Categories
Nanoteknologi & Material Riset & Inovasi

Aktivasi Cahaya pada Sensor Gas

Tangerang Selatan, Humas BRIN. Qomaruddin periset Pusat Riset Fotonik – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada Selasa (22/6) mempresentasikan risetnya berjudul “Photo-activated Gas Sensor”. Topik tersebut dipresentasikan pada webinar SEKOPI (Seminar Kolaborasi Optoelektronika) volume I.

Qomarudin menyampaikan tentang sensor gas secara umum, prinsip kerja, tren saat ini serta contoh proses pembuatan sensor berbasis ZnO NRs, karakterisasi, dan cara pengukuran hingga pembahasan mekanisme interaksi gas dengan material sensor.

Aktivasi cahaya pada sensor gas (photo-activated gas sensor) digunakan untuk menggantikan pemanas (heater) sebagai aktivasi permukaan material sensor. Oleh karena secara teknologi konvensional pada bidang sensor gas, cahaya tidak bisa digunakan untuk mengaktivasi sensor gas yang berbasis material semikonduktor oksida logam. Akan tetapi hal ini bisa dilakukan dengan beberapa strategi khusus, ytaitu salah satunya adalah memanfaatkan fenomena resonansi plasmon permukaan yang terlokalisasi pada partikel nano emas.

Menurut air quality index (AQI) di kota-kota besar di dunia, salah satunya Jakarta saat ini kondisi lingkungan atau pun udara yang ada di sekitar kurang sehat di outdoor, sehingga disarankan untuk menggunakan masker. 

“Dan ini bisa diakses secara real time. Tidak mungkin keluar angka-angka yang menunjukkan kondisi real time ini tanpa ada piranti atau device yang menunjukkan bahwa kualitas udara di sekitar itu sesuai dengan real-nya,” ujar Qomaruddin.

Qomaruddin menambahkan bahwa pasti ada device yang melaporkan atau memberi data bahwa kondisinya sedang bagus, kurang sehat, dan seterusnya.  Salah satu urgensinya sensor gas adalah untuk hal itu.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa udara yang kita tinggali dan hidup di dalamnya ini, secara umum komposisinya yang paling besar adalah nitrogen (78,09%) dan oksigen (20,94%). Sementara bagian kecilnya terdiri dari beberapa zat kimiawi, gas-gas yang bahkan tidak bisa dilihat, tidak bisa dirasa keberadannya, tetapi menjadi hal yang bisa membahayakan bagi kehidupan. 

Salah satu gas yang membahayakan di sini, Qomaruddin menggarisbawahi adalah Nitrogen Dioksida (NO2) yang merupakan salah satu dari kelompok gas yang sangat berbahaya karena toxic serta reaktif jika kita terpapar dalam waktu tertentu (8 jam) dan jangan sampai lebih dari konsentrasi 0,5 ppm (long-term exposure limit) atau jangan sampai lebih dari 1 ppm dalam waktu yang singkat 15 menit (short-term exposure limit)

“Untuk pengembangannya juga, kami akan mencari sensor gas yang konsumsi dayanya rendah, kemudian bisa bekerja pada suhu ruang. Jadi kalau dipakai di luar ruangan, di lapangan misalnya, bisa menggunakan jenis gas sensor seperti ini,” terang Qomaruddin.

“Kalau di dalam ruangan, itu dicari yang rendah konsumsi dayanya, serta suhu kerjanya. Kemudian yang bisa mengikuti tren teknologi terbaru di dunia saat ini,” tambahnya.

Beberapa tipe sensor gas

Tipe sensor gas digolongkan dalam beberapa tipe bedasarkan prinsip kerja dan material penyusun sensor. Dari sekian banyak jenis sensor gas, yang paling banyak dijumpai di pasaran adalah yang menggunakan prinsip kerja Conductometric Resistive Sensors. Umumnya sensor jenis ini menggunakan material polimer dan semikonduktor oksida logam. 

Secara konvensional, sensor gas menggunakan pemanas (heater) untuk aktivasi agar bisa bekerja optimal, sedangkan yang sedang berkembang saat ini menggunakan cahaya untuk aktivasi sensor untuk mereduksi konsumsi daya dan suhu kerja. Selain itu ada optical sensors, electrochemical sensors, thermometics (calorimeric) dan magnetic sensors. 

Beberapa sensor yang banyak juga ditemui di pasaran yaitu jenis Mechanical (Mass) Sensors, bahkan sensor dengan prinsip kerja jenis ini dipakai untuk menguji kondisi seseorang yang sedang terinfeksi positif COVID-19 atau negatif saat pandemi lalu, dimana salah satunya menggunakan Quartz Crystal Microbalance (QCM). Ada juga yang menggunakan Cantilever-based Devices untuk mendeteksi particulate meters (PM), serta yang menggunakan Surface Accoustic Wave (SAW) dengan memanfaatkan gelombang akustik untuk mendeteksi gas atau partikel polutan. Diantara beberapa jenis sensor gas yang sudah disebutkan tadi, masih ada jenis lain seperti spectroscopics dan lain sebagainya. 

Dalam risetnya, Qomaruddin dan tim mengembangkan Conductometric Resistive Sensors yang berbasis Metal Oxide Semiconductor (MOS) yang diaktivasi menggunakan cahaya pada spektrum cahaya tampak.

Sejarah dan Perkembangan Sensor Gas

Dalam perkembangan sensor gas yang dimulai tahun 1957 oleh Beilanski, dimana dia menggunakan material semikonduktor oksida logam untuk mengetahui adanya hubungan antara konduktivitas listrik pada MOS dengan aktivitas katalis dan dilanjutkan oleh Seiyama tahun 1962 yang memublikasikan adanya proses chemisorption di permukaan MOS pada suhu tinggi, juga dikenalkan untuk pertama kalinya jenis sensor gas komersial oleh Taguchi pada tahun 1972. Prinsip kerja ini masih dipakai hingga saat ini untuk mayoritas sensor gas berbasis MOS. Saura, mengenalkan pertama kali sensor gas yang diaktivasi menggunakan cahaya dengan material SnO2 pada tahun 1994. Pada tahun 2020, Qomaruddin telah berhasil mengembangkan sensor gas dengan material semikonduktor baru dengan bandgap sempit yaitu CaFe2O4 NPs yang diaktivasi menggunakan cahaya pada spektrum cahaya tampak untuk pertama kalinya dengan semikonduktor tipe-p (https://doi.org/10.3390/s20030850).

Hingga saat ini, perkembangan teknologi yang menggunakan cahaya untuk mengaktivasi sensor gas, masih terus berkembang dengan tujuan mengurangi suhu kerja sensor dan konsumsi daya yang digunakan.

“Sensor gas yang mempunyai suhu kerja sangat tinggi itu tidak ramah terhadap jenis-jenis gas yang mudah terbakar dan bisa meledak,” ungkap periset muda ini.

Oleh karenanya, sensor gas yang diaktivasi dengan cahaya pada spektrum cahaya tampak adalah salah satu jawaban untuk mengurangi konsumsi daya (bahkan hingga orde microwatt) dan bisa bekerja pada suhu kamar.

Prinsip kerja sensor gas yang diaktivasi menggukan cahaya

Prinsip kerja sensor gas yang menggunakan cahaya yakni pertama, pada kondisi suhu kamar, udara bebas (oksigen; O2(g)) yang mengalir pada permukaan material sensor akan mengikat elektron menjadi molekul oksigen ion (pre-chemisorbed oxygen ion; O2 (ads)-) dan terikat kuat di permukaan.Kedua, pada saat disinari cahaya dengan energi tertentu ada proses eksitasi elektron dari pita valensi ke pita konduksi. Hal ini akan membentuk pasangan elektron dan hole. Semakin tinggi intesitas penyinaran maka semakin banyak pasangan electron-hole yang terbentuk.

Kedua substansi ini akan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Misalkan elektron akan berinterkasi mengikat oksigen yang ada di udara membentuk oksigen ion pada permukaan sensor, molekul yang terbentuk disebut dengan photo-adsorbed oxygen ion; O2 ads-(hv). Pada saat yang sama hole itu akan berikteraksi dengan pre-chemisorbed oxygen ion dan membentuk molekul oksigen O2(g) serta kembali lagi ke udara bebas.

Proses seperti ini akan terjadi terus menerus hingga pada keadaan setimbang dan sensor siap bekerja mendeteksi gas.

Karakteristik Sensor

Sensor dikatakan mempunyai performa yang handal jika memiliki karakteristik tertentu, diantaranya adalah sensitivitas (tingkat kepekaan dalam mendeteksi gas), selektivitas (kemampuan mendeteksi satu jenis gas tertentu), waktu respon dan recovery (waktu yang dibutuhkan untuk mendeteksi dan membersihkan gas yang yg dideteksi) serta stabilitas. Untuk menghitung sensitivitas sensor (S) dari hasil eksperimen (data pengukuran), digunakan persamaan seperti yang tertulis dibawah ini; yaitu dengan mengukur 90% respon sinyal pada saat mendeteksi gas dibanding pada saat di udara. Hal ini juga digunakan dalam menentukan waktu respon dan recovery.

Contoh aplikasi pembuatan sensor gas berbasis MOS

Qomaruddin dan tim telah berhasil membuat sensor gas berbasis zinc oxide (ZnO) nanorods (NRs) yang didekorasi dengan nanopartikel emas (Au NPs) dan gas ujiyang digunakan adalah Nitrogen Dioxide (NO2). Proses aktivasinya menggunakan cahaya pada spektrum cahaya tampak dengan memanfaatkan fenomena resonansi permukaan yang terlokalisasi (localized surface plasmon resonance; LSPR) pada Au NPs.

Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan untuk membuat sensor gas, mulai dari mempersiapkan electrical contact sebagai elektroda untuk mengukur besaran listrik hingga pengujian performa sensor.

“Kami membuat benihnya terlebih dahulu dari zinc oxide (ZnO) ini, dibuat dari zinc acetate dehydrate yang dilarutkan ke dalam ethylene glycol dengan konsentrasi 25 milimolar, lalu mendeposisi benih ini pada electrical contact dengan metode spin-coating, kemudian proses penumbuhannya menggunakan teknik hydrothermal, dan proses dekorasinya kita menggunakan electrophoresis” paparnya.

Kemudian setelah tahapan ini selesai semua, maka dikarakterisasi sifat materialnya. “Kita karakterisasi bagaimana morfologinya, komposisinya, apa benar sudah terbentuk zinc oxide,” urainya. 

Dan yang terakhir adalah pengujian performa sensor dengan melakukan pengukuran gas uji NO2 dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Selama pengujian, sensor disinari dengan LED yang mempunyai panjang gelombang berbeda-beda pada spektrum cahaya tampak; yaitu biru (465 nm), hijau (520 nm), kuning (590 nm) dan merah (640 nm) serta menvariasi intensitas penyinaran. Untuk lebih detailnya bisa diakses di https://doi.org/10.3390/chemosensors10010028

Gambar 1. Setup pengukuran gas.

Hasil

Karakterisasi morfologi dan optis menunjukkan hasil yang bagus dan sesuai harapan. Karakterisasi ini menggunakan FE-SEM, AFM, EDS, PL dan UV-vis DRS. Sedangkan uji performa selain menggunakan NO2, juga menggunakan gas CO dan CO2 dengan konsentrasi tinggi sebagai gas uji lain untuk menentukan tingkat selektifitasnya. 

Pengujian performa sensor menjukkan hasil yang sangat baik sehingga material sensor ini menjanjikan peningkatan peforma sensor hingga lebih dari 40x sesnsitifitas dari sebelumnya. Juga bisa mendeteksi NO2 pada konsentrasi rendah hingga orde ppb (500 ppb) dalam eksperimen. Peningkatan sensitifita ini disebabkan jumal oksigen ion yg terbentuk lebih banyak dari sebelumnya karena adanya transfer electron dari Au-NPs memanfaatkan fenomena LSPR sehingga bisa mengikat gas NO2 lebih banyak.

Kesimpulan yang bisa diambil diantaranya: (1) bahwa sensor gas adalah divais yang sangat penting untuk mengukur kualitas udara baik di dalam dan di luar ruangan serta untuk mendeteksi adanya gas berbahaya; (2) penuruan suhu kerja serta konsumsi daya pada teknologi sensor gas masih menyisakan tantangan yang besar terutama untuk aktivasi cahaya pada spektrum cahaya tampak terutama untuk material berbasis MOS; (3) masih banyak cara (metode dan material) untuk meningkatkan performa sensor gas dengan aktivasi cahaya. (hrd/ ed. adl) 

Categories
Nanoteknologi & Material Riset & Inovasi

BRIN Kenalkan Material untuk Aplikasi Energi Ramah Lingkungan

Tangerang Selatan – Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM) mengenalkan dua aplikasi material untuk energi. Kedua aplikasi tersebut diulas pada webinar ORNAMAT seri ketujuh, Selasa (26/7).

Kedua material energi tersebut yakni lithium titanate untuk anoda baterai kendaraan listrik dan material metal oksida nanostruktur untuk produksi hidrogen ramah lingkungan.

Kepala ORNM – BRIN, Ratno Nuryadi mengatakan, webinar kali ini menampilkan dua narasumber dari Pusat Riset Material Maju – BRIN. Keduanya mempunyai kesamaan yakni membahas material untuk energi.

“Tema material untuk energi merupakan salah satu usaha solusi kita untuk menyelesaikan isu-isu global, dan salah satunya memang energi ini masih menjadi isu global, tidak hanya di Indonesia saja, tetapi juga di internasional,” ujar Ratno.

Ratno menyampaikan, terkait dengan energi, baik baterai maupun hidrogen merupakan bagian dari bidang energi baru dan terbarukan (new and renewable energy). “Dalam rangka untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yaitu karbon dioksida (CO2) dan di sektor tranportasi mempunyai peran yang besar dalam kontribusi menghasilkan emisi CO2,” tuturnya.

“Memang salah satu usahanya menghadirkan kendaraan listrik di sini. Sehingga nanti secara bertahap sektor transportasi emisi CO2 yang dikeluarkannya akan bisa berkurang,” ucap Ratno.

Ratno juga menambahkan ada sektor lain yang menyumbang emisi CO2, seperti pembangkit listrik, industri, dan perumahan.

Dalam kegiatan tersebut, periset dari Kelompok Riset Baterai, Slamet Priyono, menyampaikan topik Aplikasi Lithium Titanate untuk Anoda Baterai Kendaraan Listrik. 

Slamet menjelaskan, Spinel Lithium Titanate adalah bahan anoda yang sangat menjanjikan sebagai pengganti grafit karena keamanannya, stabilitas siklik yang sangat baik, tegangan kerja yang stabil, dan bersifat zero strain (tidak mengalami perubahan kisi ketika proses charge-discharge). “Namun material Lithium Titanate memiliki kekurangan seperti konduktifitas elektronik dan difusi ionik yang rendah,” terangnya.

Untuk penggunaan karbon super-P dan doping ion Al cukup efektif untuk meningkatkan konduktivitasi elektronik dan ionik serta menjaga stabilitas siklik hingga 400 cycle.

“Namun demikian, Lithium Titanate yang digunakan sebagai elektroda anoda saat ini masih banyak hal yang perlu diperbaiki, terutama dalam mengotrol ketebalan pelapisan karbon, dan meningkatkan densitas energi dengan membentuk elektroda berpori,” urai Slamet.

Pada pertemuan yang sama, periset dari Kelompok Riset Material Fotokonversi Energi, Gerald Ensang Timuda, memaparkan tentang Aplikasi Material Metal Oksida Nanostruktur untuk Produksi Hidrogen Ramah Lingkungan.

Gerald menerangkan bahwa Photoelectrochemical (PEC) Water Splitting memiliki potensi tinggi untuk menghasilkan hidrogen dengan metode yang ramah lingkungan. “PEC merupakan salah satu cara untuk menyimpan energi di siang hari, kemudian kita simpan menjadi hidrogen untuk digunakan di waktu yang fleksibel,” kata Gerald.

PEC Water Splitting adalah sistem menggunakan energi dari matahari untuk mengaktifkan salah satu elektro dari alat elektrolisis air, sehingga elektroda yang menyerap energi dari matahari dan memecah hidrogen air atau oksigen yang ada di air secara langsung.

“Peran aplikasi material metal oksida nanostruktur material itu krusial untuk merekayasa sifat-sifat elektrik dari material foto anoda untuk PEC Water Splitting,” jelas Gerald. (hrd/ ed. adl)

Sumber : https://www.brin.go.id/news/109402/brin-kenalkan-material-untuk-aplikasi-energi-ramah-lingkungan

Categories
Riset & Inovasi

Dewan Pengarah BRIN Jelaskan Rekonstruksi Pengembangan Iptek Nasional

Jakarta, Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyelenggarakan BRIN Insight Every Friday (BRIEF), pada Jumat (22/7), menghadirkan I Gede Wenten (Anggota Dewan Pengarah BRIN) sebagai narasumber. Pada edisi ke 35, Ratno Nuryadi Kepala Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material BRIN, memandu paparan terkait Rekonstruksi Pola Pengembangan Iptek Nasional.

Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, dalam sambutannya berharap pembicara Prof Wenten bisa memberikan pengayaan untuk teman-teman kami tentang bagaimana membawa scientific exploration dan scientific invention. “Itu bisa menjadi inovasi dan paten. Dan itu adalah dua hal yang sebenarnya tidak terpisahkan,” ujarnya.

Handoko menambahkan bahwa kita tidak mungkin hanya mempunyai paten saja tanpa ada scientific proven dan scientific evidence-nya. “Scientific evidence itu bisa menjadi penguat bagi paten kita dan itu yang akan meyakinkan mitra industri. Kemudian bisa melakukan investasi yang betul-betul memproduksi dan menjualnya sebagai sesuatu yang menjadi produk inovatif yang bisa diterima oleh masyarakat,” jelasnya.

Sebagai pembicara, Prof Wenten berbagi terkait hasil riset, dan terkait dengan teknologi membran. Kemudian menunjukkan contoh-contoh hasil baik invensi maupun juga inovasi, paten, serta contoh-contoh produk riset.

Prof Wenten juga menyampaikan ide tentang rekonstruksi pola pengembangan iptek. Oleh karena persoalan iptek nasional seperti benang kusut. “Jangan-jangan mencari ujung benangnya saja belum tentu ketemu, sehingga rekonstruksi diperlukan karena kita betul-betul mau menuju keunggulan ekonomi berbasis kekayaan intelektual,” ujarnya.

“Tetapi untuk menuju ke sana, pertama kita harus betul-betul mengetahui atau mencermati dan menggali potensi, kemudian kita harus berani untuk berubah yaitu jalan perubahan sebagai langkah strategis bertransformasi. Selanjutnya bangsa kita harus membangun budaya ilmiah unggul. Maka untuk dapat mengawal dengan baik, maka kita harus merumuskan politik teknologi nasional,” urainya.

Dirinya menerangkan bahwa Indonesia bisa belajar dari berbagai negara lain, bagaimana melakukan inovasi berbudaya ilmiah. “Selanjutnya adalah langkah konkrit, yaitu mempromosikan hasil penelitian yang benar-benar berkualitas tinggi, unggul, dan kompetitif,” tegasnya.

Prof Wenten turut berpesan agar kita memilih pemimpin yang kompeten dalam teknologi. “Pemerintah jangan selalu berpolitik, ke depannya berusaha juga dengan pemimpin yang mempunyai pengalaman teknologi yahg baik, karena mereka lebih bisa melihat detil-detil dari hulu ke hilir,” pesannya. (hrd/ ed. adl)

Categories
Nanoteknologi & Material Riset & Inovasi

BRIN dan Untirta Bahas Peluang Kolaborasi Bidang Teknik

Tangerang Selatan, Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) telah melakukan penandatangan nota kesepahaman yang ditanda tangani pada 11 April 2022, tentang Pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi untuk Mendukung Riset dan Inovasi Nasional. Hari ini, Senin (18/7), Untirta melakukan kunjungan ke Kawasan Sains Teknologi Serpong dan berkoordinasi dengan Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM) untuk menindaklanjuti nota kesepahaman tersebut. 

Pada pertemuan tersebut, ORNM yang diwakili oleh Ratno menyampaikan dukungannya untuk implementasi kerja sama. “Penadatanganan nota kesepahaman telah dilakukan antara BRIN dan Untirta, kami dari ORNM siap untuk mendukung dan membantu apa saja yang dibutuhkan, dalam rangka merealisasikan nota kesepamahan yang telah disepakati. Harapan kami juga nota kesepahaman atau perjanjian kerja sama (PKS) tidak berhenti di situ saja, tetapi benar-benar direalisasikan,” ujar Ratno. 

Dalam paparannya Ratno menyampaikan beberapa peluang ataupun skema yang ada di BRIN. “BRIN berdasarkan regulasi bisa berkolaborasi dengan banyak stakeholder yang ada, baik instansi pemerintah, kementerian/lembaga, pusat/daerah lain, akademisi, industri, dan sebagainya. Dengan regulasi yang ada ini harapannya dapat mendukung inovasi yang ada di negara kita,” paparnya.

“BRIN juga membuka juga open platform, maksudnya membuka fasilitas yang ada di BRIN untuk kolaborator, dari akademisi baik dosen maupun mahasiswa, ataupun pelaku usaha/industri dari dalam negeri maupun luar negeri, diharapkan infrastruktur itu dapat kita pakai bersama-sama secara cuma-cuma,” imbuhnya.

Dirinya pun menambahkan banyak skema yang dikeluarkan oleh BRIN tentang kolaborasi, seperti Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), tugas akhir, ataupun program degree by research (DBR). 

“Dengan adanya nota kesepahaman ini dapat diturunkan menjadi PKS dan membuka platform. Untuk kolaborasi ini banyak skema dari BRIN seperti MBKM, riset mahasiswa baik S1, S2, dan S3, bahkan program degree by research, dengan syarat co-promotor salah satunya berasal dari BRIN. Program ini bisa diikuti tidak hanya ASN BRIN tapi oleh pihak luar juga, dan kita sudah MoU dengan beberapa kampus,” terang Ratno

“Program ketiga adalah mobilitas periset yang merupakan program nasional, ini tidak hanya untuk periset tetapi untuk mahasiswa dari skema MBKM untuk tugas akhir. Kemudian skema keempat adalah fasilitasi. Di sini banyak fasilitas yang dapat diakses melalui skema pendanaan dan ini tidak hanya untuk periset BRIN, tetapi dari luar juga bisa mengakses. Ini kesempatan dapat dilakukan sepanjang tahun,” jelasnya.

Pada kesempatan ini Untirta yang diwakili oleh Agus Syafari selaku Wakil Rektor bidang Akademik Pengembangan Inovasi, Pengabdian dan Hilirisasi Riset, mengungkapkan minatnya untuk berkolaborasi dengan BRIN. “Menarik apa yang disampaikan oleh Pak Ratno terkait organisasi BRIN dan kegiatan-kegiatan yang bisa menjadi peluang untuk kerja sama. Maka dengan mengacu kepada nota kesepahaman, hal ini perlu disambut baik dan ditindaklanjuti,” ucapnya.

“Dalam nota kesepahaman itu ada beberapa hal yang menjadi penekanan. Pertama tentang pendidikan seperti degree by research dan terkait dengan riset kami di Untirta yang sedang melakukan pembenahan program riset unggulan. Kemudian jika terkait dengan iptek khususnya bidang-bidang ilmu eksakta dan sosial, kami di Untirta ada fakultas teknik yang sudah ada kegiatan kolaborasi riset hilirisasi logam timah, material maju, kimia maju dan metalurgi, yang menjadi unggulan, karena kami dekat dengan Krakatau Steel dan beberapa industri di wilayah Cilegon, khususnya teknik metalurgi yang menjadi unggulan, serta ada teknik industri serta beberapa program studi yang lain,” urai Agus. 

Agus melanjutkan penjelasan bahwa di Fakultas Teknik Untirta baru ada program pasca sarjana Teknik Kimia, sehingga Untirta membutuhkan kolaborasi dengan beberapa lembaga, khususnya BRIN dan pemerintah sekitarnya dalam pengembangan keilmuan. “Kami menyambut baik dan MoU ini dapat ditindaklanjuti dengan PKS. Kami akan menyampaikan ke pihak Universitas tentang kolaborasi ini,” tuturnya.

“Untirta memiliki pusat unggulan dan dapat dikembangkan, yaitu pusat ungulan ketahanan pangan khususnya pangelolaan pangan lokal. Untirta juga mengikuti program hibah dari Kemenristek. Untuk tahun ini ada 17 judul, dan di sini sangat dibutuhkan adanya kolaborasi industri serta sarana pendukung seperti laboratorium dan kami juga sedang membangun halal center,” tambahnya.

Pada rapat koordinasi ini diagendakan acara webinar untuk memperkenalkan program yang ada di BRIN kepada para akademisi di Untirta, baik secara daring maupun tatap muka, sehingga diperoleh kebutuhan apa saja yang akan kerjasamakan antara kedua belah pihak. Pihak Untirta selanjutnya mengunjungi fasilitas laboratorium yang ada di ORNM, agar memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang peluang-peluang kerja sama riset antara kedua belah pihak. (esw/ ed. adl)

Categories
Nanoteknologi & Material Riset & Inovasi

BRIN Kembangkan Riset Nanomaterial untuk Sensor dan Baterai

Tangerang Selatan – Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM) mengembangkan riset nanomaterial untuk sensor dan baterai. Kedua topik riset ini dibahas melalui webinar ORNAMAT seri keenam secara daring dengan mengusung dua tema yakni riset tentang Nanomaterial untuk Sensor dan Aplikasi Komputasi Density-Functional Tight-Binding (DFTB) untuk bahan elektroda baterai, Selasa (12/07).

ORNM Ratno Nuryadi menyampaikan bahwa webinar kali ini ORNM menampilkan para periset muda untuk tampil. “Dari statistik sampai dengan pemetaan yang ke-6, sivitas ORNM akan mencapai 500 periset. Dilihat dari komposisi umurnya, yang berada dalam kisaran 21-30 tahun ada 16%, umur 31-40 tahun ada 40%, umur 41-50 tahun 21%, dan sisanya lebih dari 50 tahun. Ini pertanda yang baik sivitas ORNM banyak yang berusia muda. Semoga peran dan mobilitas sebagai periset di ORNM bisa maksimal dengan lingkugan seperti ini,” ujarnya.

Webinar ini menghadirkan dua narasumber, yakni Ni Luh Wulan Septiani dari Kelompok Riset Fungsional Dimensi Rendah Pusat Riset (PR) Material Maju dengan tema ‘Rekayasa Nanomaterial untuk Sensor Gas Berkinerja Tinggi’ dan Wahyu Dita Saputri dari Kelompok Riset Simulasi dan Desain Nanomaterial – PR Fisika Kuantum, dengan tema ‘Aplikasi Metode Komputasi Density-Functional Tight-Binding (DFTB) pada Optimasi Konfigurasi Antrakuinon sebagai Kandidat Bahan Elektroda Baterai Sodium’.

“Kedua tema ini saling beririsan karena sama-sama di bidang material. Kalau dilihat satu persatu, sensor di sini sangat luas aplikasinya, seperti sensor lingkungan, sensor untuk mendeteksi parameter fisik dan lain sebagainya. Sensor ini merupakan perangkat yang saat ini memiliki tidak hanya dari sisi dasar, tetapi miliki peluang pasar yang cukup besar. Di pasar global, sensor memiliki peningkatan setiap tahun. Tahun 2019 mencapai 530 juta dolar AS, dan perkiraan tahun 2026 1,3 miliar dolar AS, dengan kenaikan pertumbuhan tahunan gabungan 11% lebih,” terang Ratno.

Demikian pula Baterai yang memiliki potensi dari sisi aplikasi atau dilihat dari sisi sains dasar dan terapan. “Banyak diaplikasi dikehidupan sehari-hari sehingga pasar global baterai cukup tinggi. Di tahun 2020 mencapai 46 miliar dolar AS dengan pertumbuhan 6% lebih di tahun 2030, bisa mencapi 80 miliar dolar AS. Ini menandakan bahwa riset di bidang sensor dan baterai memiliki potensi yang sangat menarik dan strategis,” imbuhnya.

Ratno berhadap dengan adanya webinar ini para periset dan mitra bisa saling berbagi. “Ini akan melahirkan diskusi-diskusi  dan peluang kolaborasi yang bisa kita eksplorasi ke depannya,” tuturnya.

Pada kesempatan ini, pemateri pertama Ni Luh Wulan Septiani memaparkan akan bahaya sulfur dioksida (S02). “Gas ini merupakan unsur berbahaya yang bersumber dari industri, transportasi, dan aktivitas gunung berapi. Gas S02 ini jika terhirup manusia dapat menggangu saluran atau kerusakan pernafasan. Yang lebih rentan yang terkena S02 ini adalah orang tua dan orang-orang dengan riwayat penyakit paru-paru dan anak-anak. Untuk memonitoring konsentrasi gas S0diperlukan alat sensor gas,” jelasnya.

“Sensor gas ini harus memiliki respon, sensitivitas, selektivitas yang tinggi, waktu respon yang cepat, waktu pulih cepat, temperatur kerja rendah, stabil, dan waktu hidup yang panjang. Untuk mendapatkan kriteria yang maksimal, diperlukan rekayasa berupa morfologi yang berhubungan dengan luas permukaan. Rekayasa antarmuka biasanya oksida logam atau material aslinya didekorasi dengan material lainnya, sehingga menghasilkan efek-efek yang dapat meningkatkan sensivitas, respon, mempercepat reaksi permukaan, dan komposit mirip dengan rekayasa antarmuka,” tambahnya.

Ni Luh Wulan juga menyebutkan bahwa dengan modifikasi gabungan dapat meningkatkan kinerja secara signifikan, dan modifikasi ZnO dengan Multi-Walled Carbon Nanotube (MWCNT) dapat meningkatkan respon selektivitas juga menurunkan temperatur kerja.

Dalam kesempatan yang sama, pemateri kedua Wahyu Dita Saputri mempresentasikan material katoda berbasis antrakuinon. “Mengapa kami memilih antrakuinon (AQ) karena memiliki nilai ekonomi, ramah lingkungan, kapasitasnya 257mAh/g, tetapi struktur molekulnya dapat dimodifikasi untuk mendapatkan kapasitas dan potensial redoks lebih tinggi,” ucapnya.

Antrakuinon juga memiliki kekurangan yaitu performa silkus yang rendah karena kelarutannya tinggi pada elektrolit. “Cara mengatasinya yaitu dengan AQ yang dapat terenkapsulasi pada permukaan karbon. AQ memiliki permukaan dan volume pori luas, dan pori terbentuk rapi, sehingga konduktivitas elektrik lebih baik, dan adanya interaksi ? – ? antara AQ dan karbon. Latar belakang pemakaian baterai AQ karena berlimpahnya pada kerak bumi sekitar 23.000 ppm, sementara litium 7 ppm,” paparnya.

Menurut Wahyu Dita, penelitian ini ada dua jenis, yaitu komputasi yang merupakan kerja sama antara BRIN dan University of Innsbruck Austria, serta eksperimen yang dikerjakan oleh Institute for Physical Chemistry University of Innsbruck. “Metode komputasi  sangat banyak sekali, ada beberapa jenis yang secara garis besar menggunakan metode medan gaya. Proses AQ ini lebih efektif yang dibuktikan dengan penelitian oligomer antrakuinon,” sebutnya.

“Potensi penelitian selanjutnya yakni bisa bekerja sama tentang AQ yang digantikan komposisinya dengan proses oligomerasi, sehingga dapat dibentuk kandidat bahan elektroda lebih lanjut,” pungkasnya. (esw/ ed. adl)

Sumber : https://www.brin.go.id/press-release/107945/brin-kembangkan-riset-nanomaterial-untuk-sensor-dan-baterai