Categories
Nanoteknologi & Material Riset & Inovasi

BRIN Kembangkan Teknologi Pengolahan Emas Tanpa Merkuri di Pertambangan Rakyat

Tangerang Selatan – Humas BRIN. Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2017 telah meratifikasi Konvensi Minamata, yaitu pakta internasional untuk melindungi lingkungan dan kesehatan manusia dari emisi dan pelepasan merkuri antropogenik. Komitmen lanjut pemerintah tertuang pada Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN-PPM) yang dilaksanakan lintas sektoral. Salah satu tujuannya adalah penghapusan merkuri pada sektor PESK.

Pusat Riset Teknologi Pertambangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), didukung United Nation Development Program (UNDP), terlibat dalam program Global Opportunities for Long-Term Development Integrated Sound Management of Mercury in Indonesia’s Artisanal and Small Scale Gold Mining (GOLD-ISMIA). Program tersebut bertujuan menghapuskan penggunaan merkuri pada pertambangan emas rakyat atau pertambangan emas skala kecil (PESK). Salah satunya adalah dengan cara mengembangkan teknologi alternatif pengolahan emas bebas merkuri.

Peran BRIN dalam kegiatan yang berakhir ini adalah untuk memberikan bantuan teknis yang mendukung program nasional penghapusan merkuri di sektor PESK. Turut berkoodinasi dan bekerja sama dengan pemerintah daerah Kulonprogo, BRIN telah membangun pilot project pengolahan emas bebas merkuri di Desa Kalirejo, Kulonprogo, Yogyakarta.

“Hal ini diharapkan mampu menjadi jembatan dan katalis untuk transfer teknologi, sehingga menjadi titik tolak penghapusan merkuri dan perbaikan kondisi PESK di Indonesia,” ungkap Dadan Nurjaman, periset Pusat Riset Teknologi Pertambangan di Gedung Geostech 620, Kawasan Sains dan Teknologi  B.J. Habibie Serpong, Senin (09/01).

Pilot project tersebut mengadaptasi teknologi pelindian sianidasi. Proses pengolahan hingga pengelolaan limbahnya didesain melalui serangkaian studi dan optimasi, sehingga aman bagi kesehatan dan lingkungan.

“Konstruksi pilot plant didesain dan dibangun menggunakan sumber daya lokal atau dalam negeri dengan material yang murah dan mudah untuk didapatkan, dengan bahan baku bijih yang diproyeksikan berjenis bijih emas primer yang mengandung emas berukuran sangat halus,” terangnya.

Proses pengolahan emas tanpa merkuri yang dilakukan proses sianidasi yang banyak dilakukan oleh para penambang emas skala kecil. ”Biji emas dihancurkan dan penggilingan dengan menggunakan ball mill yang berukuran hampir sama dengan yang digunakan di tambang rakyat yaitu berukuran berdiameter 30 cm,” ungkapnya.

“Biasanya ball mill itu standarnya menggunakan bijih besi mulai ukuran kecil sampai besar. Sementara untuk proses penghalusan, hingga menjadi tepung sebesar 200 mesh atau sekitar 75 mikrometer supaya emasnya bisa diproses, karena emasnya sangat halus dan ukuran butirnya itu 5-40 mikrometer,” ujar Dadan.

Menurutnya, proses penggilingan emas sebetulnya bisa menggunakan berbagai material penggerus yang bagus, tetapi mahal dan butuh perawatan lebih, sedangkan lokasi tambang itu jauh di pelosok, sehingga sulit untuk mendapatkan sparepart dari bola bajanya.

“Alternatif yang pertama adalah menggunakan bola baja seperti ini dari ukuran kecil sampai besar. Kedua juga bisa menggunakan sumber daya lokal atau kearifan lokal, yaitu menggunakan batu dari endapan sungai yang modelnya sudah relatif subbrownded atau berwarna kecoklatan,” urainya.

Mengenai efisiensi waktu penggilingan, Dadan menerangkan dengan menggunakan bola baja dan batang baja, itu sekitar 3 jam. Sedangkan menggunakan material alternatif memakan waktu 4 jam. “Memang ada selisih 1 jam, tetapi dari sisi kemudahan di dalam operasional dan dari sisi biaya, ini jauh lebih murah. Sehingga tambang rakyat bisa berkelanjutan, tidak bergantung harus beli,” ungkapnya.

Dari hasil proses bijih emas menjadi tepung (halus)  sebesar 200 mesh, dilanjutkan dengan mensirkulasi lumpur dalam sehari, dengan komposisinya 40% tepung bijih emas dan 60% air. Kemudian dimasukkan ke tangki pelidian (leaching)/toren dan diolah, dilakukan proses pencampuran, dan suplai oksigennya. Setelah itu dicampur dengan beberapa bahan pelarut yang dalam hal ini menggunakan sianida.

Waktu proses reaksi yang dibutuhkan adalah sekitar 48 jam. Tingkat pelarutan emas dipengaruhi oleh kekuatan difusi sianida dan oksigen, dan perlakuan-perlakuan sebelum sianidasi. “Pada proses sianida, setelah 4-6 jam, ditambahkan karbon aktif.  Dalam prosesnya selama 48 jam, nanti emasnya akan terlarut oleh sianida. Pada saat terlarut, diserap oleh karbon,” urainya.

Setelah 48 jam, karbon aktif disaringkan dan dipisahkan dari lumpur. Kemudian karbon aktif yang tersaring dilanjutkan dengan proses pembakaran sampai karbon aktif menjadi abu. Abu campuran emas selanjutnya dilakukan peleburan sehingga akan didapat berupa bullion emas.

“Bullion emas itu masih mengandung mineral lainnya, misalkan ada peraknya, atau pun tembaganya, tetapi kalau emas oksida biasanya hanya emas dan perak. Setelah itu baru dilakukan pemurnian,” jelasnya.

Sisa lumpur yang masih mengandung sianida bebas sebesar 200 ppm itu, bisa dipompa kembali untuk dilakukan destruksi racunnya. “Jadi hanya dalam 4 jam, dari 200 ppm bisa sampai memenuhi baku mutu di bawah 0,5 ppm , dan itu memenuhi baku mutu untuk dibuang ke lingkungan,” ulasnya.

“Kemudian limbah yang masih mengandung sianida biasanya 50-200 ppm dipompa kembali ke dalam tengki untuk didestruksi racunnya. Kami telah berhasil mendestruksi selama 4 jam bisa memenuhi baku mutu di bawah 0,5 ppm, dan itu memenuhi baku mutu untuk dibuang ke lingkungan,” lanjutnya.

“Kami mengintervensi teknologi itu bukan hanya mengalihkan metoda dari merkuri ke non merkuri, tetapi juga bagaimana menangani limbahnya supaya aman dibuang ke lingkungan,” tegas Dadan. (hrd/ ed: adl)

Categories
Nanoteknologi & Material Riset & Inovasi

GOLD ISMIA Jangkau Penambang Emas Melalui Program Pemanfaatan Teknologi BRIN

Jakarta – Humas BRIN. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang didukung oleh United Nations Development Programme (UNDP) menggelar lokakarya dan pameran hasil Proyek GOLD-ISMIA (Global opportunities for Long Term Development – Integrated Sound Management of Mercury in Indonesia’s Artisanal and Small-scale Gold Mining Project), Rabu (7/12).

Kepala Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM) BRIN, Ratno Nuryadi, mengatakan, polusi yang disebabkan merkuri telah memakan korban. “Polusi merkuri dapat menyebabkan penyakit Minamata yang telah menyebabkan ribuan korban meninggal dan cacat seperti kelumpuhan, gangguan saraf, mati rasa, dan kanker di Minamata Jepang pada periode tahun 60-an. Belajar dari pengalaman tersebut maka kejadian yang sama tidak boleh terjadi di negara kita Indonesia,” terang Ratno.

Pertambangan Emas Skala Kecil atau PESK merupakan salah satu sektor yang menggunakan atau mengandalkan merkuri untuk mengolah bijih emas, “Aktivitasnya sebagian besar ilegal, sehingga menyulitkan pemerintah untuk menjangkau penambang emas melalui program-program yang bersifat pemberdayaan. Untuk itulah Proyek GOLD-ISMIA hadir,” tegas Ratno. 

Proyek GOLD-ISMIA bertujuan untuk membantu pemerintah dalam menghapus penggunaan merkuri sekaligus memberikan manfaat sebesar-besarnya dari kehadiran penambang emas skala kecil. “Sebagai bentuk bantuan, kita berusaha membantu masalah-masalah yang lekat dengan PESK seperti aspek legalitas, aspek teknologi, aspek finansial, dan aspek keberlanjutan,” tutur Ratno.

Dalam proyek 5 tahun ini, BRIN memiliki tanggung jawab untuk bekerja dari sisi teknologi sesuai dengan kompetensi yang dimiliki dan melakukan alih teknologi seperti memberikan metode atau cara-cara pengolahan bijih emas alternatif sebagai pengganti proses amalgamasi.

“Teknologi yang ditawarkan, harus dapat diimplementasikan atau dilakukan oleh penambang emas skala kecil. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi diantaranya metode yang sederhana, kompetitif bila dibandingkan dengan amalgamasi, berbiaya murah, termasuk dengan peralatan dan biaya operasional, serta mudah didapatkan di lokasi tempat penambang tinggal. Kemudian karena bijih emas yang ada di Indonesia sangat bervariasi, maka tidak dapat diolah hanya dengan satu metode pengolahan saja. Proses pengolahan harus disesuaikan dengan bijih emas yang akan diolah,” terang Ratno.

Lebih lanjut dijabarkan Ratno, untuk dapat diimplementasikan di lapangan, pelatihan-pelatihan juga perlu dilakukan sebagai bagian dari pembiasaan penggunaan teknologi. Pelatihan ini meliputi pelatihan proses dan monitoring, serta pengendalian limbahnya. Pelatihan harus spesifik dan mengadaptasi kebiasaan-kebiasaan lokal.

Selain kebutuhan proses alternatif, penambang emas juga membutuhkan formalisasi, agar dapat mudah dimonitoring baik sisi keselamatan, lingkungan serta diharapkan dapat mengurangi konflik-konflik yang mungkin timbul atas penguasaan suatu area.

“Selain keterlibatan dalam Proyek GOLD-ISMIA, kami juga telah mendukung program Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN PPM) melalui realisasi beberapa output yang telah diamanahkan oleh PerPres No.21 Tahun 2022. Hasil-hasil tersebut telah dilaporkan setiap tahun pada rapat pelaporan tahunan dikoordinasikan oleh KLHK,” jelasnya.

Beberapa output yang telah dihasilkan, antara lain Detail Engineering Design Pilot Plant pengolahan bijih emas tanpa merkuri, metode pengolahan bijih emas alternatif tanpa merkuri, prototipe merkuri, dan kontainer alat kesehatan bermerkuri. Pilot plant pengolahan emas tanpa merkuri juga telah dibangun di Kabupaten Kulon Progo dan dengan bantuan Gold Ismia telah digunakan sebagai lokasi untuk pelatihan para penambang emas skala kecil dari 6 lokasi kabupaten yaitu di Kulon Progo, Lombok Barat, Minahasa Utara, Halmahera Selatan, Gorontalo Utara, dan Kuantan Singingi.

“Dengan bantuan Badan Standardisasi Nasional (BSN), kami telah menginisiasi SNI 9035:2021 dengan judul Tata Cara Pengolahan dan Pemurnian Emas Tanpa Merkuri untuk Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK),” kata Ratno.

“Kami mengapresiasi bantuan bapak ibu semua, Kementerian dan Lembaga, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota, serta penambang emas skala kecil sehingga program GOLD-ISMIA dapat berjalan dengan baik. Apa yang telah dihasilkan hari ini merupakan buah dari kerjasama kita semua untuk mewujudkan penambang emas bebas merkuri,” tambahnya.

Akhirnya, tentu saja hasil-hasil proyek ini bukan merupakan akhir dari program pemerintah mengenai penghapusan merkuri. Program ini masih membutuhkan kerja-kerja yang berkesinambungan.

Workshop ini menghadirkan hasil proyek selama 5 tahun di 6 lokasi. Kegiatan yang dikemas dalam lokakarya dan pameran ini dilakukan untuk menyebarluaskan informasi terkait berbagai produk yang dihasilkan proyek tersebut kepada penerima manfaat antara lain masyarakat penambang emas skala kecil (PESK).

“Workshop dan Pameran Diseminasi Hasil Proyek GOLD-ISMIA merupakan bagian dari tanggung jawab kita untuk melaporkan kepada stakeholder atas hasil-hasil yang telah dicapai,” ujar Ratno.

Proyek ini diawali pada tahun 2015 yang lalu, diinisiasi oleh tim Dadan M. Nurjaman selaku Perekayasa Pusat Teknologi Pertambangan ORNM BRIN dan DNPD GOLD-ISMIA Project. “Inisiasi dilakukan bahkan sebelum diterbitkannya UU Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pengesahan Minamata Convention on Mercury dan Perpres Nomor 21 Tahun 2019 mengenai Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri di empat sektor yaitu sektor manufaktur, energi, pertambangan emas skala kecil, dan kesehatan,” jelasnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa inisiasi tersebut didasarkan pada kesadaran bahwa merkuri merupakan bahan toksik beracun, sulit terurai (persisten), bersifat bioakumulasi, dan dapat berpindah tempat dalam jarak jauh melalui udara dan air.

Ratno mengimbau, penambang emas skala kecil membutuhkan pendampingan, agar penambang emas skala kecil ini dapat menjadi bagian dari aktivitas ekonomi rakyat dan berkontribusi pada pembangunan nasional yang berkelanjutan.

“Semoga apa yang kita saksikan hari ini merupakan bagian dari langkah membangun Indonesia yang sejahtera,” pungkasnya. (hrd/ ed: adl)

Sumber : https://www.brin.go.id/news/111017/gold-ismia-jangkau-penambang-emas-melalui-program-pemanfaatan-teknologi-brin

Categories
Nanoteknologi & Material Riset & Inovasi

Komitmen BRIN bersama KLHK dan UNDP untuk Pertambangan Emas Rakyat Bebas Merkuri

Jakarta – Humas BRIN. Sejalan dengan komitmen pemerintah untuk pengurangan dan penghapusan penggunaan merkuri di lokasi Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerja sama dengan United Nations Development Program (UNDP) dalam pelaksanaan “Global Opportunities for Long-term Development of Artisanal and Small-scale Gold Mining (ASGM) Sector (GEF-GOLD): Integrated Sound Management of Mercury in Indonesia’s ASGM (ISMIA) Project” atau proyek GOLD-ISMIA.

Proyek GOLD-ISMIA bertujuan mengurangi dan menghapus penggunaan merkuri di sektor PESK di Indonesia, melalui penyediaan bantuan teknis, alih teknologi, dan akses terhadap pembiayaan untuk peralatan pengolahan emas bebas merkuri. Dalam rangka sosialisasi produk GOLD-ISMIA sebagai acuan para pihak untuk menjadikan sektor PESK yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan, maka diselenggarakan rapat persiapan ‘Workshop dan Pameran Diseminasi Hasil Proyek GOLD-ISMIA’, pada Selasa (29/11).

Dadan M. Nurjaman selaku Perekayasa Ahli Utama BRIN dan DNPD GOLD-ISMIA Project, menyampaikan sekilas bahwa tahun 2013 disahkan Konvensi Minamata mengenai merkuri dalam sebuah konferensi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di Provinsi Kumamoto, Jepang. Konvensi tersebut memutuskan seluruh negara PBB menyepakati rencana pengurangan dan penghapusan merkuri dari berbagai sektor.

Hingga kini, Dadan dan tim sudah meneliti sekitar 13 sektor yang menghasilkan merkuri di Indonesia dan yang paling besar adalah di sektor Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK). “Sampai setahun, PESK menghasilkan kurang lebih 140 ton yang dirilis ke lingkungan. Sedangkan sektor lainnya antara lain PLTU batubara, migas, dan juga dari sektor kesehatan,” jelasnya.

Pemerintah menuangkan dalam Perpres Nomor 21 Tahun 2019 yang mengatur tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN PPM). Pada peraturan ini juga mewajibkan daerah untuk membuat Rencana Aksi Daerah (RAD) di tiap daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai tindaklanjut pelaksanaan RAN PPM.

“Sebagaimana diatur dalam RAN PPM pada bidang prioritas PESK ditargetkan zero merkuri sebelum adanya kebijakan RAN PPM di tahun 2025,” sebut Dadan. 

Proyek Gold-ISMIA kerja sama antara UNDP, KLHK, dan BRIN bertujuan mengurangi dan menghilangkan penggunaan merkuri di PESK dengan cara memberikan bantuan teknis, transfer teknologi, pembentukan kemitraan antara swasta – publik dan akses pendanaan untuk pembelian peralatan pengolahan emas tanpa merkuri. “Program ini tidak dilaksanakan sendiri, tapi dilaksanakan oleh 8 negara yang dianggap menghasilkan merkuri dalam jumlah yang signifikan, khususnya di pengolahan emas oleh penambang rakyat,” urai Dadan.

Proyek GOLD-ISMIA ini difokuskan pada enam lokasi, yaitu di Pulau Obi (Sulawesi Utara), Minahasa Utara (Sulawesi utara), Kulon Progo (Yogyakarta), Kuantan Singingi (Riau), Lombok (NTB), dan Gorontalo Utara (Gorontalo). 

“Dalam kegiatan lima tahun ini, ada enam lokasi proyek dalam upaya memberikan pelatihan, percontohan, pendampingan, dan sebagainya, agar mereka beralih dan berkesinambungan berkelanjutan programnya,” tuturnya.

Teknologi BRIN dalam Proyek GOLD-ISMIA

Dadan mengatakan, dengan pelarangan merkuri bukan berarti mata pencahariannya putus. Salah satu keberhasilan adalah bisa beralihnya teknologi yang awalnya menggunakan merkuri menjadi non merkuri. 

“Peran BRIN sebagai lembaga riset mengintervensi teknologi supaya mereka beralih ke teknologi yang bukan merkuri. Dengan enam lokasi proyek, kami memberikan pelatihan, percontohan, pendampingan, dan sebagainya, agar mereka beralih dan berkesinambungan berkelanjutan programnya,” ulas Dadan.

Ditambahkan olehnya bahwa dari sisi teknologi, ada beberapa kunci keberhasilan dengan pendampingan yang tidak hanya semata-mata pada pengetahuan akademis yang dibawa, tetapi memahami bagaimana kearifan lokal dari pertambagan emas rakyat itu.

“Menggabungkan antara pengetahuan teknis dengan kearifan lokal, itulah kunci keberhasilan sehingga bisa berkelanjutan, karena sebenarnya sudah 30 tahun upaya ini dilakukan di dunia dan banyak yang gagal juga karena tidak memperhatikan pengetahuan teknis dengan kearifan lokal,” jelasnya.

Dari sisi formalisasi, yang akan dilakukan pembinaan adalah pertambangan emas rakyat yang berada di Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan mempunyai Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Pendampingan formalisasi dilakukan terhadap proses kebijakannya yang terdapat rencana aksi nasional (RAN) juga rencana aksi daerah (RAD). 

Selain itu, termasuk upaya agar rakyat bisa secara kelompok membangun usahanya, maka dibentuk koperasi juga. ”Di dalam koperasi diberikan pelatihan bagaimana administrasinya, manajemennya, keuangannya, termasuk ada yang disebut mendapatkan semacam hibah kecil untuk koperasi yang digunakan untuk membeli modal peralatan unit pengolahan, ada yang dibangun infrastruktur kantor, dan lain-lain. Itu sudah berjalan juga. Jadi dari berbagai aspek ini, diimplementasikan di dalam project GOLD-ISMIA,” jabarnya.

“Proyek ini tidak hanya berorientasi pada proses penambangan tanpa merkuri, namun juga pendekatan formalisasi dan kesejahteraan bagi para penambang, dan tidak lupa juga melibatkan kesetaraan gender,” tegasnya.

Senada dengan Dadan, perekayasa BRIN Haswi Purwandanu Soewoto mengatakan bahwa BRIN menyiapkan teknologi sebagai pengganti merkuri. “Jadi pada dasarnya kami mempunyai proyek tentang bagaimana mengkaji pengolahan emas yang tidak menggunakan merkuri, peralatan lab kami juga komplit, dan setelah itu kami kaji untuk tipe emas,” ungkapnya.

“Ada dua tipe emas, yaitu primer dan sekunder. Untuk emas primer, bisa menggunakan teknologi bleaching atau pengikisan yang murah dengan beberapa bahan kimia yang lebih aman, antara lain sianida, yang dapat didestruksi secara cepat dan limbahnya bisa dikelola, sehingga tidak berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan, sementara untuk tipe emas sekunder bisa dengan teknik gravitasi,” lanjut Haswi.

Terkait hal tersebut, hasil proyek GOLD ISMIA telah dirasakan manfaatnya oleh para penambang PESK, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah di Indonesia, sekaligus mendukung pencapaian Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri. Dadan dan tim berharap dengan pelaksanaan diseminasi ini dapat diinformasikan ke seluruh pemangku kepentingan, sehingga manajemen pengetahuan GOLD-ISMIA Project bisa dijadikan acuan atau model di tempat lain. (hrd/ ed: adl)

Categories
Nanoteknologi & Material Riset & Inovasi

Riset Atasi Pencemaran Logam Berat di Air Laut dan Pertambangan Emas

Tangerang Selatan – Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM) mengangkat tema maritim dan pencemaran logam berat di air laut dan pertambangan. Kedua tema tersebut diulas pada webinar ORNAMAT seri delapan, Selasa (9/8).

Kepala ORNM – BRIN, Ratno Nuryadi mengatakan, webinar kali ini menghadirkan dua narasumber yaitu Gadang Priyotomo dari Kelompok Riset (KR) Korosi dan Teknologi Mitigasi – PR Metalurgi, dan Fajar Yudi Prabawa dari KR Pengelolaan Dampak Pertambangan – Pusat Riset Teknologi Pertambangan.

Ratno menyampaikan terkait dengan isu maritim menjadi memenarik karena Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki potensi untuk menjadi Poros Maritim Dunia.

“Berbagai isu maritim secara nasional seperti revitalisasi, sektor-sektor ekonomi kelautan, penguatan dan pengembangan konektivitas maritim, rehabilitasi kerusakan lingkungan, dan konservasi biodiversitas, serta peningkatan kualitas dan kuantitas SDM kelautan merupakan program-program utama dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia,” ujarnya.

Ratno menambahkan, isu terkait dengan pencemaran logam berat di air laut akibat proses dekomposisi cat antifouling. Sementara menganai isu pertambangan di Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21, Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri.

“Peraturan ini mengamanatkan pengurangan merkuri pada empat sektor penting yaitu manufaktur, energi, kesehatan, dan pertambangan emas skala kecil,” kata Ratno.

Kepala ORNM berharap ORNAMAT ini bisa memberikan wawasan, pengetahuan yang lebih luas kepada para audiens. “Semoga kegiatan ini melahirkan diskusi-diskusi yang positif dan juga peluang kolaborasi antara periset, praktisi, akademisi, dan industri,” ungkapnya.

Riset Perlindungan Infrastruktur Maritim terhadap Biota Laut

Periset dari PR Metalurgi, Gadang Priyotomo menjelaskan penelitiannya yang berjudul yang berjudul ‘Perlindungan Infrastruktur Maritim terhadap Biota Laut Melalui Cat Antifouling di Perairan Tropis Indonesia’.

Gadang mengatakan, negara Indonesia fokus dalam pembangunan proses maritim dari aspek infrastruktur, politik, sosial-budaya, hukum, keamanan, dan ekonomi. “Pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim menjadi poin yang penting untuk diperhatikan juga,” ucap Gadang

Riset ditujukan pada pengembangan inovasi teknologi maritim khususnya di bidang ilmu material. “Indonesia juga mempunyai iklim tropis dengan kelembaban dan curah hujan yang tinggi. Lebih kondisi tersebut menjadikan Indonesia sangat rentan terhadap serangan korosi, terutama pada sarana transportasi yang beroperasi di laut, serta bangunan-bangunan yang berada di tepi pantai (onshore) dan lepas pantai (offshore),” paparnya.

Masalah  korosi  di  perairan laut terhadap lapis lindung cat yang teraplikasi di struktur sangat merugikan secara ekonomis, teknis, dan estetika. Penyebab utama timbulnya korosi tersebut salah satunya adalah keberadaan biota laut (biofouling) yang menempel pada substrak struktur.

“Pertumbuhan dan penempelan intensif marine biofouling harus diminimalisasi, di mana merupakan bagian dari suatu perencanaan pembangunan infrasturuktur terendam (submerged structure) yang umumnya terjadi di daerah pasang surut dan daerah fotik terendam,” jelas Gadang.

Menurutnya, salah satu metode mitigasi yang umumnya digunakan untuk mengatasi bahaya biofouling adalah penggunan cat antifouling di Indonesia. “Evaluasi performa dan pengembangan cat antifouling (AF) ke depan masih dilakukan dengan mengembangkan bahan anti biota ramah lingkungan melalui teknologi nano, untuk mengurangi atau mengantikan biosida logam berat tembaga oksida sebagai komponen utama sistem cat antifouling,” ulasnya.

Riset Pencemaran Pertambangan Emas

Pada kesempatan yang sama, periset dari Pusat Riset Teknologi Pertambangan, Fajar Yudi Prabawa, memaparkan hasil penelitiannya dengan judul ‘Zero Waste Mining ala Penambang Emas Skala Rakyat di Indonesia: Paparan Kondisi Faktual Permasalahan dan Peluang Riset yang Diperlukan. Studi Kasus: Penambang Emas di Sukabumi Jawa Barat’.

Berdasarkan data, permasalahan pada pertambangan emas rakyat atau penambang emas skala rakyat (PESK) merupakan lingkaran yang terus berulang, yakni masalah ekonomi seperi kebocoran aset negara, sosial yaitu K3 (kesehatan dan keselamatan kerja), dan lingkungan berupa kontaminasi merkuri.

Fajar menyampaikan dalam rangka mendukung percepatan program penghentian penggunaan merkuri pada penambang emas skala rakyat (PESK), diperlukan perluasan dan percepatan terlaksananya program penggantian metode Trommel Mercury (TM) ke metode non merkuri.

“Dalam program penggantian metode TM ke metode non merkuri yaitu kombinasi atau inovasi metode yang ada, cost terendah, durasi panen yang cepat baik dalam hitungan jam, aplikasi yang mudah, serta aman dan sehat,” tuturnya,

Salah satu metode yang diajukan Fajar dan tim adalah Tank Leaching, namun perlu modifikasi empat gap yang dijadikan usulan program riset serta eksperimen, untuk mendapatkan solusi terbaik. “Empat gap dalam program riset yang diperlukan antara lain bagaimana mengatasi kekurangan mesh butiran, durasi apabila menggunakan Tank Leaching, limbah TM yang diolah oleh leaching, dan terbentuknya senyawa metil merkuri,” urainya.

Lebih lanjut, hasil dari program riset yang diperlukan adalah konsep modifikasi dan purwarupa diuji hingga valid dan efektif, kemudian diuji banding dengan metode TM, karena kelebihan inovasi metode diterapkan di PESK dengan sosialisasi luas untuk mengurangi pengguna merkuri.

Menurutnya, dalam lingkup nasional, diperlukan lokasi tetap berupa area PESK sebagai lokasi laboratorium existing, untuk mendapatkaan data primer faktual, diterapkan hasil program dan eksperimen, dan area dijadikan percontohan nasional PESK yang minim dampak lingkungannya. Fajar dan tim berharap dalam target tiga tahun, PESK berhenti menggunakan merkuri dan terwujud pionir PESK yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. (hrd/ ed. adl)

Sumber : https://www.brin.go.id/news/110217/riset-atasi-pencemaran-logam-berat-di-air-laut-dan-pertambangan-emas