BRIN Kembangkan Teknologi Pengolahan Emas Tanpa Merkuri di Pertambangan Rakyat

Tangerang Selatan – Humas BRIN. Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2017 telah meratifikasi Konvensi Minamata, yaitu pakta internasional untuk melindungi lingkungan dan kesehatan manusia dari emisi dan pelepasan merkuri antropogenik. Komitmen lanjut pemerintah tertuang pada Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN-PPM) yang dilaksanakan lintas sektoral. Salah satu tujuannya adalah penghapusan merkuri pada sektor PESK.

Pusat Riset Teknologi Pertambangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), didukung United Nation Development Program (UNDP), terlibat dalam program Global Opportunities for Long-Term Development Integrated Sound Management of Mercury in Indonesia’s Artisanal and Small Scale Gold Mining (GOLD-ISMIA). Program tersebut bertujuan menghapuskan penggunaan merkuri pada pertambangan emas rakyat atau pertambangan emas skala kecil (PESK). Salah satunya adalah dengan cara mengembangkan teknologi alternatif pengolahan emas bebas merkuri.

Peran BRIN dalam kegiatan yang berakhir ini adalah untuk memberikan bantuan teknis yang mendukung program nasional penghapusan merkuri di sektor PESK. Turut berkoodinasi dan bekerja sama dengan pemerintah daerah Kulonprogo, BRIN telah membangun pilot project pengolahan emas bebas merkuri di Desa Kalirejo, Kulonprogo, Yogyakarta.

“Hal ini diharapkan mampu menjadi jembatan dan katalis untuk transfer teknologi, sehingga menjadi titik tolak penghapusan merkuri dan perbaikan kondisi PESK di Indonesia,” ungkap Dadan Nurjaman, periset Pusat Riset Teknologi Pertambangan di Gedung Geostech 620, Kawasan Sains dan Teknologi  B.J. Habibie Serpong, Senin (09/01).

Pilot project tersebut mengadaptasi teknologi pelindian sianidasi. Proses pengolahan hingga pengelolaan limbahnya didesain melalui serangkaian studi dan optimasi, sehingga aman bagi kesehatan dan lingkungan.

“Konstruksi pilot plant didesain dan dibangun menggunakan sumber daya lokal atau dalam negeri dengan material yang murah dan mudah untuk didapatkan, dengan bahan baku bijih yang diproyeksikan berjenis bijih emas primer yang mengandung emas berukuran sangat halus,” terangnya.

Proses pengolahan emas tanpa merkuri yang dilakukan proses sianidasi yang banyak dilakukan oleh para penambang emas skala kecil. ”Biji emas dihancurkan dan penggilingan dengan menggunakan ball mill yang berukuran hampir sama dengan yang digunakan di tambang rakyat yaitu berukuran berdiameter 30 cm,” ungkapnya.

“Biasanya ball mill itu standarnya menggunakan bijih besi mulai ukuran kecil sampai besar. Sementara untuk proses penghalusan, hingga menjadi tepung sebesar 200 mesh atau sekitar 75 mikrometer supaya emasnya bisa diproses, karena emasnya sangat halus dan ukuran butirnya itu 5-40 mikrometer,” ujar Dadan.

Menurutnya, proses penggilingan emas sebetulnya bisa menggunakan berbagai material penggerus yang bagus, tetapi mahal dan butuh perawatan lebih, sedangkan lokasi tambang itu jauh di pelosok, sehingga sulit untuk mendapatkan sparepart dari bola bajanya.

“Alternatif yang pertama adalah menggunakan bola baja seperti ini dari ukuran kecil sampai besar. Kedua juga bisa menggunakan sumber daya lokal atau kearifan lokal, yaitu menggunakan batu dari endapan sungai yang modelnya sudah relatif subbrownded atau berwarna kecoklatan,” urainya.

Mengenai efisiensi waktu penggilingan, Dadan menerangkan dengan menggunakan bola baja dan batang baja, itu sekitar 3 jam. Sedangkan menggunakan material alternatif memakan waktu 4 jam. “Memang ada selisih 1 jam, tetapi dari sisi kemudahan di dalam operasional dan dari sisi biaya, ini jauh lebih murah. Sehingga tambang rakyat bisa berkelanjutan, tidak bergantung harus beli,” ungkapnya.

Dari hasil proses bijih emas menjadi tepung (halus)  sebesar 200 mesh, dilanjutkan dengan mensirkulasi lumpur dalam sehari, dengan komposisinya 40% tepung bijih emas dan 60% air. Kemudian dimasukkan ke tangki pelidian (leaching)/toren dan diolah, dilakukan proses pencampuran, dan suplai oksigennya. Setelah itu dicampur dengan beberapa bahan pelarut yang dalam hal ini menggunakan sianida.

Waktu proses reaksi yang dibutuhkan adalah sekitar 48 jam. Tingkat pelarutan emas dipengaruhi oleh kekuatan difusi sianida dan oksigen, dan perlakuan-perlakuan sebelum sianidasi. “Pada proses sianida, setelah 4-6 jam, ditambahkan karbon aktif.  Dalam prosesnya selama 48 jam, nanti emasnya akan terlarut oleh sianida. Pada saat terlarut, diserap oleh karbon,” urainya.

Setelah 48 jam, karbon aktif disaringkan dan dipisahkan dari lumpur. Kemudian karbon aktif yang tersaring dilanjutkan dengan proses pembakaran sampai karbon aktif menjadi abu. Abu campuran emas selanjutnya dilakukan peleburan sehingga akan didapat berupa bullion emas.

“Bullion emas itu masih mengandung mineral lainnya, misalkan ada peraknya, atau pun tembaganya, tetapi kalau emas oksida biasanya hanya emas dan perak. Setelah itu baru dilakukan pemurnian,” jelasnya.

Sisa lumpur yang masih mengandung sianida bebas sebesar 200 ppm itu, bisa dipompa kembali untuk dilakukan destruksi racunnya. “Jadi hanya dalam 4 jam, dari 200 ppm bisa sampai memenuhi baku mutu di bawah 0,5 ppm , dan itu memenuhi baku mutu untuk dibuang ke lingkungan,” ulasnya.

“Kemudian limbah yang masih mengandung sianida biasanya 50-200 ppm dipompa kembali ke dalam tengki untuk didestruksi racunnya. Kami telah berhasil mendestruksi selama 4 jam bisa memenuhi baku mutu di bawah 0,5 ppm, dan itu memenuhi baku mutu untuk dibuang ke lingkungan,” lanjutnya.

“Kami mengintervensi teknologi itu bukan hanya mengalihkan metoda dari merkuri ke non merkuri, tetapi juga bagaimana menangani limbahnya supaya aman dibuang ke lingkungan,” tegas Dadan. (hrd/ ed: adl)