atas nilai confidence level (0,05) sehingga persamaan polinomial dapat digunakan untuk memprediksi nilai tensile strength.
Optimasi
Setelah dilakukan analisis Anova, lalu dilakukan response optimizer dengan menggunakan software Minitab dihasilkan faktor atau variabel rasio dari clay compatibilizer sebesar 1:1,25, lalu variabel screw speed sebesar 60 RPM, dan temperatur proses di suhu 2200C dihasilkan nilai dari sampel verfikasi tersebut adalah sekitar 32,84 N/mm2.
“Nilai composite dari PP clay yang dihasilkan sebesar 32,84 N/mm2 didapat pada rasio clay compatibilizer sebesar 1:1,25 , lalu screw speed 50 rpm, dan temperatur proses di 220 0C sebagai kondisi yang optimum,” papar periset muda ini.
Hasil yang terakhir adalah analisis dari struktur clay di dalam PP dilakukan dengan menggunakan analisis XRD.
Dengan dianalisis dari program XRD pada karakteristik clay mengalami penurunan intensitas pada 2-theta 3,53 deg, kemudian pergeseran puncak ke sudut 2 theta yang lebih kecil/rendah, dan perubahan dari jarak antar lapisan (d-spacing change) di dalam clay.
Oleh karena adanya difusi dari PP, lapisan-lapisan yang ada di dalam struktur clay itu mengalami perubahan dengan semakin bertambah jarak antar lapisan. Hal ini terkonfirmasi dari nilai jarak antar lapisan ini mengalami peningkatan jika sebelum ditambahkan PP, yaitu sekitar 24,8 Å menjadi 31,5 Å , artinya bertambah tebal atau bertambah tinggi jarak antar lapisannya. Pun demikian dengan sampel verifikasi yang mengalami perubahan ketebalan lapisan sebesar 34,1 Å
“Dari hasil XRD dikonfirmasi bahwa peningkatan dari tensile strength disebabkan oleh adanya lapisan-lapisan clay yang terinterkalasi atau bertambah tebal lapisan clay-nya,” tutur alumni Teknik Kimia UGM tahun 2021. (hrd/ ed: adl)
Tangerang Selatan, Humas BRIN. Pusat Riset Fisika Kuantum – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyelenggarakan Kolokium Fisika BRIN, pada Selasa (14/6). Topik yang diangkat adalah ‘Kalkulasi Struktur Elektronik Material dan Visualisasi Data dengan Python oleh pembicara internal BRIN, yaitu Ahmad Ridwan Tresna Nugraha.
Selaku Kepala PR Fisika Kuantum, Ridwan kerap disapa, memperkenalkan PR Fisika Kuantum. Di PR Fisika Kuantum ada lima kelompok riset, yaitu Fisika Teori Energi Tinggi, Fisika Nuklir dan Partikel Eksperimen, Teori Materi Kuantum, Simulasi dan Desain Nanomaterial, dan Perangkat dan Teknologi Kuantum.
Sementara kegiatan riset di grup Ridwan yaitu Teori Materi Kuantum ada beberapa kegiatan riset yang mencakup Condensed Matter, Quantum Optics, dan Energy Conversion dengan paradigma fisika teori dan komputansi, seperti mengoptimasi efisiensi material energi. “Dari fisika teori kita juga ingin mengetahui material-material yang bagus untuk konversi energi, seperti material baterai, termoelektrik, dan fotovoltaik,” ungkapnya.
Ridwan sendiri pernah mengerjakan Elektromagnetik dan Optomekanik tentang electromechanical actuators, serta Light-induced mechanical vibrations, Light-Matter Interaction and Quantum Transport, seperti Spectroscopy theory, Quantum Hall Effect, dan Spintronics/Valleytronics.
Selain itu, topik-topik hangat yang dikerjakan diantaranya adalah Quantum Hydrodynamics, Quantum Foundations, Novel Monte Carlo simulation, dan Topological Materials.
“Saya hanya ingin menunjukkan kita bisa menggunakan bahasa apa pun untuk melakukan kalkulasi struktur elektronik material,” ujarnya.
Dirinya lebih sering menggunakan Python Matplotlib untuk menggambar grafik karena ada keunggulan tersendiri yang lebih enak digunakan dibandingkan software sebelumnya.
“Hanya untuk beberapa kasus, kalau mau memplot seperti animasi, yang banyak gambarnya yang berkali-kali diulang dengan menggunakan script, saya lebih cenderung menggunakan Gnuplot,” kata Ridwan.
Ridwan merasakan bahwa menggunakan software Python ternyata multiguna untuk keperluan riset sehari-hari. “Melalui Python bisa menggunakan scientific computation dan plotting atau visualisasi dalam satu antarmuka,” katanya.”Melalui platform berbasis web, yakni Jupyter di web browser, langsung terlihat kita menghitung dan keluar plotnya,” imbuhnya.
Walaupun Ridwan pernah merasa sebal juga saat menghitung yang kelas berat. “Perlu diakui Python sulit diparalelisasi, lambat untuk kalkulasi atau komputasi numerik yang kelas berat. Misalnya memecahkan permasalahan nilai eigen yang matriks penyusunnya berukuran besar,” ucap lulusan strata-2 dan strata-3 di Tohoku University, Jepang.
Ia menyarankan, bagi yang membutuhkan hitungan yang sangat berat, lebih baik tidak menggunakan bahasa Python, tetapi menggunakan yang lain seperti Fortran, atau C/C++.
Pada tahun 2019, dengan menggunakan Python, dengan cepat Ridwan dan tim bisa mempublikasis paper dengan judul ‘Optimal band gap for improved thermoelectric performance of two-dimensional Dirac materials‘.
Menurutnya, jika ada permasalahan, ia melakukan kalkulasi, komputasi, lalu visualisasi, dan dijadikan paper. “Itu akan menjadi cara yang paling cepat bagi yang belum pernah belajar bahasa tersebut sama sekali,” tuturnya.
Ridwan melanjutkan bahwa dalam melakukan kalkulasi struktur elektronik material bisa dimulai dengan memperhatikan bahwa material itu ada di mana-mana.
“Dengan hal tersebut, kita bisa lihat material serta tantangan yang terkait dengan material itu, yang dapat muncul dalam berbagai aplikasi dan pada berbagai skala,” jelasnya.
“Jadi di industri dan aplikasi lainnya pemahaman tentang bagaimana material berperilaku serta kaitannya dengan fisika fundamental, itu akan memungkinkan perkembangan serta kemajuan yang lebih pesat lagi,” terangnya.
“Kita butuh tools prediktif dari sisi teori, komputasi dengan akurasi yang lebih tinggi yang memungkinkan untuk membuat prediksi yang lebih kuantitatif tentang material,” tegas Kapusris muda ini.
Sebagai informasi, Kolokium Fisika Kuantum rutin diselenggarakan dua kali setiap bulannya, dengan menghadirkan pembicara dari internal PR Fisika Kuantum BRIN, maupun pembicara tamu dari luar BRIN. Topik yang disajikan sangat beragam terkait berbagai fenomena kuantum, baik dari ranah fundamental, hingga aplikasi teknologi dari cabang fisika partikel, hingga ke fisika material. (hrd/ ed: adl)
Tangerang Selatan, Humas BRIN. Pusat Riset Fisika Kuantum (PRFK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kembali menyelenggarakan seri webinar dengan tema ‘Silicon Photomultiplier Testing Platform’ secara daring, pada Kamis (23/6).
Pada kesempatan ini, narasumber yang memberikan presentasi adalah Suharyo Sumowidagdo (Peneliti Madya PRFK). Proyek yang ia lakukan adalah terlibat dalam sub detektor, tugasnya menguji komponen untuk sensor cahaya.
Silicon Photomultiplier (SiPM) atau dikenal juga sebagai Multi-Pixel Photon Counter adalah sebuah sensor cahaya yang berbasis semi konduktor/teknologi silicon. “Sebenarnya aplikasinya banyak, sebagai contoh kamera digital adalah salah satu aplikasi dari foto sensor basis silikon. Aplikasinya seperti medical imaging (PET: Positron Emission Tomography, SPECT : Single Photon Emission Computed Tomography) dan remote sensing (LIDAR: Light Detection and Ranging),” ungkap Suharyo.
“Sebagai kita ketahui beberapa waktu ini di Amerika Latin, dengan menggunakan LIDAR kita bisa melihat dari pesawat terbang atau helikopter, ada reruntuhan arkeologi tersembunyi di balik hutan. Jika dari segi taktisnya, SiPM ukuran kecil dan memberikan resolusi besar, tidak memerlukan tegangan tinggi, dan dapat diproduksi massal,” jelas Suharyo.
Ditambahkan olehnya bahwa SiPM pada eksperimen partikel fisika dipakai untuk deteksi photon dalam intensitas rendah, serta eksperimen neutrino atau ada peluruhan yang langka.
“Saya terlibat pada eksperimen Mu2e, yakni mencari suatu proses sebuah muon (partikel elementer) berubah langsung menjadi elektron dalam peluruhannya, dan ini terdekteksi dalam detektor. Proses yang serupa sebenarnya muon tercipta di atmosfer bumi dan turun ke bumi seperti hujan, ada kira-kira 100/m2/dtk. Tetapi kita tidak dapat mendeteksi muon secara langsung, karena muon itu seperti elektron yang beratnya 200 kali lebih berat. Oleh karena lebih berat, interaksi dengan mata itu lemah dan tembus ke tubuh kita tidak berasa apa-apa,” urainya.
“Teknik pencitraan dengan muon ketika melintasi materi ada dua penyebabnya, yaitu medan magnet dan scattering di dalam materi karena bertumbukan dengan inti atom. Jika inti berat, kita bisa menduga inti atom yang menyebabkan hamburan. Jika ingin mengukur tumbukan itu, kita harus mengitung momentum sebelum dan sesudah keluar dari obyek,” tutur Suharyo.
Dalam pemaparannya tersebut, Suharyo menyampaikan bahwa aplikasi SiMP memerlukan pengujian presisi untuk kinerja terbaik dalam aplikasi. Baik terkait medis, penginderaan jauh, atau aplikasi lainnya. “Pengalaman ini menunjukkan bagaimana ‘hal-hal kecil’ seperti pengujian SiMP terhubung ke ‘gambaran besar’ fisika partikel eksperimental. (esw/ ed: adl)
Tangerang Selatan, Humas BRIN. Pusat Riset Fotonik – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) membuat webinar SEKOPI (Seminar Kolaborasi Optoelektronika) volume I pada Rabu (22/6). Kegiatan ini bertujuan untuk mempererat kerja sama riset bidang laser, optik, fotonik dan optolektronika, serta menyebarluarkan hasil riset kepada masyarakat ilmiah dan industri di Inonesia.
Kegiatan seminar daring yang dilaksanakan oleh salah satu pusat riset di bawah Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material ini, berlangsung secara berkala setiap bulan. Untuk bulan Juni, SEKOPI menghadirkan 1 periset BRIN dan 1 periset tenaga pengajar dari universitas negeri.
Diungkapkan oleh Isnaeni, Kepala Pusat Riset Fotonik, saat ini BRIN telah menyelesaikan reorganisasinya dengan dibentuknya 85 Pusat Riset, salah satunya Pusat Riset Fotonik. “Dalam rangka untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas riset di Pusat Riset Fotonik, maka dibuatlah sebuah wadah seminar yang diberi nama SEKOPI, singkatan dari Seminar Kolaborasi Optoelektronika,” ujarnya.
“Sesuai dengan namanya, maka dalam seminar ini menghadirkan satu pembicara dari internal Pusat Riset Fotonik dan satu pembicara dari periset eksternal, baik dari universitas maupun dari pihak industri. Seminar ini akan dilakukan setiap bulan dengan menghadirkan pembicara-pembicara yang berbeda,” jelas Isnaeni.
Pemateri pertama, Dedi Irawan dari Universitas Riau, menyampaikan topik ‘Advanced Development of Optical Component in Communication and Sensor Application’.
Sementara pemateri kedua yaitu Qomaruddin dari Pusat Riset Fotonik BRIN, menampilkan judul ‘Photo-activated Gas Sensor’. Qomarudin menyampaikan tentang sensor gas secara umum, prinsip kerja, tren saat ini serta contoh proses pembuatan sensor berbasis ZnO NRs, karakterisasi, dan cara pengukuran hingga pembahasan mekanisme interaksi gas dengan material sensor.
Qomarudin memaparkan bahwa atmosfer telah menjadi sistem dinamis yang secara terus-menerus menyerap berbagai jenis zat padat, cair, dan gas, baik yang bersifat alami maupun buatan. “Biosfer adalah bagian yang paling banyak menyerap berbagai jenis zat tersebut. Udara yang ada disekitar kita, mengandung berbagai jenis spesies kimia, beberapa di antaranya sangat penting bagi kehidupan. Sementara yang lainnya merupakan jenis yang berbahaya, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak,” terangnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa nitrogen (78.09%) dan oksigen (20.94%) merupakan penyusun udara terbesar. Sementara sisanya campuran dari berbagai jenis gas seperti karbon dioksida, karbon monoksida, argon, krypton, dinitrogen oksida dan sejumlah kecil gas organik dan inorganik, serta berbagai jenis gas lainnya dengan konsentrasi yang berbeda-beda, berdasarkan tempat dan waktunya.
Menurutnya, di antara berbagai jenis gas tersebut, ada beberapa gas yang berbahaya dan beracun bagi kehidupan terutama manusia. “Gas tersebut dilabeli dengan sebutan sebagai polutan. Pada era modern ini, banyak industri yang menggunakan gas dalam proses produksinya, bahkan menggunakan gas beracun dan mudah terbakar,” ungkap Qomarudin.
“Hal ini tentunya tidak bisa dipungkiri, jika adanya kemungkinan kebocoran gas yang muncul ke udara bebas dan mengakibatkan potensi bahaya bagi industri itu sendiri, para pekerja atau karyawan dan lingkungan sekitar. Oleh karena itu, sensor gas menjadi sangat penting dan merupakan kunci utama dalam mendeteksi spesies yang tidak terlihat, bahkan tidak berasa atau berbau,” urainya.
Dalam risetnya, Qomarudin berfokus pada aktivasi cahaya pada sensor gas sehingga bisa bekerja pada suhu kamar dan rendah konsumsi daya. “Dengan sensor gas, kita dapat mencegah beberapa hal yang tidak diinginkan, serta bisa digunakan untuk memonitoring kondisi lingkungan sekitar,” pungkasnya. (mf/ ed: adl)
Tangerang Selatan, Humas BRIN. Organisasi Riset Elektronika dan Informatika (OREI) serta Organisasi Riset Nanoteknologi dan Mineral (ORNM) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berkolaborasi mengadakan webinar dengan tema ‘Aspek Riset Elektronika, Informatika, Fisika Energi Tinggi dan Nuklir pada Kolaborasi Riset Internasional ALICE (A Large Ion Collider Experiment)-CERN’, yang dilaksanakan secara daring pada Selasa (21/6).
Webinar ini menghadirkan tiga narasumber, yakni Suharyo Sumowidagdo (Periset Pusat Riset Fisika Kuantum), Esa Prakasa (Kepala PR Sains Data dan Informasi BRIN), dan Rfiki Sadikin (Plt. Kepala Pusat Riset Komputasi BRIN).
Dalam sambutannya Kepala OREI BRIN Budi Prawara menyampaikan bahwa webinar ini merupakan kolaborasi riset. “ALICE merupakan salah satu fasilitas milik organisasi Eropa terkait riset nuklir untuk mengakselerasi proton dan ion dengan energi yang tinggi. Kolaborasi riset dengan ALICE sudah dimulai sejak tahun 2014 yang lalu, periset kita diwakili oleh Rifki Sadikin melalui LIPI yang kemudian menjadi full member di tahun 2014,” ujarnya.
“Kolaborasi riset global ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas periset kita melalui interaksi dan kolaborasi dengan periset dari berbagi penjuru dunia dengan topik-topik riset terkini dan pelopor di bidangnya,” tambah Budi.
Saat ini BRIN sedang memproses addendum perjanjian dengan ALICE, dengan ini kita mengharapkan bertambahnya kolaborator dari Indonesia.
“Webinar ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait dengan kerjasama. Untuk sementara kita mengusulkan agar partisipasi lembaga-lembaga Indonesia dibentuk sebagai institusi. Anggota pendiri klaster ini adalah BRIN, Universitas Indonesia (UI), dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Klaster ini akan menjadi ALICE Indonesia yang nantinya akan disingkat menjadi alice.id,” jelas Budi.
BRIN akan menjadi lembaga utama ALICE dan bertangung jawab untuk menyelenggarakan klaster sekretariat, serta menyediakan infrasktruktur penelitian, seperti komputer khusus koneksi jaringan, ruang laboratorium, dan ruang kerja bersama. BRIN akan menyediakan dana untuk partisipasi periset atau siswa dalam ALICE ini.
Skema asisten tersedia untuk partisipasi dalam jangka pendek sebagai contoh untuk waktu sampai dengan 1 tahun. Saat ini BRIN sedang menjajaki juga program degree by research, yakni gelar dengan skema penelitian tersedia untuk program gelar pascasarjana. Programnya 2 tahun S2 dan 3 tahun untuk mahasiswa doktoral. UI dan IPB akan menyediakan infrastruktur untuk mendidik mahasiswa magister dan Doktor serta pemberian gelar. Mahasiswa nanti akan dibimbing oleh dosen dari UI dan IPB serta supervisor dari BRIN.
“Saya berharap webinar dari ketiga narasumber ini akan dapat bermanfaat bagi kita semua dan memberikan motivasi bagi kita, untuk dapat terus berkontribusi. Khususnya para periset di area riset fisika kuantum, kemudian material maju, dan elektronika informatika maju,” tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala ORNM BRIN, Ratno Nuryadibr memberikan sambutan bahwa webinar ini merupakan sebuah acara yang sangat penting dan membanggakan untuk kita semua. “Kita dapat berdiskusi dalam mengeksplorasi peluang-peluang yang bisa diberikan pada kolaborasi riset internasional di tingkat global khususnya ALICE di Swiss,” ucapnya.
“Selama ini kita telah menunjukkan bagaimana kontribusi yang diberikan Indonesia ke internasional, khususnya ALICE dalam hal infrastruktur. Seiring dengan intergasi BRIN kita sadar bersama bahwa BRIN ini sekarang sangat luas bidang riset didalamnya. BRIN memiliki banyak OR dan PR dengan lingkup latar belakang riset yang bervariasi,” urai Ratno.
“Semoga dengan adanya webinar ini kita bisa menggali potensi-potensi kerja sama dan menjadi ajang sosialisasi bagi periset yang sudah melakukan riset diALICE dan berpengalaman, serta webinar ini dapat menjadi pembelajaran bagi kita untuk membuka kira-kira peluang yang bisa kita eksplorasi untuk berkontribusi dalam kolaborasi ditingkat global,” tuturnya.
Suharyo Sumowidagdo dalam presentasi ini menyampaikan materi tentang ‘Pengenalan Kolaborasi Riset ALICE-CERN dan Riset Fisika, Instrumentasi, dan Elektronika pada ALICE-CERN’.
“ALICE adalah sebuah konsorsium atau kolaborasi terdiri dari banyak institusi yang sudah bersepakat bekerja sama dalam suatu topik penelitian. Hal ini memerlukan konstruksi untuk pembuatan instrumen penelitian yang besar, dalam hal ini ALICE dan terletak di lokasi yang khusus dalam hal ini CERN. Operasionalnya memakan waktu lama dan membutuhkan kepakaran dan SDM yang banyak,” jelas Suharyo.
ALICE beranggota 40 negara dan 173 institusi pada saat ini sedang dikembangkan materi paling panas yang diciptakan manusia di laboratorium dengan cara menumbukan partikel ion timbal.
“Alat akselerator merupakan alat eksperimen, ada beberapa sub detektor dan memiliki fungsi masing-masing, serta partikel ion-ion. Jika ada tumbukan maka akan dideteksi oleh detektor. Large Hadron Collider (LHC) dan detektor memiliki jadwal operasional. Apabila periode run akselerator berjalan, detektor mengambil data. Jika long shut down, akselerator berhenti dan detektor bisa diakses. Pada saat akselerator berjalan ada radiasi yang sangat tinggi, sehingga detektor ditutup tidak dapat diakses,” urai Suhayo.
Pemateri kedua, Esa Prakasa, pada webinar memaparkan materi tentang ‘Riset informatika pada kolaborasi ALICE-CERN: Studi Kasus Pendekatan Computer Vision untuk QC Detektor ITS (Inner Tracking System)’.
ALICE adalah fisika partikel berskala besar dan berjangka panjang percobaan. Eksperimen dilakukan di CERN, Swiss. Proyek ALICE sedang melakukan studi komprehensif tentang hadron, elektron, muon, dan foton yang dihasilkan dalam tumbukan inti berat. ALICE juga mempelajari tumbukan proton-proton dan proton-nukleus, keduanya sebagai perbandingan dengan tumbukan nukleus-nukleus.
“Secara singkatnya kami mengamati tumbukan partikel yang nantinya akan dilacak pergerakan partikel seperti apa. Selama proses tumbukan posisi dari partikel-partikel di dalam LHC akan direkam dengan sensor berupa chip yang jumlahnya sekitar 20.000. Sensor chip yang dipasang dalam detektor Inner Tracking System (ITS) ini merupakan yang paling awal, karena dalam satu tempat lintasan ada tumbukan lain, dan ini akan ada beberapa detektor lain di dalam radius yang lebih lebar,” terang Esa.
“Detektor ITS ada beberapa lapisan semacam silinder yang tersusun dalam ribuan atau puluhan ribu sensor chip yang disebut dengan inner layer, middle layer, dan outer layer,” imbuh Esa.
“Pada kolaborasi ALICE ini kami merekam permukaan, baik itu sensor itu sendiri maupun pemasangan dan dihitung dengan logaritma untuk kemudian sebagai pembanding. Algoritma berbasis visi telah diterapkan untuk menilai kualitas chip, dalam hal properti 3D, integritas tepi chip, cacat permukaan, dan penyelarasan chip pada permukaan detektor,” lanjutnya.
Kemudian algoritma berbasis visi dapat digunakan untuk meningkatkan, tidak hanya kualitas chip sensor itu sendiri, tetapi juga dapat memastikan kualitas data eksperimen yang diperoleh oleh sensor yang dibangun. “Data yang dikumpulkan dari beberapa tahap berpotensi dianalisis dengan metode baru lainnya. Metode inspeksi visual akan diperlukan dalam proyek peningkatan di masa mendatang. Metode inspeksi juga dapat diterapkan dalam kegiatan manufaktur lainnya,” jelas Esa.
Pemateri ketiga Rifki Sadikin tampil dengan paparan materi ‘Riset komputasi pada kolaborasi ALICE-CERN: Studi Kasus Koreksi Space-Charge Distortion pada Detektor TPC (Time Projection Chamber)’.
Dalam kesempatan ini Rifki menyampaikan keterlibatannya dalam proyek kerja sama dengan ALICE. “Kami terlibat di bagian komputasi terkait metode numerik dan pengolahan data di eksperimen ALICE pada salah satu detektor TPC. Secara kolaborasi kami terlibat dalam piranti lunak pengolahan datadan koordinasi komputasi. Saat ini kami juga di bagian rekontrasi dan kalibrasi aplikasi yang dibuat untuk membantu kontruksi jalannya detektor tersebut,” bahasnya.
“Cara kerja detektor dengan besar diameter 5 meter panjang 5 m, yaitu mendeteksi elektron yang melintas di tutup silinder. Hasil gambar dari silinder adalah memang lintasan yang terdeteksi. Sampai saat ini kami masih mengembangkan produk ini,” pungkas Rifki. (esw/ed: adl)
Tangerang Selatan, Humas BRIN. Suryadi, periset Pusat Riset Fotonik – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada Selasa (17/5) memaparkan penelitiannya yang berjudul ‘Sistem Monitoring Gerakan Tanah Terhubung Jaringan Sensor Nirkabel’. Topik riset tersebut dipresentasikan pada webinar ornamat seri #2 tahun 2022 di lingkungan Organisasi Riset Nano Teknologi dan Material BRIN.
Indonesia diberkahi banyak kelebihan terkait dengan lokasi geografis yang berada di daerah tropis. Namun demikian, dibalik anugrah yang cukup besar tersebut juga tersimpan potensi bencana yang cukup besar.
Dilansir oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), berdasarkan Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia, tahun 1815 – 2015, bahwa hampir seluruh wilayah Indonesia mengalami ancaman bencana yang cukup tinggi.
“Terkait dengan bencana gerakan tanah atau tanah longsor kalau mengacu pada data dari BNPB, dari tahun 2010-2015, dari sisi kejadian itu mencapai 20,2%, dibandingkan dengan total bencana kejadian yang terjadi. Kemudian dari sisi korban jiwa, yaitu mencapai 25,4%,” ujar Suryadi.
Gerakan tanah merupakan salah satu jenis bencana yang sangat tinggi bahayanya. Dengan frekuensi kejadian yang cukup tinggi, serta dapat menyebabkan terjadinya korban jiwa maupun kerusakan infrastruktur.
Akibat dari gerakan tanah, maka sangat diperlukan suatu upaya untuk bisa mereduksi risiko yang mungkin terjadi. Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan sistem pemantauan yang harapannya bisa menjadi dasar pengambilan keputusan untuk menekan risiko bencana.
Selain bencana akibat gerakan tanah itu sendiri, bahkan ketika bencana itu sudah terjadi, masih terdapat adanya risiko yaitu yang disebabkan oleh longsor susulan. Longsor susulan biasanya kurang menjadi konsen karena mungkin tanggap darurat berfokus pada pencarian korban, sehingga kewaspadaannya menjadi lebih rendah.
“Dari kasus gerakan tanah serta risiko longsor susulan, maka perlu adanya suatu sistem mobile yang dapat digunakan untuk pemantauan jangka pendek, misalkan ketika operasi tanggap darurat,” ucapnya.
Dari kasus sangat berbahayanya gerakan tanah, Suryadi dan tim melakukan riset yang terkait dengan sistem monitor gerakan tanah antara lain merancang dan membangun sistem monitor gerakan tanah. Sistem monitor dikembangkan dengan beberapa jenis sensor pendukung antara lain sensor ekstensometer, tiltmeter, maupun modul analog.
Kemudian mengembangkan perangkat gateway yang menjadi koordinator dalam implementasi jaringan sensor nirkabel. Gateway dilengkapi suatu aplikasi monitor berbasis web untuk memudahkan proses monitor.
Periset fotonik ini juga mengembangkan perangkat mobile yang dapat digunakan dalam proses tanggap darurat. Perangkat mobile tersebut karakteristiknya mudah dipindahkan, serta mendukung operasi monitor jangka pendek.
Selanjutnya juga melakukan beberapa karakterisasi maupun pengujian dari sensor maupun sistem yang dikembangkan.
Teori Gerakan Tanah
Gerakan tanah adalah suatu gerakan menuruni lereng baik berupa tanah, batuan, maupun material organik yang diakibatkan oleh pengaruh gaya gravitasi. Untuk jenis-jenis gerakan tanah itu sendiri ada berbagai macam jenis antara lain: translasi (flow), rotasi (slump), pergerakan blok (slide), runtuhan batu (fall), rayapan tanah (creep), dan robohan (topple).
Dari sisi penyebabnya, gerakan tanah dikategorikan oleh faktor alami seperti kenaikan air pori karena curah hujan tinggi, maupun kegiatan manusia seperti modifikasi lereng, penebangan pohon, dan sebagainya.
Jaringan Sensor Nirkabel
Jaringan sensor nirkabel (wireless sensor network) adalah suatu jaringan sensor yang biasanya secara spasial terpisah namun saling terhubung secara nirkabel.
“Jaringan sensor nirkabel biasanya bekerja untuk memonitor parameter-paramenter fisis lingkungan, yang kemudian data hasil monitor itu dapat dikirim ke suatu lokasi terpusat, hingga dapat dimonitor dari lokasi yang berbeda,” kata Suryadi.
Di sisi topologi sebenarnya jenis jaringan sensor nirkabel yang sudah dikembangkan sangat banyak, namun yang cukup terkenal antara lain star, mesh, dan tree.
Berikutnya, salah satu protokol pada jaringan sensor nirkabel yang banyak digunakan adalah Zigbee.
Zigbee adalah suatu protokol yang mengacu pada standar IEEE 802.15.4. Protokol ini dapat beroperasi pada beberapa pita tidak berlisensi antara lain 2,4 GHz, 900 MHz, dan 868 MHz.
Dalam jaringan ini, ada tiga peran yang dapat diperankan oleh suatu simpul sensor, yaitu:
Koordinator yang berfungsi untuk membentuk jaringan dan mengatur rute lalu lintas data.
Router yang mempunyai kemampuan untuk meneruskan (routing) informasi dari suatu perangkat ke perangkat yang lain.
End Device yang hanya dapat berkomunikasi dengan perangkat induk mereka, baik koordinator maupun router.
Dari sisi power, peran koordinator maupun router harus selalu menyala (on), karena berfungsi untuk meneruskan informasi. Sedangkan end device pada waktu tertentu mampu sleep/non-aktif untuk menghemat energi.
Sistem Monitor Gerakan Tanah
Sistem monitor gerakan tanah yang Suryadi bersama tim kembangkan terdiri dari beberapa jenis sensor (modul sensor, tiltmeter, ekstensometer, dan gateway + alarm), yang biasanya di dalam satu lokasi yang secara spasial itu terpisah. “Masing-masing sensor ini mempunyai suatu fungsi untuk mengukur parameter yang berkaitan dengan fenomena gerakan tanah,” jelas Suryadi.
Ia memaparkan bahwa beberapa sensor (modul sensor, tiltmeter, dan ekstensometer), terhubung secara nirkabel dengan suatu perangkat gateway. Dari perangkat gateway ini kemudian data diteruskan melalui jaringan internet ke server yang fungsinya untuk menyimpan data.
Biasanya server ini juga dilengkapi dengan aplikasi monitor berbasis web, sehingga memudahkan proses monitor maupun analisa data. Kemudian data yang ada di server bisa diakses dari lokasi mana pun, selama tersedia jaringan internet.
Beberapa komponen sistem monitor gerakan tanah antara lain SSN ekstensometer, SSN tiltmeter, SSN analog, gateway, server, dan clients.
Suryadi dan tim melihat perangkat yang disebut sebagai Simpul Sensor Nirkabel (SSN) atau wireless node ini, sebagai suatu perangkat sensor yang mengukur suatu parameter tertentu. Lalu yang dikembangkan oleh Suryadi dan tim menjadi tiga jenis SSN.
Pertama adalah SSN Analog, suatu perangkat yang memberikan suatu antar muka (interface) untuk sensor-sensor komersial seperti kadar air tanah, tekanan air pori, yang biasanya belum bisa Suryadi dan tim bangun sendiri. Kemudian yang kedua adalah SSN Ekstensometer yang berfungsi untuk mengukur pergeseran pada permukaan tanah. Berikutnya adalah SSN Tiltmeter yang berfungsi untuk mengukur kemiringan akibat gerakan tanah.
Untuk sisi perangkat lunaknya, secara umum hanya menunggu permintaan dari gateway. Jika ada permintaan, perangkat lunak SSN akan merespon dengan nilai sensor saat itu. Sementara desain PCB Simpul Sensor Nirkabel (SSN), didesain dalam suatu desain PCB universal untuk ketiga modul yaitu SSN analog, SSN ekstensometer, dan SSN tiltmeter.
Hasil pengembangan SSN Analogprinsip utamanya adalah analog to digital converter (ADC). Sensor komersial yang mempunyai output dalam bentuk tegangan maupun arus, bisa dihubungkan ke modul untuk diintegrasikan ke dalam sistem monitor gerakan tanah.
Dari hasil pengembangan untuk SSN Ekstensometer, prinsip kerjanya adalah menggunakan wire potensiometer. Ketika terjadi pergeseran, kawat akan memutar potensiometer yang kemudian perubahan resistansi yang terjadi diubah menjadi perubahan tegangan yang dibaca oleh modul sensor, dan ditransmisikan ke gateway.
Untuk tiltmeter, sensing unit-nya menggunakan akselerometer untuk mengukur kemiringan dalam kondisi relatif diam, yaitu ketika gaya yang dominan bekerja hanya percepatan gravitasi. Sehingga perubahan kemiringan terbaca melalui perubahan percepatan yang dialami sensor.
Perangkat keras gateway disusun oleh suatu single board computer (SBC) sebagai komponen utama, kemudian dilengkapi dengan mikrokontroler (MCU) untuk pencatat curah hujan serta pemicu alarm, baik sirine dan lampu rotari.
Pada perangkat gateway ada dua transceiver, yaitu transceiver nirkabel untuk komunikasi dengan sensor, sedangkan modem router untuk komunikasi dengan server.
Pada diagram alir perangkat lunak gateway terdiri dari SBC dan MCU, di mana pada SBC setiap interval tertentu akan megirimkan perintah untuk membaca data dari sensor, kemudian data yang terkumpul dikirim ke server. Sementara pada MCU berfungsi untuk mengukur curah hujan, maupun menyalakan alarm dari server.
Untuk hasil pengembangan gateway ada mainboard dari sistem gateway, kemudian diinstalasi di dalam boks panel. Berikutnya, untuk power supply menggunakan panel surya dan baterai.
Aplikasi Monitor Berbasis Web
Untuk melengkapi sistem monitor, tim Suryadi mengembangkan aplikasi monitor berbasis web. Aplikasi ini dilengkapi dengan halaman masuk (log in) untuk bisa mengakses data-data yang ada di dalam aplikasi tersebut.
Selain itu, dilengkapi dengan halaman dashboard, ketika pengguna sudah berhasil log in, maka akan tampil halaman yang menampilkan lokasi dari stasiun monitor yang sedang di monitor. Selain itu dilengkapi status dari masing-masing stasiun apakah sedang aktif atau tidak.
Selanjutnya terdapat halaman data secara real time dalam bentuk grafik maupun dalam bentuk tabel. Selain data yang sifatnya real time, juga dapat mengakses data-data yang sifatnya historis.
“Pada aplikasi halaman data, kita bisa mengatur data dalam rentang yaitu mulai dari kapan sampai kapan, kemudian juga bisa kita tampilkan dalam bentuk bagan maupun tabel,” tuturnya.
Aplikasi monitor juga bisa melakukan konfigurasi terhadap masing-masing sensor yang tergabung dalam sistem monitor. Kemudian juga dilengkapi dengan halaman untuk mengaktifkan alarm pada stasiun yang diinginkan. “Jadi kita bisa memicu alarm dari jarak jauh,” kata Suryadi.
Hasil Pengembangan Mobile Gateway
“Sistem monitor yang kami lakukan sebelumnya bersifat stasioner, jadi biasanya dipasang pada suatu lokasi yang diketahui rawan gerakan tanah/tanah longsor. Kemudian monitor dilakukan dengan harapan bisa mendeteksi lebih dini ketika terjadi tanda-tanda adanya gerakan tanah. Sedangkan sistem yang ditampilkan berikut ini adalah mobile gateway,” ungkap Suryadi.
Suryadi menambahkan, sebenarnya mobile gateway berfungsi sebagai suatu perangkat yang bisa dengan mudah dipindahkan untuk melakukan monitor gerakan tanah.
Lebih lanjut, jika dikomparasikan dengan sistem stasioner, mobile gateway diwujudkan dalam suatu perangkat yang kompak dalam bentuk koper, serta dilengkapi dengan komputer mini dan monitor.
“Dengan menggunakan komputer mini dan monitor, keduanya fleksibel bisa menggunakan baterai, listrik, maupun panel surya, sehingga bisa digunakan untuk memonitor misalkan dalam kasus tanggap darurat. Nanti ketika sudah selesai bisa dibawa pulang kembali,” terangnya.
Ada beberapa karakterisasi sensor yang tim Suryadi lakukan, antara lain karakterisasi SSN analog dengan melihat respon ADC-nya cukup linear. Kemudian untuk karakterisasi SSN Ekstensometer juga memperoleh hubungan yang linear antara displacement terhadap hasil pembacaan ADC nya. Dari hasil pengukuran didapatkan resolusi pengukurannya kurang lebih 0.018 mm.
Tim Suryadi juga mengkarakterisasi SSN Tiltmeter dengan suatu inclinometer acuan, yang targetnya adalah memperoleh resolusi sebesar 0,10 dalam rangka -30 s.d. 300. Suryadi menjelaskan dari hasil perhitungan bahwa sistem yang dikembangkan itu memenuhi untuk karakteristik yang diinginkan, serta responnya juga cukup linier.
Pengujian Komunikasi Nirkabel
Tim Suryadi juga melakukan pengujian komunikasi nirkabel melalui pengujian dengan bantuan dari software uji yaitu XCTU (Xbee Configuration and Test Utility). Dengan software tersebut tim Suryadi melakukan dua pengujian.
Yang pertama yaitu range test untuk mengukur/menguji jangkauan serta kualitas antara dua transceiver, dengan melakukan variasi jaraknya antara 20, 57, 168 yang merupakan kondisi line-of-sight, dan 170 meter merupakan non line-of-sight.
Untuk jarak 170 meter ini, dilakukan dalam kondisi ada penghalang serta variasi paketnya adalah 50 dan 84 byte.
Yang kedua melakukan throughput test untuk mengukur rasio transfer antara dua transceiver di jaringan yang sama. Di sini dilakukan beberapa variasi jarak juga antara lain 20, 40, 57, 168, dan 170 meter. Di mana 170 meter juga dalam kondisi ada penghalang. Serta variasi paketnya adalah 100, 150, 160, dan 170 byte.
Dalam pengujian komunikasi nirkabel secara umum untuk kondisi line-of-sight atau tanpa penghalang itu hasilnya cukup bagus, hampir tidak ada paket yang loss, namun ketika ada penghalang antara dua transceiver maka komunikasinya menjadi tidak reliable.
Sementara untuk pengaruh jarak sesuai dengan yang diuji pada pengujian range test. Jadi ketika ada penghalang, maka hasilnya menjadi tidak bagus, dan terlihat untuk variasi ukuran payload yang 150-160 byte itu ada peningkatan. Namun untuk yang diujicobakan sebesar 170 byte terjadi penurunan.
“Dari hasil throughput test menjadi sebagai acuan praktis, kalau bisa ukuran payload-nya tidak lebih dari 160 byte,” sebut Suryadi.
Implementasi di Lapangan
Ada beberapa contoh implementasi atau pengujian di lapangan seperti di Pangalengan. Tim Suryadi melakukan monitor di daerah Pangalengan dengan memasang empat node sensor dan satu gateway.
Berikutnya, juga melakukan uji coba di Cipularang KM 100 yang pada tahun 2013 pernah terjadi longsor di lokasi tersebut.
Tim Suryadi juga melakukan uji coba di Jembatan Cisomang yang waktu itu mengalami pergeseran, dengan memasang node sensor dan gateway untuk memonitor struktur jembatan.
Selain itu, tim juga melakukan pemasangan di daerah Banjarnegara – Jawa Tengah. Di sini pemasangan dilakukan pada lokasi perkampungan yang pernah mengalami longsor pada tahun 2016. (hrd/ ed: adl)
Tangerang Selatan, Humas BRIN. Selama beberapa tahun terakhir, perkembangan teknologi baterai dan energi terbarukan, terutama untuk aplikasi kendaraan listrik, cukup maju pesat. Kendaraan listrik membutuhkan sistem penyimpanan energi berupa baterai, untuk memastikan tingkat kinerja kendaraan yang diinginkan. Sejumlah topik penelitian tentang teknologi baterai telah menarik minat para peneliti dan industri, termasuk spesifikasi daya, efisiensi energi, tingkat pengisian, masa pakai, lingkungan pengoperasian, biaya, daur ulang, dan keselamatan.
Dalam rangka meningkatkan kolaborasi riset dari berbagai sektor, National Battery Research Institute (NBRI) berkolaborasi dengan Queen Mary University of London, Material Research Society Indonesia (MRS-INA), dan International Union of Material Research Societies (IUMRS) menyelenggarakan The International Conference on Battery for Renewable Energy and Electric Vehicles (ICB-REV) 2022, secara virtual pada Selasa-Kamis (21–23/06).
Kepala Organisasi Riset Nano Teknologi dan Material (ORNM) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ratno Nuryadi, menyampaikan, BRIN merupakan satu-satunya badan riset di Indonesia selain perguruan tinggi. Lembaga ini terbentuk setelah integrasi lima institusi (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Tenaga Nuklir Nasional, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Lembaga Nasional Lembaga Penerbangan dan Antariksa, dan Kementerian Riset dan Teknologi), dan unit penelitian lainnya dari beberapa kementerian, ke dalam BRIN sejak tahun 2021 lalu.
“BRIN memiliki harapan besar terhadap pelaksanaan kegiatan baterai. Kegiatan baterai dan sumber daya manusia yang sebelumnya tersebar di berbagai institusi, kini terintegrasi dalam satu kelompok riset, yaitu Kelompok Riset Baterai di Pusat Riset Material Maju – Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material,” jelas Ratno.
Dirinya berharap bahwa SDM baterai yang berjumlah 15 periset ini dapat fokus mendalami teknologi inti baterai, sehingga dalam waktu dekat dapat menghasilkan output dan hasil riset yang dapat meningkatkan kemandirian teknologi bangsa.
BRIN juga membuka peluang kerja sama riset baterai dengan universitas, industri dan lembaga riset lainnya baik di tingkat nasional maupun internasional dalam berbagai platform, antara lain degree by research (DBR), program pascadoktoral, visiting researcher,dan juga visiting professor.
Lebih lanjut Ratno mengatakan bahwa baterai ion litium memiliki aplikasi yang sangat luas, terutama untuk kendaraan listrik dan penyimpanan energi. “Aplikasi ini menuntut berbagai kinerja baterai seperti ringan, ukuran kecil, biaya rendah, aman, dan andal,” ujarnya.
“Teknologi utama dari baterai ini termasuk material, manufaktur, dan sistem manajemen baterai. Namun, teknologi material memiliki peran paling penting,” imbuhnya.
Oleh karena itu, BRIN, khususnya Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material, menaruh perhatian pada riset material dari hulu hingga hilir. Dari teknologi penambangan, sintesis prekursor, bahan aktif, hingga proses daur ulang.
“Kami akan fokus pada riset untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam lokal seperti nikel sebagai bahan baterai melalui proses yang ramah lingkungan dan hemat biaya,” terang Kepala ORNM.
Ratno berharap, konferensi ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap isu-isu yang berkaitan dengan riset dan inovasi pada baterai, energi terbarukan, serta kendaraan listrik. Para peserta pun dapat menikmati presentasi dan diskusi selama acara.
“Seminar internasional seperti ICB-REV 2022 ini sangat penting untuk menjadi wadah pertemuan para peneliti, akademisi, akademisi, insinyur, mitra industri, dan seluruh pemangku kepentingan di bidang baterai dan energi terbarukan, untuk berbagi hasil penelitian mereka. Hal ini secara otomatis akan memperkuat ekosistem riset dan inovasi, sekaligus membuka potensi kerja sama dengan berbagai rekan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri,” tutup Ratno. (hrd/ ed: adl)