Categories
Nanoteknologi & Material Riset & Inovasi

Periset BRIN Bagikan Kisah Sukses Program Degree by Research

Tangerang Selatan-Humas BRIN. Dalam membangun ekosistem riset dan inovasi hingga di tahun-tahun mendatang, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mendukung peningkatan kompetensi sumber daya manusia periset dan non periset. Adalah program Degree by Research (DBR) yang telah berhasil diluncurkan untuk mencetak program magister dan doktor.

Fajar Nurjaman, periset pada Pusat Riset Teknologi Pertambangan – Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material BRIN, membagikan pengalaman suksesnya sebagai penerima manfaat DBR tahun 2019, melalui serial webinar ORNAMAT #31 pada Selasa (25/7) dengan tema ‘Exploring Your Potency: Meningkatkan Karir Riset Melalui Degree By Research BRIN S2/S3′. 

Fajar menerangkan bahwa program DBR adalah program beasiswa studi S2/S3 tanpa meninggalkan tugas kedinasan, yang dapat di tempuh pada berbagai univesitas di dalam dan luar negeri, yang memiliki MoU dengan BRIN. Penerima DBR terbuka untuk umum, baik ASN maupun non ASN. Untuk jenjang S2 lama waktu studi 4 (empat) semester, dan dapat diperpanjang 1 (satu) semester, sedangkan untuk S3 lama waktu studi 6 (enam) semester, dapat diperpanjang 2 (dua) semester.

Peserta program DBR akan mendapatkan hak uang pendaftaran ujian tes masuk, uang pangkal dan uang kuliah tunggal (UKT), serta uang bantuan riset (S2 sebesar Rp 6 juta dan S3 sebesar Rp 9 juta). Sedangkan kewajiban peserta DBR adalah menyelesaikan studi dengan tepat waktu dan mengikuti monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh BRIN.

Peneliti Ahli Madya dengan kepakaran bidang ekstraksi metalurgi tersebut sendiri telah menyelesaikan program DBR S3 di Universitas Indonesia dengan topik disertasi ‘Pengaruh Basisitas dalam Proses Reduksi Selektif Bijih Nikel Laterit (Limonit dan Saprolit)’, dengan nilai 4.00.

Ia membagikan beberapa kiat-kiat sukses menyelesaikan program DBR. Menurutnya, ada enam poin yang harus diperhatikan untuk sukses menyelesaikan program DBR dengan baik, yaitu kepakaran, co-promotor (BRIN), topik dan road map riset, universitas dan promotor, pendanaan riset, serta publikasi.

Fajar menjelaskan, calon peserta DBR harus mengidentifikasi kepakaran dan passion risetnya. “Fokus pada riset yang sedang dikerjakan. Gali potensi untuk mencari kebaruan dari pengembangan riset tersebut. Bagi periset pemula, lakukan riset pendahuluan dengan menggunakan dana riset internal maupun eksternal,” sarannya.

Kriteria co-promotor yang tepat, adalah yang in-line dengan kepakaran. Memiliki track record kegiatan riset dan publikasi yang baik. “Manfaatkan keahlian co-promotor anda untuk membantu anda,” ucap Fajar.

Kemudian peserta DBR wajib melakukan diskusi mendalam dengan co-promotor terkait topik riset yang akan/telah dipilih. “Sebaiknya yang mengandung unsur kebaruan (novelty),” tegasnya.

Lebih lanjut, peserta DBR harus mengenali kampus/universitas yang menjadi tujuannya dan prodi yang sesuai dengan kepakaran. Lengkapi informasi-informasi administratif sebagai syarat pendukung. Kualifikasi promotor juga harus menjadi perhatian, apakah memiliki gelar profesor, track record publikasi, komunikasi yang baik (good chemistry) serta road map riset yang jelas.

Sebagai calon peserta DBR, juga harus rajin memantau jadwal pembukaan program, syarat – syarat dan sumber  pendanaan. Untuk publikasi hasil penelitian, umumnya univesitas mengijinkan mahasiswa DBR BRIN untuk menggunakan double afiliasi  (kampus dan BRIN). 

“Sedangkan untuk publikasi internasional, perhatikan scope jurnal yang dituju, jangan takut ditolak, karena umumnya penolakan disertai dengan masukan dari reviewer. Manfaatkan fasilitas Publication Support (Turnitin dan Grammarly) yang disediakan BRIN atau kampus,” tutur Fajar.

Pada pertemuan yang sama, Kepala Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM) BRIN, Ratno Nuryadi, mengungkapkan bahwa dengan mengikuti program DBR, periset ASN dan non ASN di ORNM akan mampu meningkatkan kualitas riset dan inovasi bidang ilmiah dan teknologi.

Ratno menjabarkan bahwa ORNM dalam pencapaian tujuan akan menempuh beberapa tahap. “Pada tahun 2023 dengan target awal yaitu meningkatkan kompetensi periset dengan pengembangan SDM melalui program studi S2 dan S3. Diharapkan dengan meningkatnya kompetensi periset, maka pada tahun 2025 akan terbangun kepercayaan diri periset dan lebih mudah untuk bermobilitas, serta dapat mewujudkan kinerja periset  seperti reputasi, ekosistem dan inovasi  periset pada tahun 2027,” urai Ratno.

Ratno berharap dapat memperkuat sektor riset dan inovasi di Indonesia dengan mendukung pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas di bidang ilmiah dan teknologi. Program ini memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mendapatkan pengetahuan lebih mendalam tentang bidang studi tertentu dan berkontribusi pada penemuan pengetahuan baru yang dapat berdampak positif bagi kemajuan bangsa.

Acara webinar ini diharapkan dapat meningkatkan jumlah ASN dan SDM BRIN dari periset maupun non periset di ORNM dengan kualifikasi pendidikan S2 dan S3, yang sejalan dengan peningkatan kompetensinya dalam melaksanakan penelitian, pengembangan dan pengkajian ilmu pengetahuan dan teknologi. (jp, ls/ ed: adl, aps)

Sumber :

Artikel di web BRIN :

https://www.brin.go.id/news/113761/periset-brin-bagikan-kisah-sukses-program-degree-by-research

Youtube BRIN Indonesia ORNAMAT #31 :

https://www.youtube.com/watch?v=Xu7sc0yfngs

Categories
Nanoteknologi & Material Riset & Inovasi

Pakar Polimer Bahas Tata Kelola Daur Ulang Limbah APD di Indonesia

Tangerang Selatan – Humas BRIN. Alat pelindung diri (APD) merupakan perlengkapan yang berfungsi melindungi pengguna dari infeksi bakteri atau virus. Jenis APD yang dipakai oleh tenaga medis ini tidak hanya berupa pakaian saja, tetapi juga ada pelindung bagian kepala, mata, telinga, dan lainnya. Di dalam penggunaannya, APD bisa bersifat multi use, multi years, sehingga penggunanya tidak hanya sekali, tetapi bisa berulang kali.

Namun, yang menjadi masalah pada APD yakni ada bagian pakaian pelindung ini yang hanya dapat digunakan sekali pakai. Terutama pada masa Covid 19 lalu, banyak APD yang penggunaannya hanya sekali pakai, mengingat masalah toksisitas dan lainnya. Sehingga limbah medis yang berbahan baku polimer ini turut berdampak pada lingkungan.

Guna membahas pengelolaan limbah medis tersebut, Pusat Riset Teknologi Polimer – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerja sama dengan Australia Global Alumni menggelar Webinar Series, ‘Teknologi Pengolahan Limbah Medis’, Rabu (15/03).

Kepala Pusat Riset Kimia Maju, Yenny Meliana mengatakan, melalui webinar ini, para periset menyampaikan hasil penelitian tentang teknologi pengolahan limbah medis dan juga metode-metode lain, yang mungkin dapat melakukannya sebagai alternatif.

“Saya harapkan para peserta baik peneliti, rumah sakit, akademisi, mahasiswa, pelaku industri, dan masyarakat umum dapat berinteraksi dengan para narasumber. Kemudian membuahkan hasil yang berpotensi memunculkan ide-ide baru untuk penelitian lebih lanjut khususnya teknologi limbah medis yang berkelanjutan berbasis daur ulang,” ujar Yenny pada sambutannya mewakili Kepala Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM).

Sebagai pembicara pada webinar tersebut, Chalid dari Departemen Teknik Metalurgi dan Material Universitas Indonesia mengatakan APD itu tidak hanya berbasis polipropilena, tetapi juga ada dari polietilen tereftalat (PET) dan seterusnya. Hanya mungkin di Indonesia, lebih banyak bahan baku APD yang digunakan adalah polipropilena (PP).

Di dalam pengembangan teknologi eko-plastik, ia mengungkapkan bahwa harus mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan budaya. “Yang tidak kalah penting adalah teknologi di dalam dunia polimer atau plastik demikian pesat, sehingga dapat membangun kesadaran stakeholder maupun semua pihak terhadap tata kelola APD,” ujarnya.

Menurutnya, polipropilena merupakan salah satu jenis polimer. Tetapi banyak orang memahami tentang plastik dalam perspektif yang kurang tepat.

“Plastik dalam konteks bagian dari polimer, merupakan suatu produk berkelanjutan (sustainable) yang terus menerus dapat dimanfaatkan, dan jika mengelola dengan baik maka aspek lingkungannya tidak menjadi sebuah isu yang hingar bingar pada saat ini,” kata Chalid.

Chalid berpendapat, mendesain sebuah produk adalah mendesain bahan baku, sementara polimer itu agak unik karena ada kandungan aditif, baik yang berorientasi fungsional maupun estetika.

Selain itu, polimer harus memenuhi kaedah dari spesifikasi produk, baik sifatnya primer/ fungsionalnya maupun sekunder/estetikanya, kemudian harus mampu diproses. “Setelah jadi, oleh industri hilir dijadikan sebagai produk siap pakai, semisal masker, pakaian pelindung, dan setelah orang pakai, maka akan menjadi sampah/limbah,” ungkapnya.

“Dari situ ada industri yang mengelola dari sampah/limbah tadi yaitu industri daur ulang, untuk diolah menjadi bahan jadi atau juga bisa diolah lagi menjadi monomernya, atau bisa diolah menjadi polimernya, dengan pemisahan separasi dengan additives-nya dengan teknik kristalisasi,” sambungnya.

“Ada juga pendekatan-pendekatan lain semisal dari APD yang telah disterilisasi kemudian diproses, di-convert dan seterusnya, diolah lagi menjadi bijih plastik, yang kemudian bijih plastik bisa diolah menjadi berbagai jenis produk,” cakapnya.

Lebih lanjut, Chalid mengatakan, seorang teknokrat atau pun seorang yang bergelut dalam dunia ilmiah, polimer tidak hanya berbasis bisa menjadi produk ini produk itu, tetapi juga harus memperhatikan aspek-aspek makro yang lainnya, seperti aspek ekonomi, aspek kesehatan, dan aspek-aspek yang lain.

“Polimer/plastik merupakan sebuah siklus yang harus mendesain menjadi sebuah produk yang sama atau menjadi produk turunan lain. Kemudian, di situlah yang harus membangun dalam masyarakat kita, membangun cara pandang dari dunia ekonomi ke sirkular ekonomi dalam satu sistem yang harus sustainable,” terang lulusan strata-1 Kimia Universitas Indonesia.

“Kalau kita melihat sistem sirkular saja, tanpa bersama aspek ekonomi, maka stakeholder yang terlibat itu kurang tersimulasi untuk melakukannya, karena di situ tidak ada kaitan untuk ekonomi. Kalau kita mampu untuk menjadikan sirkular yang berbasis ekonomi, maka ini merupakan suatu daya dorong untuk stabilitas pengelolaan sampah ke depan,” tambahnya.

Chalid menjelaskan bahwa sampah plastik bisa didaur ulang. Dari jenis plastik diantaranya rubber (karet), termoplastik, dan termoset. “Letak perbedaan dari jenis rubber, thermoplast, dan thermoset adalah dari sisi konfigurasi rantai molekulnya,” sebutnya.

Dirinya menjabarkan termoplastik tidak memiliki punggung silang satu sama lain. “Maka pada saat ia dipanaskan, rantai molekulnya mampu bergerak bebas, kemudian memberikan ruang kosong sehingga rantai molekul mampu bergerak bebas, jadi dia mampu dibentuk ulang,” ulas Chalid.

Namun untuk model rubber dan termoset memiliki punggung silang. “Sehingga jenis rubber maupun thermoset dapat didaur ulang, namun tidak mampu dibentuk ulang,” tambahnya.

“Jadi tidak atau semua sampah plastik seperti karet, thermoset, thermoplast akan mampu didaur ulang. Tergantung jenis daur ulangnya apa,” jelas lulusan lulusan strata-2 dan strata-3 Polymer Polymer Engineering serta Plymer Product Technology Netherlands.

Menurutnya, tipe daur ulang terbagi empat jenis, yaitu Pendaur-ulangan Primer, Pendaur-ulangan Sekunder, Pendaur-ulangan Tersier, dan Recovery Energi/Pendaur-ulangan Kuartener.

“Jadi tidak ada kategori kita akan menyerah atau bermusuhan dengan plastik. Pada dasarnya bukan masalah pada plastik, tetapi tata kelolanya. Bagaimana tata kelola itu bisa sampai kepada masyarakat. Maka edukasi maupun program uji menjadi sangat penting, untuk menunjang bagaimana masyarakat Indonesia dalam mendaur ulang,” tuturnya.

Chalid menyampaikan, tidak akan bisa berdiri sendiri bagi seorang teknokrat atau pun  seorang bagian dari iptek, kalau tidak memperhatikan aspek makronya. Maka, di Eropa bahkan di Indonesia melalui KLHK, telah mengembangkan Extended Producer Responsibility (EPR).

“EPR ini bertujuan agar produsen ada tanggung jawab baru, bagaimana produk yang telah menyebar di pasar itu bisa di-withdraw kembali dalam sebuah sistem produk, sehingga tumpukan sampah menjadi lebih menurun,” terangnya.

Chalid menyatakan adanya produk polimer/plastik adalah anugerah Tuhan, yang bukan sesuatu hal yang buruk dan sia-sia. Oleh karena itu, perlu kolaborasi dari para stakeholder untuk mengelolanya dengan baik.

“Selama ini dengan masyarakat kami sudah membangun awareness dengan berbagai kajian teknologi. Tetapi masih perlu sinergitas dan harmoni kebijakan yang berkaitan dengan multi-stakeholder,” ungkap Chalid.

“Selain itu, kita harus memahami peta supply berbasis data base, kira-kira seperti apa, baru kita membangun ekosistemnya yang bersama dengan inovasi, serta membangun sustainability,” pungkas Associate Professor Departemen Metalurgi dan Material UI.(hrd/ed:adl)

Categories
Nanoteknologi & Material Riset & Inovasi

BRIN Kolaborasi Riset Global ALICE Bidang Elektronika, Informatika, Fisika Energi Tinggi, dan Nuklir

Tangerang Selatan, Humas BRIN. Organisasi Riset Elektronika dan Informatika (OREI) serta Organisasi Riset Nanoteknologi dan Mineral (ORNM) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berkolaborasi mengadakan webinar dengan tema ‘Aspek Riset Elektronika, Informatika, Fisika Energi Tinggi dan Nuklir pada Kolaborasi Riset Internasional ALICE (A Large Ion Collider Experiment)-CERN’, yang dilaksanakan secara daring pada Selasa (21/6).

Webinar ini menghadirkan tiga narasumber, yakni Suharyo Sumowidagdo (Periset Pusat Riset Fisika Kuantum), Esa Prakasa (Kepala PR Sains Data dan Informasi BRIN), dan Rfiki Sadikin (Plt. Kepala Pusat Riset Komputasi BRIN). 

Dalam sambutannya Kepala OREI BRIN Budi Prawara menyampaikan bahwa webinar ini merupakan kolaborasi riset. “ALICE merupakan salah satu fasilitas milik organisasi Eropa terkait riset nuklir untuk mengakselerasi proton dan ion dengan energi yang tinggi. Kolaborasi riset dengan ALICE sudah dimulai sejak tahun 2014 yang lalu, periset kita diwakili oleh Rifki Sadikin melalui LIPI yang kemudian menjadi full member di tahun 2014,” ujarnya.

“Kolaborasi riset global ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas periset kita melalui interaksi dan kolaborasi dengan periset dari berbagi penjuru dunia dengan topik-topik riset terkini dan pelopor di bidangnya,” tambah Budi.

Saat ini BRIN sedang memproses addendum perjanjian dengan ALICE, dengan ini kita mengharapkan bertambahnya kolaborator dari Indonesia.  

“Webinar ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait dengan kerjasama. Untuk sementara kita mengusulkan agar partisipasi lembaga-lembaga Indonesia dibentuk sebagai institusi. Anggota pendiri klaster ini adalah BRIN, Universitas Indonesia (UI), dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Klaster ini akan menjadi ALICE Indonesia yang nantinya akan disingkat menjadi alice.id,” jelas Budi. 

BRIN akan menjadi lembaga utama ALICE dan bertangung jawab untuk menyelenggarakan klaster sekretariat, serta menyediakan infrasktruktur penelitian, seperti komputer khusus koneksi jaringan, ruang laboratorium, dan ruang kerja bersama. BRIN akan menyediakan dana untuk partisipasi periset atau siswa dalam ALICE ini.   

Skema asisten tersedia untuk partisipasi dalam jangka pendek sebagai contoh untuk waktu sampai dengan 1 tahun. Saat ini BRIN sedang menjajaki juga program degree by research, yakni gelar dengan skema penelitian tersedia untuk program gelar pascasarjana. Programnya 2 tahun S2 dan 3 tahun untuk mahasiswa doktoral. UI dan IPB akan menyediakan infrastruktur untuk mendidik mahasiswa magister dan Doktor serta pemberian gelar. Mahasiswa nanti akan dibimbing oleh dosen dari UI dan IPB serta supervisor dari BRIN. 

“Saya berharap webinar dari ketiga narasumber ini akan dapat bermanfaat bagi kita semua dan memberikan motivasi bagi kita, untuk dapat terus berkontribusi. Khususnya para periset di area riset fisika kuantum, kemudian material maju, dan elektronika informatika maju,” tuturnya. 

Pada kesempatan yang sama, Kepala ORNM BRIN, Ratno Nuryadibr memberikan sambutan bahwa webinar ini merupakan sebuah acara yang sangat penting dan membanggakan untuk kita semua. “Kita dapat berdiskusi dalam mengeksplorasi peluang-peluang yang bisa diberikan pada kolaborasi riset internasional di tingkat global khususnya ALICE di Swiss,” ucapnya. 

“Selama ini kita telah menunjukkan bagaimana kontribusi yang diberikan Indonesia ke internasional, khususnya ALICE dalam hal infrastruktur. Seiring dengan intergasi BRIN kita sadar bersama bahwa BRIN ini sekarang sangat luas bidang riset didalamnya. BRIN memiliki banyak OR dan PR dengan lingkup latar belakang riset yang bervariasi,” urai Ratno. 

“Semoga dengan adanya webinar ini kita bisa menggali potensi-potensi kerja sama dan menjadi ajang sosialisasi bagi periset yang sudah melakukan riset di ALICE dan berpengalaman, serta webinar ini dapat menjadi pembelajaran bagi kita untuk membuka kira-kira peluang yang bisa kita eksplorasi untuk berkontribusi dalam kolaborasi ditingkat  global,” tuturnya. 


Suharyo Sumowidagdo dalam presentasi ini menyampaikan materi tentang ‘Pengenalan Kolaborasi Riset ALICE-CERN dan Riset Fisika, Instrumentasi, dan Elektronika pada ALICE-CERN’.

“ALICE adalah sebuah konsorsium atau kolaborasi terdiri dari banyak institusi yang sudah bersepakat bekerja sama dalam suatu topik penelitian. Hal ini memerlukan konstruksi untuk pembuatan instrumen penelitian yang besar, dalam hal ini ALICE dan terletak di lokasi yang khusus dalam hal ini CERN. Operasionalnya memakan waktu lama dan membutuhkan kepakaran dan SDM yang banyak,” jelas Suharyo.

ALICE beranggota 40 negara dan 173 institusi pada saat ini sedang dikembangkan materi paling panas yang diciptakan manusia di laboratorium dengan cara menumbukan partikel ion timbal. 

“Alat akselerator merupakan alat eksperimen, ada beberapa sub detektor dan memiliki fungsi masing-masing, serta partikel ion-ion. Jika ada tumbukan maka akan dideteksi oleh detektor. Large Hadron Collider (LHC) dan detektor memiliki jadwal operasional. Apabila periode run akselerator berjalan, detektor mengambil data. Jika long shut down, akselerator berhenti dan detektor bisa diakses. Pada saat akselerator berjalan ada radiasi yang sangat tinggi, sehingga detektor ditutup tidak dapat diakses,” urai Suhayo. 


Pemateri kedua, Esa Prakasa, pada webinar memaparkan materi tentang ‘Riset informatika pada kolaborasi ALICE-CERN: Studi Kasus Pendekatan Computer Vision untuk QC Detektor ITS (Inner Tracking System)’.

ALICE adalah fisika partikel berskala besar dan berjangka panjang percobaan. Eksperimen dilakukan di CERN, Swiss. Proyek ALICE sedang melakukan studi komprehensif tentang hadron, elektron, muon, dan foton yang dihasilkan dalam tumbukan inti berat. ALICE juga mempelajari tumbukan proton-proton dan proton-nukleus, keduanya sebagai perbandingan dengan tumbukan nukleus-nukleus.

“Secara singkatnya kami mengamati tumbukan partikel yang nantinya akan dilacak pergerakan partikel seperti apa. Selama proses tumbukan posisi dari partikel-partikel di dalam LHC akan direkam dengan sensor berupa chip yang jumlahnya sekitar 20.000. Sensor chip yang dipasang dalam detektor Inner Tracking System (ITS) ini merupakan yang paling awal, karena dalam satu tempat lintasan ada tumbukan lain, dan ini akan ada beberapa detektor lain di dalam radius yang lebih lebar,” terang Esa. 

“Detektor ITS ada beberapa lapisan semacam silinder yang tersusun dalam ribuan atau puluhan ribu sensor chip yang disebut dengan inner layer, middle layer, dan outer layer,” imbuh Esa.

“Pada kolaborasi ALICE ini kami merekam permukaan, baik itu sensor itu sendiri maupun pemasangan dan dihitung dengan logaritma untuk kemudian sebagai pembanding. Algoritma berbasis visi telah diterapkan untuk menilai kualitas chip, dalam hal properti 3D, integritas tepi chip, cacat permukaan, dan penyelarasan chip pada permukaan detektor,” lanjutnya.

Kemudian algoritma berbasis visi dapat digunakan untuk meningkatkan, tidak hanya kualitas chip sensor itu sendiri, tetapi juga dapat memastikan kualitas data eksperimen yang diperoleh oleh sensor yang dibangun. “Data yang dikumpulkan dari beberapa tahap berpotensi dianalisis dengan metode baru lainnya. Metode inspeksi visual akan diperlukan dalam proyek peningkatan di masa mendatang. Metode inspeksi juga dapat diterapkan dalam kegiatan manufaktur lainnya,” jelas Esa. 

Pemateri ketiga Rifki Sadikin tampil dengan paparan materi ‘Riset komputasi pada kolaborasi ALICE-CERN: Studi Kasus Koreksi Space-Charge Distortion pada Detektor TPC (Time Projection Chamber)’.

Dalam kesempatan ini Rifki menyampaikan keterlibatannya dalam proyek kerja sama dengan ALICE. “Kami terlibat di bagian komputasi terkait metode numerik dan pengolahan data di eksperimen ALICE pada salah satu detektor TPC. Secara kolaborasi kami terlibat dalam piranti lunak pengolahan data dan koordinasi komputasi. Saat ini kami juga di bagian rekontrasi dan kalibrasi aplikasi yang dibuat untuk membantu kontruksi jalannya detektor tersebut,” bahasnya. 

“Cara kerja detektor dengan besar diameter 5 meter panjang 5 m, yaitu mendeteksi elektron yang melintas di tutup silinder. Hasil gambar dari silinder adalah memang lintasan yang terdeteksi. Sampai saat ini kami masih mengembangkan produk ini,” pungkas Rifki. (esw/ed: adl)