Sebuah mobil pemadam kebakaran meninggalkan kawasan Kilang Minyak Putri Tujuh Pertamina RU II Dumai seusai memadamkan kebakaran akibat ledakan di area “gas compressor” Kilang Dumai, Riau, Sabtu, 1 April 2023. Manajer Humas Pertamina RU II Dumai Agustiawan menyatakan ledakan dan kebakaran di Kilang Pertamina Refinery Unit II Dumai Provinsi Riau pada Sabtu (1/4) malam sekitar pukul 22.40 WIB yang sudah tertangani tersebut menyebabkan 9 pekerja di ruang operator mengalami luka-luka. ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid
TEMPO.CO, Tangerang Selatan – Polisi mengungkap penyebab ledakan di Kilang Minyak Pertamina Refinery Unit II Dumai, Riau. Ledakan terjadi pada Sabtu malam, 1 April 2023, pukul 22.40 WIB dan menyebabkan lima pekerja di ruang operator terluka.
Dalam keterangan awal disebutkan titik ledakan berada di area gas kompresor. Lebih lanjut, Kapolda Riau Inspektur Jenderal Mohammad Iqbal, menyebut ledakan dan kebakaran itu dipicu pelepasan atau kebocoran gas hidrogen (H2).
Iqbal menyebut area pipa Suction Discharge dan kebakaran Unit Hydro Cracker (HCU). “Kebakaran tersebut karena hidrogen yang menghasilkan gelombang udara dan suara ledakan dahsyat yang berdampak di sekitar area,” katanya, Minggu 2 April 2023, dikutip dari Antara.X
Secara terpisah, spesialis material temperatur tinggi di Pusat Riset Teknologi Kekuatan Struktur, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ilham Hatta, menerangkan kebocoran gas hidrogen itu bisa terjadi lewat mekanisme yang disebut ‘flash’. Ini adalah cara buang tekanan lewat katup-katup otomatik agar sistem bisa tetap dalam tekanan normal.
“Kemungkinan dalam flash saat itu ada hidrogen ikutan,” katanya saat ditemui di Kompleks Puspiptek, Serpong, Tangerang Selatan, pada Senin 3 April 2023. Dia menambahkan, “Saat itu juga menjelang tengah malam, mungkin tidak ada yang deteksi konsentrasi hidrogen berlebih yang terlepas.”
Menurut Ilham, gas hidrogen digunakan oleh Pertamina sebagai bahan bakar untuk memasak minyak mentah (crude oil). Sumber gas hidrogen itu adalah metana. “Didapat dengan cara meng-crack hidrogen dari karbon,” katanya merujuk kepada ikatan kimia molekul metana, CH4.
Saat ikut terlepas dalam flash, gas hidrogen bercampur dengan oksigen di udara sehingga hanya butuh percikan–diduga didapat dari ledakan–untuk menghasilkan segitiga api alias kebakaran. Pertanyaannya kini, kenapa sampai terjadi kebocoran hidrogen itu.
Kebutuhan investigasi sebab kebocoran gas hidrogen ditekankan Ilham agar tidak terjadi ledakan dan kebakaran berulang. “Yang dikhawatirkan adalah ada kerusakan yang lebih luas, dan sudah seharusnya kalau ada kebakaran ada investigasi sampai ke akar-akarnya,” tuturnya.
Temuan Korosi di Pipa Kilang Minyak Balikpapan
Dalam kesempatan itu Ilham mengungkap pengalaman dia dan timnya menemukan sebab kebocoran di Kilang Minyak Pertamina RU V Balikpapan, Kalimantan Timur, pada tahun lalu. Investigasi yang dilakukan saat itu mendapati adanya korosi atau karat yang menyebabkan penipisan di pipa bagian penukar (exchanger) panas. Dugaannya, karena endapan garam yang dibawa angin malam dari arah laut.
“Posisi kilang kan di pinggir laut. Garam mengendap, terakumulasi, dan seiring berjalannya waktu menyebabkan penipisan pipa,” katanya sambil menambahkan saat itu kebocoran hidrogen tak sampai menyebabkan ledakan, tapi sebatas semburan api.
Mungkinkah penipisan pipa jadi sebab ledakan di Kilang RU II Dumai? Ataukah ada internal stress dalam jaringan pipanya seperti yang juga pernah ditemukannya usai kebakaran Kilang Minyak Cilacap pada 2011 lampau? Ilham menjawab, “Kami tidak tahu karena belum diminta investigasi di Dumai.”
Prediksi Umur Material
Yang jelas, pria berusia 66 tahun yang juga tergabung dalam Perhimpunan Periset Indonesia – Tangerang Selatan ini menambahkan, semua material yang beroperasi pada suhu tinggi memiliki standar umur pakai 100 ribu jam atau 10,8 tahun. Kalau operasional bagus, tentu bisa bikin umur pakai material lebih panjang. Atau sebaliknya.
Yang biasa dikerjakan kelompok riset di mana Ilham dan timnya berada adalah memprediksi umur pakai material-material yang sedang digunakan. Spesialisasi mereka dibutuhkan terutama saat tiba waktunya untuk pemeliharaan berkala di industri seperti kilang, pembangkit listrik juga pabrik pupuk.
Ilham yang juga instruktur tetap di PLN menerangkan sejumlah alat dan metode ujinya, termasuk radiografi dan penelitian terhadap struktur mikro material. “Kami punya alat lengkap dan orang yang kompeten, dan semakin kuat setelah integrasi BRIN,” kata dia.
Tangerang Selatan, Humas BRIN. Ni Luh Wulan Septiani, periset Pusat Riset Material Maju – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada Selasa (12/7) mempresentasikan penelitianya berjudul “Rekayasa Nanomaterial untuk Sensor Gas Berkinerja Tinggi”. Topik penelitian tersebut dipresentasikan pada webinar ORNAMAT seri #6 tahun 2022 di lingkungan Organisasi Riset Nano Teknologi dan Material BRIN
Ni Luh Wulan membagikan penelitian yang dilakukan dengan topik ‘Rekayasa Nanomaterial untuk Sensor Gas Berkinerja Tinggi’. Dalam penelitian ini, ia berfokus pada sensor gas sulfur dioksida (SO2).
Berangkat dari bahaya sulfur dioksida (SO2), bahwa sulfur dioksida (SO2) merupakan gas yang sangat berbahaya selain karbon monoksida, nitrogen dioksida, dan particulate mater khususnya PM 2.5. Gas yang tidak berwarna dan berbau tersebut dapat diemisikan oleh beberapa sektor dari industri, transportasi, dan aktifitas gunung berapi.
Gas SO2 ini jika terhirup oleh manusia dapat menyebabkan gangguan kesehatan terutama pada sistem pernafasan dan peredaran darah (sistem kardiovaskuler). “Jika kita menghirup gas SO2 dengan waktu yang sangat lama maka akan menyebabkan gangguan atau kerusakan sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler,” ucapnya.
“Untuk beberapa grup yang sangat berisiko, dari bahaya gas sulfur dioksida adalah orang tua, orang-orang dengan riwayat penyakit paru-paru, dan juga anak-anak,” ujar Wulan sapaan akrabnya.
Untuk memonitoring konsentrasi pada gas SO2 ini, Wulan dan tim mengembangkan sensor gas berbasis kemoresistif dengan memanfaatkan material aktif di mana beberapa propertis atau sifatnya akan berubah ketika berinteraksi dengan gas SO2 atau gas berbahaya lainnya.
“Sensor gas berbasis kemoresistif harus memiliki beberapa kriteria diantaranya respon tinggi, sensitivitas tinggi, selektivitas tinggi, waktu respon yang cepat, waktu pulih cepat, temperatur kerja rendah, stabil, dan waktu hidup panjang. Di sini penelitian yang kami lakukan adalah penelitian yang berbasis oksida logam,” kata periset Kelompok Riset Fungsional Dimensi Rendah.
Rekayasa Nanomaterial Sensor Gas
Untuk mendapatkan kriteria yang maksimal, Rekayasa Nanomaterial Sensor Gas diperlukan seperti rekayasa Morfologi, rekayasa permukaan dan rekayasa antar muka atau dengan pembuatan komposit. ”Dengan merekayasa morfologi kita dapat merekayasa porositas dan luas permukaannya sehingga situs-situs aktif menjadi lebih banyak, sehingga dapat berinteraksi dengan baik dan maksimal dengan gas-gas target,” terang Wulan.
“Kemudian dengan Rekayasa permukaan, maka oksida logam atau material lainnya didekorasi dengan material lain seperti logam mulia atau logam lainnya untuk mendapatkan beberapa efek yang dapat meningkatkan sensitifitas respon dan juga mempercepat reaksi permukaan,” lanjutnya.
“Lalu ada rekayasa komposit yang mirip dengan rekayasa antarmuka, jadi Ketika kita membuat komposit itu kita tidak akan lepas dari adanya antarmuka atau singgungan antara fasa material yang satu dengan fasa material yang lainnya. Sinergi dari kedua fasa ini dibutuhkan untuk mencapai kinerja atau performa yang relatif tinggi ,” tambah lulusan S3 Teknik Fisika ITB.
Sensor Gas SO2 Berbasis ZnO Multilayer
Penelitian petama yang telah dilakukan yaitu kami membuat struktur zink oxide Multilayer (ZnO Multilayer). Sebagai sensor gasnya sendiri, Dr.Wulan dan tim mencoba beberapa temperatur dari 200 hingga 4000C, dan respon ZnO multilayer terhadap SO2 ini sangat baik pada temperatur suhu 300 0C.
“Pada ZnO Sheet Layer yang pertama responnya relatif rendah yaitu di bawah 40%, kemudian ZnO Nanorods dengan dua lapisan atau double layer memiliki respon yaitu sekitar 70%. Jika ditingkatkan menjadi 3 lapisan maka respon akan mencapai 99,9% pada temperatur 3000C,” paparnya.
Pertama, Wulan dan tim melakukan studi mekanisme Sensor Gas SO2 Berbasis ZnO Multilayer yaitu di mana reaksi permukaan sangat bergantung pada kandungan oksigen di udara.
“Ketika udara di sekitarnya yang belum terpapar gas pada temperatur tertentu, maka oksigen dalam udara akan ter-adsorpsi, kemudian akan terionisasi dengan mengambil elektron pada permukaan ZnO, sehingga menciptakan adanya lapisan depresi. Lapisan depresi meningkatkan resistansi dari ZnO,” jelasnya.
Sensor Gas SO2 Berbasis ZnO Multilayer lebih baik dibandingkan dengan single layer, karena ketika ada multilayer, maka pembauran (diffusion path) semakin panjang sehingga udara dan SO2 dapat berpenetrasi lebih dalam karena situs aktif yang tersedia melimpah.
Kemudia ada singgungan-singgungan antar muka yang menimbulkan potensial barir yang memiliki kontribusi dan berubah ketika terpapar oleh gas target. Dan untuk SO2 sendiri ketika dia berinteraksi dengan ion oksigen dia akan menjadi sulfur trioksida (SO3) dan melepas kembali elektronnya keperrmukaan ZnO sehingga lapisan depresinya akan mengecil dan resistansinya akan turun.
Sensor Gas SO2 Berbasis ZnO Wool Ball-like
Kemudian yang kedua, Dr. Wulan dan tim merekayasa morfologi dari ZnO dengan bentuk menyerupai bola rajut atau wool ball. Dengan melakukan rekayasa dari ZnO dengan menggunakan metode hidrotermal dengan bantuan glycerol sebagai capping agent.
Ketika tanpa gliserol maka ZnO terbentuk seperti brokoli, dan ketika ada gliserol sebesar 4 mL maka ZnO mulai tumbuh plat-plat berukuran 2 µm yang bergabung untuk membentuk suatu bola.
Ketika gliserol ditambah sebesar 8 mL maka ZnO sudah terlihat cukup baik strukturnya, dan ketika ditambah lagi hingga 10 mL menghasilkan bola rajut yang sangat besar berukuran sekitar 5 mikrometer.
Untuk mekanismenya sendiri, ada dua hal yang penting yaitu propanol dan gliserol. Di mana gliserol merupakan capping agent yang menghambat pertumbuhan dari ZnO ke arah-arah tertentu. Sehingga pada dua jam pertama sudah terlihat adanya pembentukan wool ball, dan ketika diperlama partikel-partikel kecil akan bergabung dengan partikel-partikel dua dimensi (2D) dan pada delapan jam dia sudah relatif sempurna pembentukankannya.
“Untuk bentuk bolanya sendiri dipengaruhi oleh propanol dan juga tekanan dari segala arah pada proses hidrotermal dan untuk gliserolnya sendiri dia berkontribusi dalam pembentukan partikel 2D,” jelas Wulan.
Setelah pembentukan wool ball ini, dilakukan kalsinasi untuk menghilangkan zat-zat yang tidak dibutuhkan karena setelah proses hidrotermal produknya belum ZnO tetapi zinc glycerolate yaitu produk hasil reaksi antara zinc dengan glycerol. “Setelah dikalsinasi ternyata terlihat adanya permukaan yang kasar dan ketika diperbesar ternyata partikel-partikel 2D itu tersusun dari partikel-partikel kecil yaitu berbentuk segi enam (heksagonal) dengan ukuran sekitar 30 nanometer,” jelasnya.
“Ketika diuji sebagai sensor gas SO2, wool ball memiliki respon yang sangat tinggi pada temperatur 3500C, sedangkan pada temperatur suhu 3000C wool ball memiliki respon sebesar 70,” imbuhnya.
“Dan itu 35 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ZnO Multilayer. Di mana pada temperatur 3000C itu sekitar 99% atau hampir dua kali lipatnya. Sedangkan berbasis ZnO Wool Ball-like pada temperatur 3000C responnya adalah 70 kali lipat,” sambungnya.
Ketika diuji bagaimana selektifitasnya sebagai sensor gas SO2, Wulan dan tim mencoba dari beberapa gas antara lain metanol, toluen, heksan, xylena, CO, CO2, dan SO2.
“ZnO memiliki kecendrungan untuk menyukai SO2 dibanding gas yang lain, tetapi di sini memang masih relatif tinggi responnya terhadap CO dan CO2. Hal ini menunjukkan perlu modifikasi lebih lanjut untuk meningkatkan selektifitas dari ZnO dengan sturktur ini,” ulasnya.
Modifikasi ZnO Wool ball like dengan MWCNT
Wulan dan tim mencoba gabungkan ZnO dengan Multiwalled Carbon Nanotubes (MWCNT) dan ketika ditambah dengan MWCNT terjadi perubahan struktur. “Modifikasi ZnO Wool ball like dengan MWCNT merusak dari struktur bolanya sendiri dan di sini terlihat ada beberapa nanotube yang masuk dan penetrasi ke dalam bola,” kata Wulan.
Semakin banyak MWCNT yang ditambahkan ini, tentu akan semakin banyak juga MWCNT yang masuk ke dalam ZnO, dan terdapat beberapa partikel minirod ZnO yang tumbuh di atas permukaan MWCNT.
Ketika diuji sebagai sensor gas SO2 terlihat kurva respon terhadap temperatur, terjadi pergeseran temperatur optimal dari 350 ke 3000C, dan juga adanya peningkatan respon dari 70 ke 2210C.
“Ketika diuji selektifitasnya dia meningkat dengan sangat pesat ketika ada MWCNT. Kehadiran MWCNT ini tidak hanya menurunkan temperatur optimalnya, tetapi juga meningkatkan selektifitas dari ZnO itu sendiri,” ungkap Wulan.
Sensor Gas SO2 Berbasis ZnO Hollow Sphere
Kemudian yang ketiga, Wulan dan tim mengembangkan Sensor Gas SO2 Berbasis ZnO Hollow Sphere. Metode Hollow Sphere sama dengan metode Wool Ball-like yaitu menggunakan metode hidrotermal, tetapi tidak dengan bantuan gliserol, tetapi menggunakan antosianin sebagai soft template pembentukan ZnO.
Anthocyanin diperoleh dari proses ekstraksi beras hitam, lalu dilakukan variasi konsentrasi antosianin, sehingga terlihat ketika ditambahkan sebesar 0,0103 gram antosianin terbentuk bola dengan ruang kosong di dalamnya, dan ketika di tambah lebih jauh ternyata struktur yang dihasilkan mengalami kerusakan
“Di sini yang kami dapatkan adalah sebesar 0,01 gram antosianin yang merupakan konsentrasi atau jumlah antosianin paling optimal untuk mendapatkan hollow sphere,” terangnya.
Modifikasi ZnO Hollow sphere dengan MWCNT
Sebetulnya untuk ZnO hollow sphere sendiri ketika diuji hasilnya mirip dengan metode Wool Ball-like, namun pada temperatur 3500C bahwa temperatur utamanya memiliki respon yang relatif lebih rendah yaitu sekitar 75.
MWCNT dapat merusak struktur dari ZnO Hollow sphere karena penetrasi ke dalam dan membuat ZnO nya itu terbelah. Semakin banyak MWCNT ditambahkan, semakin rusak strukturnya dan di beberapa partikel bermigrasi ke permukaan MWCNT, sehingga tumbuh di atas MWCNT
Dengan penambahan MWCNT juga ternyata dapat menggeser temperatur optimal dari 350 ke 3000C dan di sini sekitar 150 responnya pada temperatur 3000C.
Menurutnya Wulan, untuk selektifitanya sendiri untuk ZnO Hollow sphere memang relatif buruk. Metode ZnO Hollow sphere lebih respon terhadap metanol dibandingkan dengan SO2 itu sendiri, tetapi ketika adanya MWCNT respon meningkat secara signifikan.
“CNT dapat meningkatkan selektifitas juga menurunkan temperatur kerja dan ZnO,” terang Wulan.
Mekanisme Sensor ZnO Hollow sphere dengan MWCNT
MWCNT merupakan material sensor juga, tetapi reaksi antara MWCNT dengan gas pada umumnya reaksi fisisorpsi dan interaksi fisis itu sangat lemah, sehingga responnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan ZnO.
Jika digabungkan, MWCNT yang memiliki temperatur kerja yang relatif lebih rendah karena konduktifitasnya lebih tinggi, dapat menurunkan temperature kerja ZnO.
Selain itu MWCNT ketika digabungkan dengan ZnO maka akan terjadi pn junction pada pada antar mukanya dan potensial barir pada antarmuka tersebut berkontribusi dengan sangat baik atau untuk mendeteksi gas SO2.
“Ketika ada gas berinteraksi pada antarmuka MWCNT-ZnO, maka potensial barir ini akan berubah dan menyebabkan adanya perubahan sifat elektronik atau perubahan resistansi dari sistem ZnO dan MWCNT,” urai Wulan.
“Tetapi konsentrasi antara CNT dan ZnO sangat perlu dipertimbangkan karena saat lebih banyak CNT dbandingkan dengan ZnO, maka CNT menjadi mendominasi sebagai sensor gas sehingga responnya menjadi lebih rendah walau pun temperatur kerjanya menjadi lebih rendah juga,” lanjutnya.
“Sinergi antara CNT dan ZnO, sangat ingin dicapai untuk mendapatkan sensor gas dengan temperatur kerja rendah tetapi memiliki respon yang relatif tinggi,” pungkasnya. (hrd/ ed. adl)
Tangerang Selatan, Humas BRIN. Qomaruddin periset Pusat Riset Fotonik – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada Selasa (22/6) mempresentasikan risetnya berjudul “Photo-activated Gas Sensor”. Topik tersebut dipresentasikan pada webinar SEKOPI (Seminar Kolaborasi Optoelektronika) volume I.
Qomarudin menyampaikan tentang sensor gas secara umum, prinsip kerja, tren saat ini serta contoh proses pembuatan sensor berbasis ZnO NRs, karakterisasi, dan cara pengukuran hingga pembahasan mekanisme interaksi gas dengan material sensor.
Aktivasi cahaya pada sensor gas (photo-activated gas sensor) digunakan untuk menggantikan pemanas (heater) sebagai aktivasi permukaan material sensor. Oleh karena secara teknologi konvensional pada bidang sensor gas, cahaya tidak bisa digunakan untuk mengaktivasi sensor gas yang berbasis material semikonduktor oksida logam. Akan tetapi hal ini bisa dilakukan dengan beberapa strategi khusus, ytaitu salah satunya adalah memanfaatkan fenomena resonansi plasmon permukaan yang terlokalisasi pada partikel nano emas.
Menurut air quality index (AQI) di kota-kota besar di dunia, salah satunya Jakarta saat ini kondisi lingkungan atau pun udara yang ada di sekitar kurang sehat di outdoor, sehingga disarankan untuk menggunakan masker.
“Dan ini bisa diakses secara realtime. Tidak mungkin keluar angka-angka yang menunjukkan kondisi realtime ini tanpa ada piranti atau device yang menunjukkan bahwa kualitas udara di sekitar itu sesuai dengan real-nya,” ujar Qomaruddin.
Qomaruddin menambahkan bahwa pasti ada device yang melaporkan atau memberi data bahwa kondisinya sedang bagus, kurang sehat, dan seterusnya. Salah satu urgensinya sensor gas adalah untuk hal itu.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa udara yang kita tinggali dan hidup di dalamnya ini, secara umum komposisinya yang paling besar adalah nitrogen (78,09%) dan oksigen (20,94%). Sementara bagian kecilnya terdiri dari beberapa zat kimiawi, gas-gas yang bahkan tidak bisa dilihat, tidak bisa dirasa keberadannya, tetapi menjadi hal yang bisa membahayakan bagi kehidupan.
Salah satu gas yang membahayakan di sini, Qomaruddin menggarisbawahi adalah Nitrogen Dioksida (NO2) yang merupakan salah satu dari kelompok gas yang sangat berbahaya karena toxic serta reaktif jika kita terpapar dalam waktu tertentu (8 jam) dan jangan sampai lebih dari konsentrasi 0,5 ppm (long-term exposure limit) atau jangan sampai lebih dari 1 ppm dalam waktu yang singkat 15 menit (short-term exposure limit).
“Untuk pengembangannya juga, kami akan mencari sensor gas yang konsumsi dayanya rendah, kemudian bisa bekerja pada suhu ruang. Jadi kalau dipakai di luar ruangan, di lapangan misalnya, bisa menggunakan jenis gas sensor seperti ini,” terang Qomaruddin.
“Kalau di dalam ruangan, itu dicari yang rendah konsumsi dayanya, serta suhu kerjanya. Kemudian yang bisa mengikuti tren teknologi terbaru di dunia saat ini,” tambahnya.
Beberapa tipe sensor gas
Tipe sensor gas digolongkan dalam beberapa tipe bedasarkan prinsip kerja dan material penyusun sensor. Dari sekian banyak jenis sensor gas, yang paling banyak dijumpai di pasaran adalah yang menggunakan prinsip kerja Conductometric Resistive Sensors. Umumnya sensor jenis ini menggunakan material polimer dan semikonduktor oksida logam.
Secara konvensional, sensor gas menggunakan pemanas (heater) untuk aktivasi agar bisa bekerja optimal, sedangkan yang sedang berkembang saat ini menggunakan cahaya untuk aktivasi sensor untuk mereduksi konsumsi daya dan suhu kerja. Selain itu ada optical sensors, electrochemical sensors, thermometics (calorimeric) dan magnetic sensors.
Beberapa sensor yang banyak juga ditemui di pasaran yaitu jenis Mechanical (Mass) Sensors, bahkan sensor dengan prinsip kerja jenis ini dipakai untuk menguji kondisi seseorang yang sedang terinfeksi positif COVID-19 atau negatif saat pandemi lalu, dimana salah satunya menggunakan Quartz Crystal Microbalance (QCM). Ada juga yang menggunakan Cantilever-based Devices untuk mendeteksi particulate meters (PM), serta yang menggunakan Surface Accoustic Wave (SAW) dengan memanfaatkan gelombang akustik untuk mendeteksi gas atau partikel polutan. Diantara beberapa jenis sensor gas yang sudah disebutkan tadi, masih ada jenis lain seperti spectroscopics dan lain sebagainya.
Dalam risetnya, Qomaruddin dan tim mengembangkan Conductometric Resistive Sensors yang berbasis Metal Oxide Semiconductor (MOS) yang diaktivasi menggunakan cahaya pada spektrum cahaya tampak.
Sejarah dan Perkembangan Sensor Gas
Dalam perkembangan sensor gas yang dimulai tahun 1957 oleh Beilanski, dimana dia menggunakan material semikonduktor oksida logam untuk mengetahui adanya hubungan antara konduktivitas listrik pada MOS dengan aktivitas katalis dan dilanjutkan oleh Seiyama tahun 1962 yang memublikasikan adanya proses chemisorption di permukaan MOS pada suhu tinggi, juga dikenalkan untuk pertama kalinya jenis sensor gas komersial oleh Taguchi pada tahun 1972. Prinsip kerja ini masih dipakai hingga saat ini untuk mayoritas sensor gas berbasis MOS. Saura, mengenalkan pertama kali sensor gas yang diaktivasi menggunakan cahaya dengan material SnO2 pada tahun 1994. Pada tahun 2020, Qomaruddin telah berhasil mengembangkan sensor gas dengan material semikonduktor baru dengan bandgap sempit yaitu CaFe2O4 NPs yang diaktivasi menggunakan cahaya pada spektrum cahaya tampak untuk pertama kalinya dengan semikonduktor tipe-p (https://doi.org/10.3390/s20030850).
Hingga saat ini, perkembangan teknologi yang menggunakan cahaya untuk mengaktivasi sensor gas, masih terus berkembang dengan tujuan mengurangi suhu kerja sensor dan konsumsi daya yang digunakan.
“Sensor gas yang mempunyai suhu kerja sangat tinggi itu tidak ramah terhadap jenis-jenis gas yang mudah terbakar dan bisa meledak,” ungkap periset muda ini.
Oleh karenanya, sensor gas yang diaktivasi dengan cahaya pada spektrum cahaya tampak adalah salah satu jawaban untuk mengurangi konsumsi daya (bahkan hingga orde microwatt) dan bisa bekerja pada suhu kamar.
Prinsip kerja sensor gas yang diaktivasi menggukan cahaya
Prinsip kerja sensor gas yang menggunakan cahaya yakni pertama, pada kondisi suhu kamar, udara bebas (oksigen; O2(g)) yang mengalir pada permukaan material sensor akan mengikat elektron menjadi molekul oksigen ion (pre-chemisorbed oxygen ion; O2 (ads)-) dan terikat kuat di permukaan.Kedua, pada saat disinari cahaya dengan energi tertentu ada proses eksitasi elektron dari pita valensi ke pita konduksi. Hal ini akan membentuk pasangan elektron dan hole. Semakin tinggi intesitas penyinaran maka semakin banyak pasangan electron-hole yang terbentuk.
Kedua substansi ini akan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Misalkan elektron akan berinterkasi mengikat oksigen yang ada di udara membentuk oksigen ion pada permukaan sensor, molekul yang terbentuk disebut dengan photo-adsorbed oxygen ion; O2 ads-(hv). Pada saat yang sama hole itu akan berikteraksi dengan pre-chemisorbed oxygen ion dan membentuk molekul oksigen O2(g) serta kembali lagi ke udara bebas.
Proses seperti ini akan terjadi terus menerus hingga pada keadaan setimbang dan sensor siap bekerja mendeteksi gas.
Karakteristik Sensor
Sensor dikatakan mempunyai performa yang handal jika memiliki karakteristik tertentu, diantaranya adalah sensitivitas (tingkat kepekaan dalam mendeteksi gas), selektivitas (kemampuan mendeteksi satu jenis gas tertentu), waktu respon dan recovery (waktu yang dibutuhkan untuk mendeteksi dan membersihkan gas yang yg dideteksi) serta stabilitas. Untuk menghitung sensitivitas sensor (S) dari hasil eksperimen (data pengukuran), digunakan persamaan seperti yang tertulis dibawah ini; yaitu dengan mengukur 90% respon sinyal pada saat mendeteksi gas dibanding pada saat di udara. Hal ini juga digunakan dalam menentukan waktu respon dan recovery.
Contoh aplikasi pembuatan sensor gas berbasis MOS
Qomaruddin dan tim telah berhasil membuat sensor gas berbasis zinc oxide (ZnO) nanorods (NRs) yang didekorasi dengan nanopartikel emas (Au NPs) dan gas ujiyang digunakan adalah Nitrogen Dioxide (NO2). Proses aktivasinya menggunakan cahaya pada spektrum cahaya tampak dengan memanfaatkan fenomena resonansi permukaan yang terlokalisasi (localized surface plasmon resonance; LSPR) pada Au NPs.
Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan untuk membuat sensor gas, mulai dari mempersiapkan electricalcontact sebagai elektroda untuk mengukur besaran listrik hingga pengujian performa sensor.
“Kami membuat benihnya terlebih dahulu dari zinc oxide (ZnO) ini, dibuat dari zinc acetate dehydrate yang dilarutkan ke dalam ethylene glycol dengan konsentrasi 25 milimolar, lalu mendeposisi benih ini pada electricalcontact dengan metode spin-coating, kemudian proses penumbuhannya menggunakan teknik hydrothermal, dan proses dekorasinya kita menggunakan electrophoresis” paparnya.
Kemudian setelah tahapan ini selesai semua, maka dikarakterisasi sifat materialnya. “Kita karakterisasi bagaimana morfologinya, komposisinya, apa benar sudah terbentuk zinc oxide,” urainya.
Dan yang terakhir adalah pengujian performa sensor dengan melakukan pengukuran gas uji NO2 dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Selama pengujian, sensor disinari dengan LED yang mempunyai panjang gelombang berbeda-beda pada spektrum cahaya tampak; yaitu biru (465 nm), hijau (520 nm), kuning (590 nm) dan merah (640 nm) serta menvariasi intensitas penyinaran. Untuk lebih detailnya bisa diakses di https://doi.org/10.3390/chemosensors10010028
Gambar 1. Setup pengukuran gas.
Hasil
Karakterisasi morfologi dan optis menunjukkan hasil yang bagus dan sesuai harapan. Karakterisasi ini menggunakan FE-SEM, AFM, EDS, PL dan UV-vis DRS. Sedangkan uji performa selain menggunakan NO2, juga menggunakan gas CO dan CO2 dengan konsentrasi tinggi sebagai gas uji lain untuk menentukan tingkat selektifitasnya.
Pengujian performa sensor menjukkan hasil yang sangat baik sehingga material sensor ini menjanjikan peningkatan peforma sensor hingga lebih dari 40x sesnsitifitas dari sebelumnya. Juga bisa mendeteksi NO2 pada konsentrasi rendah hingga orde ppb (500 ppb) dalam eksperimen. Peningkatan sensitifita ini disebabkan jumal oksigen ion yg terbentuk lebih banyak dari sebelumnya karena adanya transfer electron dari Au-NPs memanfaatkan fenomena LSPR sehingga bisa mengikat gas NO2 lebih banyak.
Kesimpulan yang bisa diambil diantaranya: (1) bahwa sensor gas adalah divais yang sangat penting untuk mengukur kualitas udara baik di dalam dan di luar ruangan serta untuk mendeteksi adanya gas berbahaya; (2) penuruan suhu kerja serta konsumsi daya pada teknologi sensor gas masih menyisakan tantangan yang besar terutama untuk aktivasi cahaya pada spektrum cahaya tampak terutama untuk material berbasis MOS; (3) masih banyak cara (metode dan material) untuk meningkatkan performa sensor gas dengan aktivasi cahaya. (hrd/ ed. adl)
Tangerang Selatan, Humas BRIN. Pusat Riset Fotonik – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) membuat webinar SEKOPI (Seminar Kolaborasi Optoelektronika) volume I pada Rabu (22/6). Kegiatan ini bertujuan untuk mempererat kerja sama riset bidang laser, optik, fotonik dan optolektronika, serta menyebarluarkan hasil riset kepada masyarakat ilmiah dan industri di Inonesia.
Kegiatan seminar daring yang dilaksanakan oleh salah satu pusat riset di bawah Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material ini, berlangsung secara berkala setiap bulan. Untuk bulan Juni, SEKOPI menghadirkan 1 periset BRIN dan 1 periset tenaga pengajar dari universitas negeri.
Diungkapkan oleh Isnaeni, Kepala Pusat Riset Fotonik, saat ini BRIN telah menyelesaikan reorganisasinya dengan dibentuknya 85 Pusat Riset, salah satunya Pusat Riset Fotonik. “Dalam rangka untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas riset di Pusat Riset Fotonik, maka dibuatlah sebuah wadah seminar yang diberi nama SEKOPI, singkatan dari Seminar Kolaborasi Optoelektronika,” ujarnya.
“Sesuai dengan namanya, maka dalam seminar ini menghadirkan satu pembicara dari internal Pusat Riset Fotonik dan satu pembicara dari periset eksternal, baik dari universitas maupun dari pihak industri. Seminar ini akan dilakukan setiap bulan dengan menghadirkan pembicara-pembicara yang berbeda,” jelas Isnaeni.
Pemateri pertama, Dedi Irawan dari Universitas Riau, menyampaikan topik ‘Advanced Development of Optical Component in Communication and Sensor Application’.
Sementara pemateri kedua yaitu Qomaruddin dari Pusat Riset Fotonik BRIN, menampilkan judul ‘Photo-activated Gas Sensor’. Qomarudin menyampaikan tentang sensor gas secara umum, prinsip kerja, tren saat ini serta contoh proses pembuatan sensor berbasis ZnO NRs, karakterisasi, dan cara pengukuran hingga pembahasan mekanisme interaksi gas dengan material sensor.
Qomarudin memaparkan bahwa atmosfer telah menjadi sistem dinamis yang secara terus-menerus menyerap berbagai jenis zat padat, cair, dan gas, baik yang bersifat alami maupun buatan. “Biosfer adalah bagian yang paling banyak menyerap berbagai jenis zat tersebut. Udara yang ada disekitar kita, mengandung berbagai jenis spesies kimia, beberapa di antaranya sangat penting bagi kehidupan. Sementara yang lainnya merupakan jenis yang berbahaya, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak,” terangnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa nitrogen (78.09%) dan oksigen (20.94%) merupakan penyusun udara terbesar. Sementara sisanya campuran dari berbagai jenis gas seperti karbon dioksida, karbon monoksida, argon, krypton, dinitrogen oksida dan sejumlah kecil gas organik dan inorganik, serta berbagai jenis gas lainnya dengan konsentrasi yang berbeda-beda, berdasarkan tempat dan waktunya.
Menurutnya, di antara berbagai jenis gas tersebut, ada beberapa gas yang berbahaya dan beracun bagi kehidupan terutama manusia. “Gas tersebut dilabeli dengan sebutan sebagai polutan. Pada era modern ini, banyak industri yang menggunakan gas dalam proses produksinya, bahkan menggunakan gas beracun dan mudah terbakar,” ungkap Qomarudin.
“Hal ini tentunya tidak bisa dipungkiri, jika adanya kemungkinan kebocoran gas yang muncul ke udara bebas dan mengakibatkan potensi bahaya bagi industri itu sendiri, para pekerja atau karyawan dan lingkungan sekitar. Oleh karena itu, sensor gas menjadi sangat penting dan merupakan kunci utama dalam mendeteksi spesies yang tidak terlihat, bahkan tidak berasa atau berbau,” urainya.
Dalam risetnya, Qomarudin berfokus pada aktivasi cahaya pada sensor gas sehingga bisa bekerja pada suhu kamar dan rendah konsumsi daya. “Dengan sensor gas, kita dapat mencegah beberapa hal yang tidak diinginkan, serta bisa digunakan untuk memonitoring kondisi lingkungan sekitar,” pungkasnya. (mf/ ed: adl)