Teknologi Rekristalisasi, Solusi Limbah Medis

Tangerang Selatan – Humas BRIN. Pada masa pandemi, kebutuhan Alat Pelindung Diri (APD) semakin meningkat dan berdampak pada melonjaknya limbah APD. Peningkatan limbah medis APD ini menimbulkan isu baru pada lingkungan. Asia Development Bank (ADB) memprediksi Jakarta dapat menghasilkan tambahan 12.720 ton limbah medis berupa sarung tangan, baju APD, masker, dan kantong infus selama 60 hari pada masa pandemi.

Penanganan limbah medis saat ini masih berbasis insinerasi. Namun, cara ini akan meningkatkan produksi abu, gas, serta ultrafine particles (partikel skala nano) dari sisa pembakaran limbah. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas udara dan ozon. Beberapa limbah APD medis dapat didaur ulang karena berbasis polimer termoplastik seperti polipropilen (PP) dan polietilen (PE). APD jenis ini diantaranya adalah masker dan kantong infus.

Beberapa metode dapat dilakukan untuk daur ulang limbah medis ini. Metode yang dikembangkan dikenal dengan metode rekristalisasi untuk masker medis. Untuk teknologi pengelolaan masker medis ini, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerja sama dengan Alumni Grant Scheme (AGS), Austalia Awards in Indonesia menyelenggarakan webinar series dengan tema “Teknologi Pengolahan Limbah Medis”, secara daring pada Rabu (15/03).

Kepala Pusat Riset Kimia Maju (PRKM) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Yenny Meliana menyampaikan, kegiatan pengolahan limbah medis dengan kristalisasi ini, sebelumnya diinisiasi oleh salah satu periset di Pusat Riset Kimia Maju yaitu Sunit Hendara (almarhum) sebagai ahli polimerisasi. “Riset ini dilanjutkan oleh periset muda dan terus dikembangkan sampai saat ini, harapannya riset ini dapat berguna untuk masyarakat secara umum,” jelasnya.

Lebih lanjut Yenny menerangkan, PRKM terdiri dari beberapa kelompok riset, salah satunya yang menangani pengolahan limbah medis. “Tahun 2019 awal pandemi kemudian 2020 virus covid ini mulai mendunia, sementara di Indonesia limbah medis terus meningkat dan diperlukan pengolahan yang efektif,” katanya.

Menurutnya, terdapat beberapa jenis limbah medis. “Ada limbah bahan tajam seperti jarum suntik, limbah farmasi dari obat dan vaksin kadaluarsa, limbah patologi dari jaringan tubuh,  limbah kimia seperti pelarut laboratorium dan disinfektan, limbah radioaktif, limbah infeksius yang terkontaminasi cairan tubuh manusia, serta limbah non-klinik yang tidak berpotensi bahaya biologi, kimia, dan radioaktif,” urai Yenny.

“Dalam pengolahan limbah medis dapat dilakukan dengan beberapa proses seperti proses termal, proses kimia, proses iradiasi dan proses lainnya, sementara dalam metode kimia kelebihannya dapat mengurangi volume, efisiensi waktu, dan menghilangkan bau limbah,” ungkapnya.

Metode Rekristalisasi untuk Limbah Masker Medis

Peneliti bidang polimer Joddy Arya Laksmono menjelaskan, hasil riset dan data empiris yang telah dihasilkan, sebagai validasi bahwa metode rekristalisasi membuat polimer yang ada di limbah medis bisa diperoleh.

“Ada suatu potensi dalam proses daur ulang dari limbah medis, bahwa kita bisa memperoleh dan mengurangi beban lingkungan dari limbah medis, seperti masker. Kemudian mengenai aspek ekonomi sirkular akan kami bahas pada webinar berikutnya,” ucapnya.

Joddy mengungkapkan bahwa limbah di Indonesia jumlah limbah masker sejak 2020 hingga April 2021, telah mencapai 21 ton. Limbah ini menimbulkan masalah bagi lingkungan dan kesehatan. Oleh karena itu diperlukan penanggulangan berupa daur ulang limbah masker.

“Dengan adanya pandemi 2020-2022, ternyata meningkatkan limbah medis. Penggunaan masker medis menjadi penting dalam kebutuhan sehari-hari. Waktu penggunaannya juga terhitung sering berganti, sehingga ini meningkatkan limbah medis,” terangnya.

“Dengan menggunakan metode rekristalisasi dapat menghasilkan polimer penyusun bahan masker. Metode ini merupakan salah satu alternatif yang kami pilih karena memiliki efisiensi. Walaupun metode ini lebih banyak menggunakan pelarut organik kimia, baik polar maupun non polar. Namun dengan teknologi, pelarut tersebut bisa di-recovery, sehingga pelarut organik yang digunakan menjadi kecil dan untuk segi lingkungan aman, tidak ada yang dibuang ke lingkungan,” jelasnya

Joddy dan tim berasumsi dengan metode rekristalisasi memiliki keuntungan. “Dari proses ini akan mendapatkan polimer polipropilen (PP) murni dan tidak terjadi terdeformasi akibat proses termomekanik,” ulasnya.

Kemudian Joddy menuturkan tahapan metode rekristalisasi yang dilakukan. “Limbah dengan rekristalisasi pertama dapat dilakukan pencacahan sampel masker, kemudian pelarutan dengan menggunakan toluene dan xylene, rekristalisasi dengan metanol, penyaringan vacuum, dan terakhir pengeringan,” kata Joddy.

Tahapan yang juga penting dalam riset adalah solvent recovery, untuk xylene dan metanol. “Kami berupaya mengoptimalkan agar bahan pelarut kimia yang sifatnya berbahaya ini tetap aman, karena jumlah pelarut ini banyak, dan bisa digunakan dalam tahapan berikutnya,” terangnya.

Selain itu, berikutnya yang tak kalah penting adalah proses dekolorisasi. “Dalam produk masker terdapat warna yang ditambahkan. Kami menggunakan metode adsorpsi dengan karbon aktif untuk menyerap warna. Setelah kami coba dengan berbagai variasi konsentrasi, akan menghasilkan polipropilen yang hampir mirip dengan warna originnya,” pungkas Joddy. (ls, adl)