Categories
Nanoteknologi & Material Riset & Inovasi

Mencari Solusi Sirkular Ekonomi untuk Limbah Medis

Tangerang Selatan – Humas BRIN. Permintaan masyarakat akan Alat Pelindung Diri (APD) pada masa pandemi covid-19 meningkat dan berdampak pada melonjaknya limbah APD medis. Peningkatan limbah medis APD ini menimbulkan isu baru pada lingkungan.  Daur ulang limbah APD medis dapat menjadi salah satu solusi untuk mengurangi volume limbah medis.

Kebutuhan APD dan masker pada masa pandemi bertambah dan peningkatan limbah medis ini menimbulkan isu baru yang berdampak pada lingkungan. Sehingga menurutnya, untuk jangka panjang diperlukan manajemen dan kebijakan yang mengatur pengaturan limbah medis di Indonesia.

Menurut Kepala Pusat Kimia Maju Yenny Meliana, hal itu diperlukan untuk panduan berbagai lapiasan masyarakat, bagi tenaga medis maupun rumah tangga. Yenny yang hadir mewakili Kepala Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material berharap hasil riset limbah medis dapat membangkitkan kepedulian terhadap penanganan limbah medis di Indonesia.

Achmad Gunawan Widjaksono, Direktur Pengelolaan Limbah B3 dan Non B3 – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjelaskan tentang bahan berbahaya dan beracun (B3). B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. B3 dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.

Limbah medis termasuk dalam golongan B3 yang ada unsur bahan yang berbahaya. Ia mencontohkan, jarum suntik, obat-obatan, dan lain sebagainya. “Sampah rumah sakit itu harus dikelola dengan aturan yang telah ditentukan oleh pemerintah,” ujar Gunawan kerap disapa.

Sirkular ekonomi sehingga sampah medis dapat memiliki nilai. “Sirkular ekonomi merupakan salah satu model efisiensi sumber daya. Dalam konteks pengelolaan sampah, praktik sirkular ekonomi bisa diwujudkan melalui praktik pengurangan sampah, desain ulang, penggunaan kembali, produksi ulang, dan daur ulang secara langsung.

Dalam sirkular ekonomi limbah tidak memiliki nilai, sehingga dibutuhkan suatu sistem pengolahan limbah agar memliiki nilai yang positif. Sirkular ekonomi pada pemanfaatan limbah B3 dapat menggantikan sebagian bahan baku untuk energi.

Limbah rumah sakit dapat berupa gas, cair, maupun padat. Sedangkan limbah padat ada yang bersifat medis maupun non medis. Dalam sirkular ekonomi limbah medis ada yang bisa dimanfaatkan kembali dan ada yang tidak.

Dalam kesempatan yang sama, Anas Ma’ruf, Direktur Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan menjelaskan bahwa isu limbah medis selalu menjadi kontroversi. “Pengelolaan limbah perlu penanganan yang baik karena limbah medis berisiko besar, karena limbah tersebut sangat berdampak dan dapat menimbulkan masalah bila tidak dikelola dengan baik,”  ucapnya.

Solusi Pengelolaan Limbah Medis

Anas menerangkan bahwa limbah medis dapat berdampak pada lingkungan dan kesehatan. Dampak lingkungan yang dimaksud di antaranya mencemari tanah, air, udara dan mempengaruhi hasil pangan. Sedangkan dampak kesehatan meliputi gangguan estetika dan kenyamanan (bau, kumuh, kotor), kecelakaan/tertusuk benda tajam (hepatitis, HIV, dan lainnya), dan infeksi silang (pasien ke pasien, pasien ke petugas, atau fasyankes ke masyarakat).

Anas menjelaskan, pengelolaan limbah B3 dari fasyankes di rumah sakit dapat dikelola secara internal dan eksternal. Pengelolaan internal seperti pengurangan, pemilahan, pewadahan, penyimpanan dan pengolahan internal. Dari pengolahan internal selanjutnya dilakukan pengelolaan eksternal, yaitu pengangkutan untuk diolah eksternal dan penimbunan.

Limbah medis fasyankes tersebut dapat dikelola dengan berbasis wilayah seperti skala kecamatan, kota/kabupaten baik pengelolaan internal maupun eksternal. Dengan demikian, limbah B3 akan terkelola dengan baik, efisien dan meningkatkan nilai ekonomi.

Pandemi covid-19 yang melanda dunia, termasuk juga Indonesia, mengharuskan orang menggunakan alat pelindung diri (masker) dan alat-alat kesehatan lainnya, yang memunculkan limbah masker, dengan jumlah limbahnya yang sangat besar. Penelitian membuktikan bahwa limbah masker banyak yang berakhir di muara-muara sungai sehingga menjadi masalah lingkungan baru.

Salah satu bahan utama yang terkandung dalam masker medis dan alat pelindung diri lainnya, termasuk penutup kepala dan baju hazmat, adalah bahan plastik polypropyelene atau polipropilena (PP), yang dengan mudah ditemukan kandungan virgin polimer dan virgin polypropyelene-nya melalui pembuktian dengan metode rekristaliasi.

Profesor Riset bidang Kimia, Agus Haryono menjelaskan, aplikasi polipropilena banyak digunakan dalam keseharian. Ia mencontohkan, untuk kemasan berbagai produk makanan, minuman sampai suku cadang otomotif. Polipropilena termasuk polimer yang bersifat bagus, berat molekul rata-rata cukup tinggi, bersifat nonpolar, isolasi frekuensi yang tinggi, ketahanan panas baik, ketahanan abrasi dan elastisitas yang cukup tinggi sehingga nyaman dipakai sebagai APD. Polipropilena termasuk material yang memiliki kekuatan mekanis yang tidak cepat rusak, kuat terhadap bahan-bahan kimia secara umum.

Akan sangat menarik apabila bahan-bahan tersebut bisa didaur ulang dengan berbagai cara, seperti metode rekristalisasi atau metode komposit yang mencampurkannya dengan biomassa lain, untuk menghasilkan produk yang bernilai ekonomi, sehingga terjadilah sirkular ekonomi yang dihasilkan dari limbah medis yang bisa dimanfaatkan.

Pada tahap awal, dilakukan sterilisasi limbah masker medis yang berasal dari rumah tangga dan fasilitas layanan kesehatan, kemudian dilajutkan dengan rekristalisasi yang menghasilkan polipropilena murni, dari bijih polipropilena yang dihasilkan berpotensi menghasilkan  produk yang bernilai ekonomi, sehingga terbentuk konsep sirkuler ekonomi dari limbah masker dari berbagai rumah tangga dan fasyankes.

Menurut Agus yang juga sebagai Deputi Fasilitasi Riset dan Inovasi BRIN tersebut, metode rekristalisasi mampu mengembalikan polipropilena dari masker medis. Rekristalisasi berhasil mencapai kemurnian tinggi menggunakan anti pelarut etanolbahkan sampai rendemen lebih dari 96 %. Selanjutnya, hasil FTIR anti pelarut etanol mampu memurnikan dengan optimal, terlihat dari keberadaan hampir keseluruhan gugus fungsi polipropilena terlihat.

Dari hasil analisis dengan FTIR dan XRD, didapatkan bahwa polipropilena ini murni, dengan struktur berbentuk kristalin, dan dengan hasil evaluasi ekonomi yang dilakukan bersama tim nya, didapatkan bahwa proses rekristalisasi ini berpotensi untuk di up-scalling menjadi proses yang mempunyai nilai ekonomi, untuk mendapatkan sirkular ekonomi.

“Dengan perhitungan optimis melalui analisa keekonomian, berharap akan muncul penyandang dana, sehingga pengolahan limbah medis terealisasi dan masalah limbahnya juga teratasi, karena bisa dimanfaatkan ulang dan aplikasinya sangat luas,” jelas Agus dalam webinar bertema  “Sirkular Ekonomi dan Kebijakan Pengolahan Limbah Medis, Selasa (24/05).

“Walaupun pandemi covid-19 sudah berakhir dan diperlakukan sebagai endemi, namun kita yakin tantangan pasokan bahan limbah medis untuk memenuhi kapasitas produksi bisa diatasi, dengan kerja sama dengan berbagai fasilitas layanan kesehatan dari seluruh Indonesia,”  tutur Agus di akhir penjelasannya.

Sebagai informasi, riset rekristalisasi diinisiasi oleh almarhum peneliti Sunit Hendrana, yang didanai oleh Pemerintah Australia melalui Skema Hibah Alumni (Alumni Grant Scheme), yang diadministrasikan oleh Australia Awards in Indonesia tahun 2021. Kemudian kegiatan ini dilanjutkan oleh Agus Haryono. Agus bersama timnya melakukan penelitian rekristalisasi limbah medis dan menggali potensi ekonomi yang menyertainya. (esw,jp,ls,mfn/ed:adl, drs)

tautan:

https://www.brin.go.id/news/112929/mencari-solusi-sirkular-ekonomi-untuk-limbah-medis

Categories
Nanoteknologi & Material Riset & Inovasi

Pakar Polimer Bahas Tata Kelola Daur Ulang Limbah APD di Indonesia

Tangerang Selatan – Humas BRIN. Alat pelindung diri (APD) merupakan perlengkapan yang berfungsi melindungi pengguna dari infeksi bakteri atau virus. Jenis APD yang dipakai oleh tenaga medis ini tidak hanya berupa pakaian saja, tetapi juga ada pelindung bagian kepala, mata, telinga, dan lainnya. Di dalam penggunaannya, APD bisa bersifat multi use, multi years, sehingga penggunanya tidak hanya sekali, tetapi bisa berulang kali.

Namun, yang menjadi masalah pada APD yakni ada bagian pakaian pelindung ini yang hanya dapat digunakan sekali pakai. Terutama pada masa Covid 19 lalu, banyak APD yang penggunaannya hanya sekali pakai, mengingat masalah toksisitas dan lainnya. Sehingga limbah medis yang berbahan baku polimer ini turut berdampak pada lingkungan.

Guna membahas pengelolaan limbah medis tersebut, Pusat Riset Teknologi Polimer – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerja sama dengan Australia Global Alumni menggelar Webinar Series, ‘Teknologi Pengolahan Limbah Medis’, Rabu (15/03).

Kepala Pusat Riset Kimia Maju, Yenny Meliana mengatakan, melalui webinar ini, para periset menyampaikan hasil penelitian tentang teknologi pengolahan limbah medis dan juga metode-metode lain, yang mungkin dapat melakukannya sebagai alternatif.

“Saya harapkan para peserta baik peneliti, rumah sakit, akademisi, mahasiswa, pelaku industri, dan masyarakat umum dapat berinteraksi dengan para narasumber. Kemudian membuahkan hasil yang berpotensi memunculkan ide-ide baru untuk penelitian lebih lanjut khususnya teknologi limbah medis yang berkelanjutan berbasis daur ulang,” ujar Yenny pada sambutannya mewakili Kepala Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM).

Sebagai pembicara pada webinar tersebut, Chalid dari Departemen Teknik Metalurgi dan Material Universitas Indonesia mengatakan APD itu tidak hanya berbasis polipropilena, tetapi juga ada dari polietilen tereftalat (PET) dan seterusnya. Hanya mungkin di Indonesia, lebih banyak bahan baku APD yang digunakan adalah polipropilena (PP).

Di dalam pengembangan teknologi eko-plastik, ia mengungkapkan bahwa harus mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan budaya. “Yang tidak kalah penting adalah teknologi di dalam dunia polimer atau plastik demikian pesat, sehingga dapat membangun kesadaran stakeholder maupun semua pihak terhadap tata kelola APD,” ujarnya.

Menurutnya, polipropilena merupakan salah satu jenis polimer. Tetapi banyak orang memahami tentang plastik dalam perspektif yang kurang tepat.

“Plastik dalam konteks bagian dari polimer, merupakan suatu produk berkelanjutan (sustainable) yang terus menerus dapat dimanfaatkan, dan jika mengelola dengan baik maka aspek lingkungannya tidak menjadi sebuah isu yang hingar bingar pada saat ini,” kata Chalid.

Chalid berpendapat, mendesain sebuah produk adalah mendesain bahan baku, sementara polimer itu agak unik karena ada kandungan aditif, baik yang berorientasi fungsional maupun estetika.

Selain itu, polimer harus memenuhi kaedah dari spesifikasi produk, baik sifatnya primer/ fungsionalnya maupun sekunder/estetikanya, kemudian harus mampu diproses. “Setelah jadi, oleh industri hilir dijadikan sebagai produk siap pakai, semisal masker, pakaian pelindung, dan setelah orang pakai, maka akan menjadi sampah/limbah,” ungkapnya.

“Dari situ ada industri yang mengelola dari sampah/limbah tadi yaitu industri daur ulang, untuk diolah menjadi bahan jadi atau juga bisa diolah lagi menjadi monomernya, atau bisa diolah menjadi polimernya, dengan pemisahan separasi dengan additives-nya dengan teknik kristalisasi,” sambungnya.

“Ada juga pendekatan-pendekatan lain semisal dari APD yang telah disterilisasi kemudian diproses, di-convert dan seterusnya, diolah lagi menjadi bijih plastik, yang kemudian bijih plastik bisa diolah menjadi berbagai jenis produk,” cakapnya.

Lebih lanjut, Chalid mengatakan, seorang teknokrat atau pun seorang yang bergelut dalam dunia ilmiah, polimer tidak hanya berbasis bisa menjadi produk ini produk itu, tetapi juga harus memperhatikan aspek-aspek makro yang lainnya, seperti aspek ekonomi, aspek kesehatan, dan aspek-aspek yang lain.

“Polimer/plastik merupakan sebuah siklus yang harus mendesain menjadi sebuah produk yang sama atau menjadi produk turunan lain. Kemudian, di situlah yang harus membangun dalam masyarakat kita, membangun cara pandang dari dunia ekonomi ke sirkular ekonomi dalam satu sistem yang harus sustainable,” terang lulusan strata-1 Kimia Universitas Indonesia.

“Kalau kita melihat sistem sirkular saja, tanpa bersama aspek ekonomi, maka stakeholder yang terlibat itu kurang tersimulasi untuk melakukannya, karena di situ tidak ada kaitan untuk ekonomi. Kalau kita mampu untuk menjadikan sirkular yang berbasis ekonomi, maka ini merupakan suatu daya dorong untuk stabilitas pengelolaan sampah ke depan,” tambahnya.

Chalid menjelaskan bahwa sampah plastik bisa didaur ulang. Dari jenis plastik diantaranya rubber (karet), termoplastik, dan termoset. “Letak perbedaan dari jenis rubber, thermoplast, dan thermoset adalah dari sisi konfigurasi rantai molekulnya,” sebutnya.

Dirinya menjabarkan termoplastik tidak memiliki punggung silang satu sama lain. “Maka pada saat ia dipanaskan, rantai molekulnya mampu bergerak bebas, kemudian memberikan ruang kosong sehingga rantai molekul mampu bergerak bebas, jadi dia mampu dibentuk ulang,” ulas Chalid.

Namun untuk model rubber dan termoset memiliki punggung silang. “Sehingga jenis rubber maupun thermoset dapat didaur ulang, namun tidak mampu dibentuk ulang,” tambahnya.

“Jadi tidak atau semua sampah plastik seperti karet, thermoset, thermoplast akan mampu didaur ulang. Tergantung jenis daur ulangnya apa,” jelas lulusan lulusan strata-2 dan strata-3 Polymer Polymer Engineering serta Plymer Product Technology Netherlands.

Menurutnya, tipe daur ulang terbagi empat jenis, yaitu Pendaur-ulangan Primer, Pendaur-ulangan Sekunder, Pendaur-ulangan Tersier, dan Recovery Energi/Pendaur-ulangan Kuartener.

“Jadi tidak ada kategori kita akan menyerah atau bermusuhan dengan plastik. Pada dasarnya bukan masalah pada plastik, tetapi tata kelolanya. Bagaimana tata kelola itu bisa sampai kepada masyarakat. Maka edukasi maupun program uji menjadi sangat penting, untuk menunjang bagaimana masyarakat Indonesia dalam mendaur ulang,” tuturnya.

Chalid menyampaikan, tidak akan bisa berdiri sendiri bagi seorang teknokrat atau pun  seorang bagian dari iptek, kalau tidak memperhatikan aspek makronya. Maka, di Eropa bahkan di Indonesia melalui KLHK, telah mengembangkan Extended Producer Responsibility (EPR).

“EPR ini bertujuan agar produsen ada tanggung jawab baru, bagaimana produk yang telah menyebar di pasar itu bisa di-withdraw kembali dalam sebuah sistem produk, sehingga tumpukan sampah menjadi lebih menurun,” terangnya.

Chalid menyatakan adanya produk polimer/plastik adalah anugerah Tuhan, yang bukan sesuatu hal yang buruk dan sia-sia. Oleh karena itu, perlu kolaborasi dari para stakeholder untuk mengelolanya dengan baik.

“Selama ini dengan masyarakat kami sudah membangun awareness dengan berbagai kajian teknologi. Tetapi masih perlu sinergitas dan harmoni kebijakan yang berkaitan dengan multi-stakeholder,” ungkap Chalid.

“Selain itu, kita harus memahami peta supply berbasis data base, kira-kira seperti apa, baru kita membangun ekosistemnya yang bersama dengan inovasi, serta membangun sustainability,” pungkas Associate Professor Departemen Metalurgi dan Material UI.(hrd/ed:adl)

Categories
Nanoteknologi & Material Riset & Inovasi

Teknologi Rekristalisasi, Solusi Limbah Medis

Tangerang Selatan – Humas BRIN. Pada masa pandemi, kebutuhan Alat Pelindung Diri (APD) semakin meningkat dan berdampak pada melonjaknya limbah APD. Peningkatan limbah medis APD ini menimbulkan isu baru pada lingkungan. Asia Development Bank (ADB) memprediksi Jakarta dapat menghasilkan tambahan 12.720 ton limbah medis berupa sarung tangan, baju APD, masker, dan kantong infus selama 60 hari pada masa pandemi.

Penanganan limbah medis saat ini masih berbasis insinerasi. Namun, cara ini akan meningkatkan produksi abu, gas, serta ultrafine particles (partikel skala nano) dari sisa pembakaran limbah. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas udara dan ozon. Beberapa limbah APD medis dapat didaur ulang karena berbasis polimer termoplastik seperti polipropilen (PP) dan polietilen (PE). APD jenis ini diantaranya adalah masker dan kantong infus.

Beberapa metode dapat dilakukan untuk daur ulang limbah medis ini. Metode yang dikembangkan dikenal dengan metode rekristalisasi untuk masker medis. Untuk teknologi pengelolaan masker medis ini, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerja sama dengan Alumni Grant Scheme (AGS), Austalia Awards in Indonesia menyelenggarakan webinar series dengan tema “Teknologi Pengolahan Limbah Medis”, secara daring pada Rabu (15/03).

Kepala Pusat Riset Kimia Maju (PRKM) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Yenny Meliana menyampaikan, kegiatan pengolahan limbah medis dengan kristalisasi ini, sebelumnya diinisiasi oleh salah satu periset di Pusat Riset Kimia Maju yaitu Sunit Hendara (almarhum) sebagai ahli polimerisasi. “Riset ini dilanjutkan oleh periset muda dan terus dikembangkan sampai saat ini, harapannya riset ini dapat berguna untuk masyarakat secara umum,” jelasnya.

Lebih lanjut Yenny menerangkan, PRKM terdiri dari beberapa kelompok riset, salah satunya yang menangani pengolahan limbah medis. “Tahun 2019 awal pandemi kemudian 2020 virus covid ini mulai mendunia, sementara di Indonesia limbah medis terus meningkat dan diperlukan pengolahan yang efektif,” katanya.

Menurutnya, terdapat beberapa jenis limbah medis. “Ada limbah bahan tajam seperti jarum suntik, limbah farmasi dari obat dan vaksin kadaluarsa, limbah patologi dari jaringan tubuh,  limbah kimia seperti pelarut laboratorium dan disinfektan, limbah radioaktif, limbah infeksius yang terkontaminasi cairan tubuh manusia, serta limbah non-klinik yang tidak berpotensi bahaya biologi, kimia, dan radioaktif,” urai Yenny.

“Dalam pengolahan limbah medis dapat dilakukan dengan beberapa proses seperti proses termal, proses kimia, proses iradiasi dan proses lainnya, sementara dalam metode kimia kelebihannya dapat mengurangi volume, efisiensi waktu, dan menghilangkan bau limbah,” ungkapnya.

Metode Rekristalisasi untuk Limbah Masker Medis

Peneliti bidang polimer Joddy Arya Laksmono menjelaskan, hasil riset dan data empiris yang telah dihasilkan, sebagai validasi bahwa metode rekristalisasi membuat polimer yang ada di limbah medis bisa diperoleh.

“Ada suatu potensi dalam proses daur ulang dari limbah medis, bahwa kita bisa memperoleh dan mengurangi beban lingkungan dari limbah medis, seperti masker. Kemudian mengenai aspek ekonomi sirkular akan kami bahas pada webinar berikutnya,” ucapnya.

Joddy mengungkapkan bahwa limbah di Indonesia jumlah limbah masker sejak 2020 hingga April 2021, telah mencapai 21 ton. Limbah ini menimbulkan masalah bagi lingkungan dan kesehatan. Oleh karena itu diperlukan penanggulangan berupa daur ulang limbah masker.

“Dengan adanya pandemi 2020-2022, ternyata meningkatkan limbah medis. Penggunaan masker medis menjadi penting dalam kebutuhan sehari-hari. Waktu penggunaannya juga terhitung sering berganti, sehingga ini meningkatkan limbah medis,” terangnya.

“Dengan menggunakan metode rekristalisasi dapat menghasilkan polimer penyusun bahan masker. Metode ini merupakan salah satu alternatif yang kami pilih karena memiliki efisiensi. Walaupun metode ini lebih banyak menggunakan pelarut organik kimia, baik polar maupun non polar. Namun dengan teknologi, pelarut tersebut bisa di-recovery, sehingga pelarut organik yang digunakan menjadi kecil dan untuk segi lingkungan aman, tidak ada yang dibuang ke lingkungan,” jelasnya

Joddy dan tim berasumsi dengan metode rekristalisasi memiliki keuntungan. “Dari proses ini akan mendapatkan polimer polipropilen (PP) murni dan tidak terjadi terdeformasi akibat proses termomekanik,” ulasnya.

Kemudian Joddy menuturkan tahapan metode rekristalisasi yang dilakukan. “Limbah dengan rekristalisasi pertama dapat dilakukan pencacahan sampel masker, kemudian pelarutan dengan menggunakan toluene dan xylene, rekristalisasi dengan metanol, penyaringan vacuum, dan terakhir pengeringan,” kata Joddy.

Tahapan yang juga penting dalam riset adalah solvent recovery, untuk xylene dan metanol. “Kami berupaya mengoptimalkan agar bahan pelarut kimia yang sifatnya berbahaya ini tetap aman, karena jumlah pelarut ini banyak, dan bisa digunakan dalam tahapan berikutnya,” terangnya.

Selain itu, berikutnya yang tak kalah penting adalah proses dekolorisasi. “Dalam produk masker terdapat warna yang ditambahkan. Kami menggunakan metode adsorpsi dengan karbon aktif untuk menyerap warna. Setelah kami coba dengan berbagai variasi konsentrasi, akan menghasilkan polipropilen yang hampir mirip dengan warna originnya,” pungkas Joddy. (ls, adl)