Tangerang Selatan – Humas BRIN. Potensi pemanfaatan nanoteknologi terus berkembang melalui riset sains dan rekayasa. Melalui pemanfaatan nanoteknologi, fungsi atau nilai tambah dari suatu bahan atau material dapat meningkat. Nanoteknologi dapat diaplikasikan dalam berbagai produk, seperti kesehatan, energi, dan elektronik.
Guna meningkatkan kepakaran bidang nanoteknologi khususnya nanomaterial, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM) dengan Dewan Inovasi Nanoteknologi Iran atau Iran Nanotechnology Initiative Council (INIC), menggelar lokakarya dengan tema “Iran-Indonesia Joint Workshop on Nanomaterials & Applications”, Kamis (23/02).
Kepala ORNM BRIN Ratno Nuryadi menyampaikan, kegiatan workshop ini menjadi forum untuk membahas topik-topik riset terkait nanoteknologi. “Dengan workshop ini kita dapat saling mengenal apa yang kita lakukan sekarang, dan ini juga dapat diperluas untuk membahas kemungkinan kerja sama antara peneliti Iran dan BRIN Indonesia,” ungkapnya.
“Kami berharap dalam workshop ini, kami juga dapat mendiskusikan topik penelitian match-making yang dapat dikolaborasikan dan bermanfaat bagi kami di masa depan. Saya pikir kita bisa mulai dari pemikiran kecil, misalnya kolaborasi hanya dalam 3-4 topik penelitian tetapi ini akan menjadi kolaborasi penelitian yang nyata,” imbuh Ratno.
Kepala Pusat Riset Material Maju BRIN, Wahyu Bambang Widayatno menyampaikan teknologi nano saat ini berkembang dengan cepat dan dapat digunakan dalam berbagai aplikasi sains dan teknik. “Teknologi nano diharapkan dapat menjadi solusi dari berbagai permasalahan yang dihadapi manusia di masa kini dan masa depan. Salah satu bidang aplikasi dari teknologi nano adalah di bidang energi dan penyimpanan energi,” ucap Wahyu.
Lebih lanjut Wahyu menyampaikan beberapa ruang lingkup riset yang sedang dilakukan di PRMM antara lain, material fungsional dan komposit cerdas, konversi energi dan penyimpanan material, material struktur dan industri, teknologi permukaan dan pelapisan, material magnetik dan spintronik, material superkonduktor, dan material biokompatibel.
Perwakilan dari NCL Lab, Sharif University Technology Iran Nima Taghvinia memaparkan topik “Inorganic Nanoparticle Hole Transporting Materials for Perovskite Solar Cells, dengan kekhususan fabrikasi dan peningkatan sel surya perovskite.
Menurut Nima, hal penting terkait nanoteknologi yakni lapisan nanopartikel dapat dioptimalkan sebagai material hole-transporting yang ideal untuk sel surya perovskite. “Hole-transporting nanopartikel anorganik ditambah elektroda karbon membentuk elektroda pengumpul lubang yang stabil untuk sel surya perovskite, namun diperlukan lebih banyak kontrol pada sintesis dan pelapisan antar muka,” jelasnya.
Masih dengan topik nanomaterial untuk energi, Mir F. Mousavi dari Department of Chemistry, Tarbiat Modares University, Tehran-Iran menyampaikan topik “Nanostructured Materials for Energy Conversion and Storage”. Dalam paparannya Mousavi menyampaikan bahwa timnya telah menyiapkan beberapa bahan aktif elektroda yang menunjukkan kinerja penyimpanan energi yang unggul.
Berikutnya, Alimorad Rashidi dari Research Institute of Petroleum Industry menyampaikan tentang Carbon Based Nanomaterials for Energy and Enviromental Application.
“Keuntungan dari bahan nanokarbon untuk aplikasi energi dan lingkungan yaitu struktur pori yang luas, stabil secara kimiawi, keragaman bentuk struktur, kemampuan modifikasi dan penyesuaian porositas, ketersediaan berbagai metode preparasi, ketersediaan berbagai prekursor untuk penyiapan bahan karbon, serta berbagai aplikasi misalnya penyimpanan gas dan hidrokarbon,” urai Rashidi.
Dalam acara yang sama, Alireza Moshlegh dari Departemen Fisika, Universitas Teknologi Syarif, Iran memaparkan terkait nano-fotokatalisis dalam pembangkit energi bersih dan remediasi lingkungan. Lebih lanjut, Alireza menjelaskan prinsip-prinsip katalisis, pembuatan hidrogen melalui pemisahan air fotoelektrokimia, fotodegradasi pewarna/obat dan fotokatalisis simultan. “Energi surya sangat penting dan harus ditekankan karena ini merupakan energi bersih,” sebutnya.
Ika Kartika Kepala Pusat Penelitian Metalurgi BRIN menampilkan materi “Nanomaterial untuk Aplikasi Kesehatan”. Dalam paparannya Ika menyampaikan bahwa PRM memilik empat Kelompok Riset (KR) yakni KR Baja dan Paduan Khusus, KR Teknologi Korosi dan Mitigasi, KR Metalurgi Ekstraksi, serta KR Paduan Non-ferro dan Komposit Matriks Logam.
“Kegiatan yang sedang dilakukan PRM saat ini Pembuatan Nanopartikel ZnO dengan Penambahan Cu dan Sn untuk Aplikasi Fotokatalitik dan Anti bakteri, Pengembangan Porous Titanium Untuk Aplikasi Ortopedi, dan Paduan Magnesium dan Aplikasinya sebagai Bahan Implan Bioresorbable,” ulas Ika.
Sementara Yenny Meliana, Kepala Pusat Riset Kimia Maju menjelaskan bahwa pengembangan riset bahan nanokatalis di Pusat Riset Kimia Maju, BRIN saat ini berfokus pada penelitian dan pengembangan kimia anorganik terkait sintesis, modifikasi dan desain senyawa kimia anorganik untuk kemo dan biosensor, penelitian yang berkaitan dengan sistesis, modifikasi dan pengembangan katalisis dan fotokatalisis, chemurgy dan teknologi proses kimia.
“Tujuan penelitian ini terutama yang memiliki manfaat dan potensi dan mencari solusi ilmiah terhadap permasalahan nasional yang sangat sering berkaitan dengan bidang kimia, misalnya dalam peristiwa atau fenomena yang menyangkut bahan kimia berbahaya dan berpotensi berbahaya, yang memerlukan identifikasi senyawa kimia atau jika terjadi kesalahan persepsi publik terhadap suatu produk pada pasar,” ungkap Yenny. (esw,jp,ls/ed:adl)
Tangerang Selatan – Humas BRIN. Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kembali menyelenggarakan forum pertemuan ilmiah riset ORNAMAT, dalam upaya mendukung penguatan iklim riset, akumulasi pengetahuan, dan sarana membuka peluang kolaborasi bagi mitra, baik internal maupun eksternal BRIN, secara daring, pada Selasa (24/01).
Kepala ORNM BRIN yang diwakili oleh Kepala Pusat Riset Teknologi Polimer, Joddy Arya Laksmono menyampaikan bahwa webinar kali ini menghadirkan dua peneliti BRIN, yang keduanya akan menjelaskan tentang perkembangan risetnya terkait pemanfaatan sumber daya logam nikel di Indonesia dengan perspektif masing-masing.
Joddy menyampaikan bahwa peneliti dari Pusat Riset (PR) Metalurgi BRIN, Moch Syaiful Anwar, menampilkan materi ‘Karakteristik Deformasi Creep Baja Tahan Panas Austenitik untuk Pipa Boiler PLTU Ultra Super Kritis’, dan Sudiyarmanto dari PR Kimia Maju membawakan materi ‘Sintesis dan Karakterisasi Film Tipis Berbasis Nikel yang Dipreparasi Menggunakan Teknik Deposisi Fluida Superkritik’.
“Jadi sebagaimana kita ketahui bahwa di setiap PLTU terdapat boiler sebagai sumber penghasilan uap panas untuk menggerakan turbin, dimana kondisi uap panas yang dihasilkan tergantung pada kebutuhan tenaga untuk menggerakan turbin,” ucapnya.
“Bisa jadi uap panas itu berada pada kondisi ultra super kritis secara termodinamika, sehingga diperlukan suatu material khusus yang bisa menjaga agar PLTU itu bisa terus beroperasi, dengan baja tahan panas austenitik,” sambungnya.
Kemudian Joddy menerangkan metode deposisi menggunakan fluida pada kondisi super kritis, menjadi perhatian di kalangan periset, khususnya di dalam pengembangan bahan baja padat. Jadi nikel merupakan unsur kimia metalik, yang termasuk ke dalam logam transisi,” jelas Joddy.
Ditambahkan olehnya, nikel memiliki sifat keras dan ulet, memiliki tujuan untuk meningkatkan kemampuan khas untuk berbagai aplikasi seperti katalis. “Tentunya didukung oleh karakterisasi yang dapat menjelaskan fenomena pembentukan film dan aplikasinya, ini akan menjadi sangat menarik manakala dalam pembentukan lapisan film tipisnya, menggunakan metode fluida,” tambah Joddy.
Dalam kesempatan tersebut, peneliti dari Kelompok Riset Baja, Pusat Riset Metalurgi BRIN, Moch Syaiful Anwar, menjelaskan bahwa boiler Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dapat dikategorikan menjadi 4, yaitu PLTU Sub Kritis (dibawah titik kritis air 540°C dan 17-22 MPa, efisiensi operasi kurang dari 38%), kemudian PLTU Superkritis/SC ( diatas titik kritis air 600/615°C dan 25 MPa, efisiensi operasi kurang dari 42%) selanjutnya PLTU Ultra-Superkritis/ USC (diatas titik kritis air 620°C dan 30 MPa, efisiensi operasi kurang dari 42-46 %) serta PLTU Advance Ultra-Superkritis /A-USC (diatas titik kritis air 700-760°C dan 35 MPa, efisiensi operasi lebih dari 50 %).
“Di Indonesia, saat ini melalui PT PLN telah mengoperasikan PLTU Jawa 7 menggunakan teknologi boiler ultra super kritis (USC), yang diyakini dapat meningkatkan efisiensi pembangkit hingga 15 % lebih tinggi dibandingkan dengan no-USC serta teknologi USC membuat emisi yang dihasilkan lebih ramah lingkungan,” ungkapnya.
Selain memberikan pemahaman tentang teknologi boiler USC, Syaiful meyampaikan potensi baja boiler mengalami deformasi creep akibat beban tetap dan panas yang tinggi. “Creep adalah deformasi plastis tergantung waktu pada beban atau tegangan konstan. Creep merupakan fenomena temperatur tinggi T > 0,4 Temperatur metric yang terjadi secara signifikan,” terangnya.
Dalam penelitiannya tentang creep, Syaiful menggunakan material pipa baja tahan panas 253 MA dengan diameter luar 60.33 mm, tebal 3.9 mm, panjang 200 mm, dengan nilai kekerasan awal 191 HV. Material baja tersebut kemudian dilakukan proses, antara lain, preparasi, pembuatan spesimen, uji creep rupture, uji tarik, proses perlakuan panas, proses pendinginan, hingga pengukuran struktur butir mikro baja dengan alat karakterisasi.
Dari kesimpulan risetnya, uji creep rupture bertujuan untuk mengetahui ketahanan logam terhadap beban dan atau suhu tinggi yang konstan hingga logam tersebut terdeformasi. “Uji creep rupture yang dilakukan pada 700°C dengan beban 150 MPa menunjukkan hasil korelasi antara ukuran butir, sifat mekanik, dan waktu,” ulas Syaiful.
Riset Film Tipis Nikel dengan Fluida Superkritik
Kemudian peneliti dari Pusat Riset Kimia Maju BRIN, Sudiyarmanto, memaparkan bahwa fluida superkritik atau super critic fluid (SCF) merupakan suatu keadaan zat yang dibentuk pada kondisi di atas titik kritisnya yaitu di atas temperatur kritis (T) dan tekanan kritis (P). “Di sinilah dua fasa yang tadinya terpisah yaitu cairan dan gas, di fasa superkritik ini terlihat tidak ada pembedanya atau tidak ada pemisahnya,” ujarnya.
Menurutnya, SCF memiliki beberapa keunggulan. “Diantaranya mempunyai daya larut yang tinggi, mudah disesuaikan temperatur dan tekanan, sifat hybrid properties, bisa secara intensitas lebih mirip ke air dan secara difusitas lebih mirip ke gas, tegangan permukaan nol, dan dapat didaur ulang,” urainya.
Mengenai aplikasi SCF, sangat banyak digunakan di berbagai bidang diantaranya pangan dan farmasi, serta energi dan lingkungan. “Sekarang ini, untuk SCF banyak terbit paper, yaitu aplikasi SCF di bidang nano dan material, terutama yang berkaitan dengan surface chemistry atau kimia permukaan,” terangnya.
Dalam risetnya, Sudiyarmanto berfokus ke bidang film tipis (thin film), namun tidak menutup kemungkinan SCF bisa digunakan di bentuk-bentuk nanomaterial yang lainnya, seperti di nano partikel, kawat nano dan seterusnya.
Fluida yang digunakan oleh Sudiyarmanto berupa karbodioksida (CO2) yang memiliki banyak keunggulan. “Fluida CO2 paling banyak digunakan untuk SCF, yang mempunyai keunggulan dari setting temperatur (T) dan tekanan (P) mempunyai kondisi titik kritis ringan. Kemudian CO2 tidak beracun dan tidak mudah terbakar, CO2 juga bisa diartikan sebagai inert, dan sebagai kategori solvent yang ramah lingkungan,” kata peneliti Kelompok Riset Katalis.
Beberapa produk film lapis tipis berhasil disintesis dan dikarakterisasi oleh Sudiyarmanto dan tim melalui metode SCF berbasis nikel, menggunakan nikel (Ni), platinum (Pt), dan tembaga (Cu). Baik film tipis Ni-Pt alloy (paduan nikel dan platinum) dan Ni-Cu alloy (paduan nikel dan tembaga). (esw/jp/ls/hrd/adl)
Tangerang Selatan, Humas BRIN. Ni Luh Wulan Septiani, periset Pusat Riset Material Maju – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada Selasa (12/7) mempresentasikan penelitianya berjudul “Rekayasa Nanomaterial untuk Sensor Gas Berkinerja Tinggi”. Topik penelitian tersebut dipresentasikan pada webinar ORNAMAT seri #6 tahun 2022 di lingkungan Organisasi Riset Nano Teknologi dan Material BRIN
Ni Luh Wulan membagikan penelitian yang dilakukan dengan topik ‘Rekayasa Nanomaterial untuk Sensor Gas Berkinerja Tinggi’. Dalam penelitian ini, ia berfokus pada sensor gas sulfur dioksida (SO2).
Berangkat dari bahaya sulfur dioksida (SO2), bahwa sulfur dioksida (SO2) merupakan gas yang sangat berbahaya selain karbon monoksida, nitrogen dioksida, dan particulate mater khususnya PM 2.5. Gas yang tidak berwarna dan berbau tersebut dapat diemisikan oleh beberapa sektor dari industri, transportasi, dan aktifitas gunung berapi.
Gas SO2 ini jika terhirup oleh manusia dapat menyebabkan gangguan kesehatan terutama pada sistem pernafasan dan peredaran darah (sistem kardiovaskuler). “Jika kita menghirup gas SO2 dengan waktu yang sangat lama maka akan menyebabkan gangguan atau kerusakan sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler,” ucapnya.
“Untuk beberapa grup yang sangat berisiko, dari bahaya gas sulfur dioksida adalah orang tua, orang-orang dengan riwayat penyakit paru-paru, dan juga anak-anak,” ujar Wulan sapaan akrabnya.
Untuk memonitoring konsentrasi pada gas SO2 ini, Wulan dan tim mengembangkan sensor gas berbasis kemoresistif dengan memanfaatkan material aktif di mana beberapa propertis atau sifatnya akan berubah ketika berinteraksi dengan gas SO2 atau gas berbahaya lainnya.
“Sensor gas berbasis kemoresistif harus memiliki beberapa kriteria diantaranya respon tinggi, sensitivitas tinggi, selektivitas tinggi, waktu respon yang cepat, waktu pulih cepat, temperatur kerja rendah, stabil, dan waktu hidup panjang. Di sini penelitian yang kami lakukan adalah penelitian yang berbasis oksida logam,” kata periset Kelompok Riset Fungsional Dimensi Rendah.
Rekayasa Nanomaterial Sensor Gas
Untuk mendapatkan kriteria yang maksimal, Rekayasa Nanomaterial Sensor Gas diperlukan seperti rekayasa Morfologi, rekayasa permukaan dan rekayasa antar muka atau dengan pembuatan komposit. ”Dengan merekayasa morfologi kita dapat merekayasa porositas dan luas permukaannya sehingga situs-situs aktif menjadi lebih banyak, sehingga dapat berinteraksi dengan baik dan maksimal dengan gas-gas target,” terang Wulan.
“Kemudian dengan Rekayasa permukaan, maka oksida logam atau material lainnya didekorasi dengan material lain seperti logam mulia atau logam lainnya untuk mendapatkan beberapa efek yang dapat meningkatkan sensitifitas respon dan juga mempercepat reaksi permukaan,” lanjutnya.
“Lalu ada rekayasa komposit yang mirip dengan rekayasa antarmuka, jadi Ketika kita membuat komposit itu kita tidak akan lepas dari adanya antarmuka atau singgungan antara fasa material yang satu dengan fasa material yang lainnya. Sinergi dari kedua fasa ini dibutuhkan untuk mencapai kinerja atau performa yang relatif tinggi ,” tambah lulusan S3 Teknik Fisika ITB.
Sensor Gas SO2 Berbasis ZnO Multilayer
Penelitian petama yang telah dilakukan yaitu kami membuat struktur zink oxide Multilayer (ZnO Multilayer). Sebagai sensor gasnya sendiri, Dr.Wulan dan tim mencoba beberapa temperatur dari 200 hingga 4000C, dan respon ZnO multilayer terhadap SO2 ini sangat baik pada temperatur suhu 300 0C.
“Pada ZnO Sheet Layer yang pertama responnya relatif rendah yaitu di bawah 40%, kemudian ZnO Nanorods dengan dua lapisan atau double layer memiliki respon yaitu sekitar 70%. Jika ditingkatkan menjadi 3 lapisan maka respon akan mencapai 99,9% pada temperatur 3000C,” paparnya.
Pertama, Wulan dan tim melakukan studi mekanisme Sensor Gas SO2 Berbasis ZnO Multilayer yaitu di mana reaksi permukaan sangat bergantung pada kandungan oksigen di udara.
“Ketika udara di sekitarnya yang belum terpapar gas pada temperatur tertentu, maka oksigen dalam udara akan ter-adsorpsi, kemudian akan terionisasi dengan mengambil elektron pada permukaan ZnO, sehingga menciptakan adanya lapisan depresi. Lapisan depresi meningkatkan resistansi dari ZnO,” jelasnya.
Sensor Gas SO2 Berbasis ZnO Multilayer lebih baik dibandingkan dengan single layer, karena ketika ada multilayer, maka pembauran (diffusion path) semakin panjang sehingga udara dan SO2 dapat berpenetrasi lebih dalam karena situs aktif yang tersedia melimpah.
Kemudia ada singgungan-singgungan antar muka yang menimbulkan potensial barir yang memiliki kontribusi dan berubah ketika terpapar oleh gas target. Dan untuk SO2 sendiri ketika dia berinteraksi dengan ion oksigen dia akan menjadi sulfur trioksida (SO3) dan melepas kembali elektronnya keperrmukaan ZnO sehingga lapisan depresinya akan mengecil dan resistansinya akan turun.
Sensor Gas SO2 Berbasis ZnO Wool Ball-like
Kemudian yang kedua, Dr. Wulan dan tim merekayasa morfologi dari ZnO dengan bentuk menyerupai bola rajut atau wool ball. Dengan melakukan rekayasa dari ZnO dengan menggunakan metode hidrotermal dengan bantuan glycerol sebagai capping agent.
Ketika tanpa gliserol maka ZnO terbentuk seperti brokoli, dan ketika ada gliserol sebesar 4 mL maka ZnO mulai tumbuh plat-plat berukuran 2 µm yang bergabung untuk membentuk suatu bola.
Ketika gliserol ditambah sebesar 8 mL maka ZnO sudah terlihat cukup baik strukturnya, dan ketika ditambah lagi hingga 10 mL menghasilkan bola rajut yang sangat besar berukuran sekitar 5 mikrometer.
Untuk mekanismenya sendiri, ada dua hal yang penting yaitu propanol dan gliserol. Di mana gliserol merupakan capping agent yang menghambat pertumbuhan dari ZnO ke arah-arah tertentu. Sehingga pada dua jam pertama sudah terlihat adanya pembentukan wool ball, dan ketika diperlama partikel-partikel kecil akan bergabung dengan partikel-partikel dua dimensi (2D) dan pada delapan jam dia sudah relatif sempurna pembentukankannya.
“Untuk bentuk bolanya sendiri dipengaruhi oleh propanol dan juga tekanan dari segala arah pada proses hidrotermal dan untuk gliserolnya sendiri dia berkontribusi dalam pembentukan partikel 2D,” jelas Wulan.
Setelah pembentukan wool ball ini, dilakukan kalsinasi untuk menghilangkan zat-zat yang tidak dibutuhkan karena setelah proses hidrotermal produknya belum ZnO tetapi zinc glycerolate yaitu produk hasil reaksi antara zinc dengan glycerol. “Setelah dikalsinasi ternyata terlihat adanya permukaan yang kasar dan ketika diperbesar ternyata partikel-partikel 2D itu tersusun dari partikel-partikel kecil yaitu berbentuk segi enam (heksagonal) dengan ukuran sekitar 30 nanometer,” jelasnya.
“Ketika diuji sebagai sensor gas SO2, wool ball memiliki respon yang sangat tinggi pada temperatur 3500C, sedangkan pada temperatur suhu 3000C wool ball memiliki respon sebesar 70,” imbuhnya.
“Dan itu 35 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ZnO Multilayer. Di mana pada temperatur 3000C itu sekitar 99% atau hampir dua kali lipatnya. Sedangkan berbasis ZnO Wool Ball-like pada temperatur 3000C responnya adalah 70 kali lipat,” sambungnya.
Ketika diuji bagaimana selektifitasnya sebagai sensor gas SO2, Wulan dan tim mencoba dari beberapa gas antara lain metanol, toluen, heksan, xylena, CO, CO2, dan SO2.
“ZnO memiliki kecendrungan untuk menyukai SO2 dibanding gas yang lain, tetapi di sini memang masih relatif tinggi responnya terhadap CO dan CO2. Hal ini menunjukkan perlu modifikasi lebih lanjut untuk meningkatkan selektifitas dari ZnO dengan sturktur ini,” ulasnya.
Modifikasi ZnO Wool ball like dengan MWCNT
Wulan dan tim mencoba gabungkan ZnO dengan Multiwalled Carbon Nanotubes (MWCNT) dan ketika ditambah dengan MWCNT terjadi perubahan struktur. “Modifikasi ZnO Wool ball like dengan MWCNT merusak dari struktur bolanya sendiri dan di sini terlihat ada beberapa nanotube yang masuk dan penetrasi ke dalam bola,” kata Wulan.
Semakin banyak MWCNT yang ditambahkan ini, tentu akan semakin banyak juga MWCNT yang masuk ke dalam ZnO, dan terdapat beberapa partikel minirod ZnO yang tumbuh di atas permukaan MWCNT.
Ketika diuji sebagai sensor gas SO2 terlihat kurva respon terhadap temperatur, terjadi pergeseran temperatur optimal dari 350 ke 3000C, dan juga adanya peningkatan respon dari 70 ke 2210C.
“Ketika diuji selektifitasnya dia meningkat dengan sangat pesat ketika ada MWCNT. Kehadiran MWCNT ini tidak hanya menurunkan temperatur optimalnya, tetapi juga meningkatkan selektifitas dari ZnO itu sendiri,” ungkap Wulan.
Sensor Gas SO2 Berbasis ZnO Hollow Sphere
Kemudian yang ketiga, Wulan dan tim mengembangkan Sensor Gas SO2 Berbasis ZnO Hollow Sphere. Metode Hollow Sphere sama dengan metode Wool Ball-like yaitu menggunakan metode hidrotermal, tetapi tidak dengan bantuan gliserol, tetapi menggunakan antosianin sebagai soft template pembentukan ZnO.
Anthocyanin diperoleh dari proses ekstraksi beras hitam, lalu dilakukan variasi konsentrasi antosianin, sehingga terlihat ketika ditambahkan sebesar 0,0103 gram antosianin terbentuk bola dengan ruang kosong di dalamnya, dan ketika di tambah lebih jauh ternyata struktur yang dihasilkan mengalami kerusakan
“Di sini yang kami dapatkan adalah sebesar 0,01 gram antosianin yang merupakan konsentrasi atau jumlah antosianin paling optimal untuk mendapatkan hollow sphere,” terangnya.
Modifikasi ZnO Hollow sphere dengan MWCNT
Sebetulnya untuk ZnO hollow sphere sendiri ketika diuji hasilnya mirip dengan metode Wool Ball-like, namun pada temperatur 3500C bahwa temperatur utamanya memiliki respon yang relatif lebih rendah yaitu sekitar 75.
MWCNT dapat merusak struktur dari ZnO Hollow sphere karena penetrasi ke dalam dan membuat ZnO nya itu terbelah. Semakin banyak MWCNT ditambahkan, semakin rusak strukturnya dan di beberapa partikel bermigrasi ke permukaan MWCNT, sehingga tumbuh di atas MWCNT
Dengan penambahan MWCNT juga ternyata dapat menggeser temperatur optimal dari 350 ke 3000C dan di sini sekitar 150 responnya pada temperatur 3000C.
Menurutnya Wulan, untuk selektifitanya sendiri untuk ZnO Hollow sphere memang relatif buruk. Metode ZnO Hollow sphere lebih respon terhadap metanol dibandingkan dengan SO2 itu sendiri, tetapi ketika adanya MWCNT respon meningkat secara signifikan.
“CNT dapat meningkatkan selektifitas juga menurunkan temperatur kerja dan ZnO,” terang Wulan.
Mekanisme Sensor ZnO Hollow sphere dengan MWCNT
MWCNT merupakan material sensor juga, tetapi reaksi antara MWCNT dengan gas pada umumnya reaksi fisisorpsi dan interaksi fisis itu sangat lemah, sehingga responnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan ZnO.
Jika digabungkan, MWCNT yang memiliki temperatur kerja yang relatif lebih rendah karena konduktifitasnya lebih tinggi, dapat menurunkan temperature kerja ZnO.
Selain itu MWCNT ketika digabungkan dengan ZnO maka akan terjadi pn junction pada pada antar mukanya dan potensial barir pada antarmuka tersebut berkontribusi dengan sangat baik atau untuk mendeteksi gas SO2.
“Ketika ada gas berinteraksi pada antarmuka MWCNT-ZnO, maka potensial barir ini akan berubah dan menyebabkan adanya perubahan sifat elektronik atau perubahan resistansi dari sistem ZnO dan MWCNT,” urai Wulan.
“Tetapi konsentrasi antara CNT dan ZnO sangat perlu dipertimbangkan karena saat lebih banyak CNT dbandingkan dengan ZnO, maka CNT menjadi mendominasi sebagai sensor gas sehingga responnya menjadi lebih rendah walau pun temperatur kerjanya menjadi lebih rendah juga,” lanjutnya.
“Sinergi antara CNT dan ZnO, sangat ingin dicapai untuk mendapatkan sensor gas dengan temperatur kerja rendah tetapi memiliki respon yang relatif tinggi,” pungkasnya. (hrd/ ed. adl)