BRIN Bahas Buku Laboratorium Palestina Karya Jurnalis Investigasi Internasional

Jakarta – Humas BRIN. Konflik Israel-Palestina tidak hanya berkisar pada isu perebutan wilayah dan pelanggaran hak asasi manusia, namun juga menjadi mesin ekonomi-politis yang menggerakkan industri militer Israel. Hal tersebut menjadi topik yang dibahas dalam bedah buku “Laboratorium Palestina: Bisnis Senjata Israel yang Melanggengkan Neokolonialisme”  karya jurnalis investigasi internasional Antony Loewenstein, Kamis (20/11). Buku tersebut menyingkap bagaimana wilayah Palestina menjadi lokasi uji coba senjata dan teknologi pengawasan Israel sebelum dipasarkan secara global.

Kepala Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Athiqah Nur Alami, dalam sambutannya menyebut buku ini membuka sisi gelap ekonomi politik militer Israel. Menurut Athiqah, kajian seputar Palestina penting untuk membaca dinamika geopolitik dunia kontemporer yang turut ditentukan oleh kekuatan ekonomi dan teknologi pertahanan.

“Buku ini mengungkap titik pertemuan yang kompleks antara industri keamanan global, ekonomi politik, dan pengalaman hidup populasi di bawah pendudukan,” ujarnya.

Dalam pemaparannya, penulis Antony Loewenstein menjelaskan bahwa selama puluhan tahun wilayah Gaza dan Tepi Barat menjadi tempat eksperimen teknologi kontrol populasi Israel. “Israel telah membangun berbagai cara untuk melakukan itu. Di era modern, ini berarti pengawasan digital, drone pembunuh, dan perang berbantuan kecerdasan buatan, seperti yang digunakan di Gaza saat ini,” ungkapnya.

Ia mencontohkan perangkat mata-mata Pegasus, yang dikembangkan untuk menyusup ke ponsel tanpa diketahui pemiliknya, telah diuji pada masyarakat Palestina sebelum dipasarkan kepada berbagai negara. Meski diklaim sebagai alat pemberantasan terorisme, teknologi tersebut banyak digunakan untuk membungkam jurnalis, aktivis, dan oposisi politik di sejumlah negara.

Loewenstein menyebut Israel termasuk salah satu eksportir sistem persenjataan dan teknologi pengawasan terbesar di dunia. “Bisnis ini bukan hanya soal menjual senjata, tetapi juga alat diplomasi,” katanya.

Menurutnya, promosi senjata dan teknologi keamanan dilakukan pemerintah Israel dalam hubungan internasional demi mendapatkan dukungan politik, termasuk dari negara yang tengah mengalami kemunduran demokrasi. “Banyak rezim yang seharusnya bersolidaritas dengan Palestina justru membeli teknologi ini karena mereka takut pada rakyatnya sendiri,” ujarnya.

Ia juga menyinggung serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang dinilai memperlihatkan kegagalan sistem pertahanan Israel. Namun, kegagalan itu tidak menurunkan permintaan global. “Yang ditunjukkan justru: begini caranya Anda menghancurkan sebuah wilayah sepenuhnya,” tambahnya.

Peneliti Pusat Riset Politik BRIN, Nostalgiawan Wahyudhi, menilai buku ini menghadirkan perspektif baru bahwa Israel bukan hanya mengekspor senjata, tetapi juga gagasan politik. “Israel semakin dianggap sebagai model global oleh gerakan far-right di Eropa, Amerika Serikat, dan India,” terangnya.

Menurutnya, kelompok-kelompok tersebut menjadikan Israel sebagai contoh negara ethno-nationalist yang ingin mereka tiru negara dengan supremasi etnis tertentu dan anti-multikulturalisme.

Baik Loewenstein maupun Wahyudhi sepakat bahwa buku “Laboratorium Palestina: Bisnis Senjata Israel yang Melanggengkan Neokolonialisme” merupakan peringatan bagi dunia internasional. Konflik berkepanjangan di Palestina telah menjadi komoditas yang menguntungkan, sekaligus menularkan model penindasan yang semakin canggih secara global.

Buku ini mengajak pembaca melihat konflik Israel-Palestina dari perspektif yang lebih luas melampaui aspek diplomasi dan kemanusiaan menuju pada analisis ekonomi politik industri militer yang memiliki dampak lintas batas negara. (ss/ed:suhe,jml)

Tautan:

https://brin.go.id/news/125745/brin-bahas-buku-laboratorium-palestina-karya-jurnalis-investigasi-internasional