Categories
Nanoteknologi & Material Riset & Inovasi

Aktivitas Tambang Nikel di Morowali, Periset BRIN Kaji Dampaknya terhadap Kualitas Air Sungai

image alt

Tangerang Selatan – Humas BRIN. Peneliti Kelompok Riset Eksplorasi Pertambangan, Pusat Riset Teknologi Pertambangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Muhammad Razzaaq Al Ghiffari mengkaji pengaruh perubahan tutupan lahan pada area pertambangan nikel, ditinjau dari aspek hidrologi, di Morowali, Sulawesi Tengah.

Menurut Ghiffari, adanya pembukaan lahan karena perkebunan, longsoran, maupun aktivitas tambang menyebabkan reaksi kimia yang memengaruhi kualitas air sungai. Maka, diperlukan pemantauan kualitas air secara berkelanjutan, karena dapat berdampak terhadap masyarakat yang memanfaatkan air tersebut.

Dalam forum pertemuan ilmiah riset dan inovasi ORNAMAT seri 34, secara daring, Selasa (5/9), Ghiffari menjelaskan, dia bersama tim memetakan rona awal dari sisi geologi dan hidrologinya, kemudian dampak apa yang ditimbulkan akibat aktivitas tambang karena adanya perubahan jenis tutupan lahan.

Tentunya, dengan adanya aktivitas tambang, lahan menjadi terbuka dan memengaruhi kondisi hidrologi.

“Metode yang digunakan yaitu observasi geologi dan hidrologi, mencakup pemetaan geologi, analisis curah hujan, perhitungan neraca air, pengukuran debit, serta analisis fisika dan kimia air, baik secara in situ di lapangan maupun di lab,” urainya.

Ghiffari mengatakan, area kajian yang berlokasi di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah ini terdiri dari bentuk lahan dataran dan juga perbukitan, yang sebagian besar tersusun batuan ultrabasa.

“Area kajian (observasi hidrologi) terdiri dari empat sungai utama, yaitu sungai Bahomotefe, Bahopenila, Lamasara, dan Dampala. Namun, dilihat dari pola aliran sungainya, area kajian ini terbentuk menjadi enam Sub-Daerah Aliran Sungai (SubDAS), yaitu SubDAS Bahomotefe 1,  SubDAS Bahomotefe 2, SubDAS Bahopenila, SubDAS Lamasara, SubDAS Dampala 1,  dan SubDAS Dampala 2,” terangnya.

Berdasarkan analisis klimatologi, sebut dia, curah hujan maksimum berada pada Mei hingga Juli. Sementara, musim kemarau pada September hingga November.

“Intensitas curah hujan di area kajian ini dapat mencapai 75 mm/jam pada kala ulang 100 tahunan,” jelasnya.

Kemudian untuk perhitungan neraca air mengacu pada siklus hidrologi, yaitu air akan mengalami penguapan, lalu pembentukan awan, dan turunlah air hujan.

“Air hujan yang turun sebagian akan mengalami proses evapotranspirasi dan sebagian lagi akan jatuh ke permukaan tanah. Dengan kondisi tutupan lahan saat ini, hasil perhitungan neraca air menunjukkan volume air yang meresap lebih besar dibandingkan volume limpasan air permukaan (runoff),” beber dia.

Selain itu, Ghiffari dan tim juga melakukan pengukuran debit dan kualitas air sungai. “Kami juga melakukan penelurusan dan pengukuran debit air sungai. Secara umum, debit air sungai akan membesar ke arah hilir, hal ini karena adanya suplai dari air tanah ke air sungai,” tambahnya.

Begitu pun untuk nilai derajat keasaman (pH) yang secara umum mengalami peningkatan dari arah hulu ke hilir sungai. Hal ini disebabkan area kajian didominasi oleh batuan ultrabasa.

Kemudian adanya interaksi antara air dan batuan, sehingga menyebabkan nilai pH meningkat. Nilai pH air sungai di area kajian memiliki rentang 6-9.

Sementara, simulasi perhitungan neraca air dengan area bukaan lahan tambang, memiliki pengaruh terhadap peningkatan nilai Cro (koefisien runoff) dan debit limpasan permukaan (runoff).

Perhitungan neraca air dapat memberikan gambaran perbedaan kondisi hidrologi sebelum dan setelah aktivitas tambang.

“Peningkatan debit runoff mencapai 23 persen adalah sebuah perubahan yang signifikan dalam aliran air di wilayah tersebut. Ini bisa memiliki berbagai dampak, terutama jika tidak dikelola dengan baik,” ulas periset muda BRIN ini.

Nikel menjadi salah satu komponen utama untuk pembuatan baterai kendaraan listrik. Hal ini berdampak pada perkembangan pertambangan nikel, termasuk perluasan area eksplorasi dan eksploitasinya.

Namun, dengan berjalannya aktivitas tambang tersebut, perlu diperhatikan pengaruhnya terhadap kondisi lingkungan. (hrd/ed: adl, tnt)

Sumber :

https://brin.go.id/ornm/posts/kabar/aktivitas-tambang-nikel-di-morowali-periset-brin-kaji-dampaknya-terhadap-kualitas-air-sungai-1

Categories
Nanoteknologi & Material Riset & Inovasi

Pengelolaan Limpasan Air Tambang untuk Penambangan Nikel Ramah Lingkungan

Tangerang Selatan – Humas BRIN. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, kebutuhan logam nikel semakin meningkat. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan permintaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai yang rendah emisi gas karbondioksida. Selain itu, peningkatan kebutuhan nikel juga didorong oleh peningkatan permintaan super alloy (logam dengan ketahanan korosi yang mumpuni).

Sebagai penghasil 30% nikel dunia, peningkatan kebutuhan nikel akan mendorong produksi penambangan nikel di Indonesia. “Namun selain memberikan dampak positif ekonomi, perkembangan produksi pertambangan nikel juga memiliki risiko kerusakan lingkungan dan gangguan kesehatan manusia,” ungkap perekayasa Pusat Riset Teknologi Pertambangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Anindita Hardianti,  pada forum pertemuan ilmiah riset dan inovasi ORNAMAT seri 26, Selasa (28/03).

Anindita memaparkan tentang Pengelolaan Limpasan Air Tambang untuk Penambangan Ramah Lingkungan, Studi Kasus: Pertambangan Nikel. Menurutnya, hingga saat ini mayoritas program nikel diproduksi dari bijih nikel yang ditambang dengan metode terbuka.

“Hal ini disebabkan karena daerah pertambangan nikel memiliki curah hujan tinggi yang saat hujan jatuh di atas area penambangan, air hujan tersebut menjadi air limpasan tambang yang tidak hanya membawa padatan tersuspensi atau TSS (Total Suspended Solid), atau yang secara kasat mata disebut dengan lumpur, tetapi juga membawa zat-zat berbahaya yang terkandung dalam bijih nikel, terutama kromium heksavalen. Zat ini bersifat toksik bagi organisme termasuk manusia,” paparnya.

Upaya pengelolaan air limpasan tambang telah dilakukan dengan menambahkan ferro sulfat yang dapat mereduksi kromium heksavalen yang merupakan zat terlarut menjadi Cr(III) yang berbentuk padat. Tetapi, upaya ini belum bisa meningkatkan kualitas air limbah hingga memenuhi baku mutu secara konsisten. Sehingga pada waktu tertentu, zat-zat berbahaya tersebut dapat terlepas ke lingkungan.

Oleh karena itu, dilakukan kajian pengelolaan air limpasan tambang dalam 4 tahapan. Pertama, karakterisasi lokasi untuk mengetahui faktor-faktor pendorong peningkatan kromium heksavalen termasuk faktor alam, maupun aktivitas tambang.

Anindita menjelaskan, tim survei lapangan mengambil data kualitas air dan lingkungan lainnya dari sebelum dan sesudah kegiatan pertambangan, dari hulu hingga hilir. Selain itu, mengambil kualitas air sebelum dan sesudah turunnya hujan. Kemudian tim juga mengambil sampel air di bagian inlet dan outlet fasilitas pengelolaan air limpasan tambang untuk mengevaluasi kinerjanya dan mengidentifikasi faktor penyebab kualitas air di outlet fasilitas eksisting tidak dapat memenuhi baku mutu secara konsisten.

Karakterisasi lokasi menemukan adanya korelasi antara TSS dengan total kromium yang tinggi.  Kemudian total kromium yang tinggi ini, terjadi pada saat hari-hari hujan.

“Hujan meningkatkan debit air yang menimbulkan turbelensi, sehingga Cr(III) yang sebelumnya terendapkan, kembali tersuspensi dan menimbulkan lonjakan konsenstrasi kromium dan TSS. Oleh karena itu, dibutuhkan fasilitas pengolahan air limpasan yang dapat menurunkan konsentrasi kromium dan TSS secara terintegrasi,” jelas sarjana Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Kedua, berdasarkan hasil karakterisasi, ia dan tim menentukan teknik pengolahan dan mengujinya dalam skala laboratorium. Menggunakan variasi tipe kolam pengendap yaitu kolam bersekat konvensional (bersekat lurus) dan bersekat miring yang disebut lamella gravity settler (LGS).

Menurutnya, kolam pengendapan bersekat konvensional itu tidak dapat menurunkan konsentrasi padatan tersuspensi (TSS) hingga memenuhi baku mutu yang masih di atas 200 mg/L, tanpa bahan kimia. Sedangkan LGS bisa menurunkan TSS  hingga di bawah baku mutu bahkan tanpa bahan kimia.

“LGS dapat mengolah konsentrasi TSS  dengan konsentrasi yang bervariasi. Meski pun demikian untuk menurunkan Cr(VI) yang terlarut dan meningkatkan kecepatan pengendapan diperlukan penambahan ferro sulfat, dan flokulan pada LGS,” ujar master of Professional Engineering (Specialisation: Environmental Engineering) The University of Western Australia.

“Sekat miring LGS dapat meningkatkan kecepatan pengendapan, sehingga luas pengendapan efektif pada LGS lebih besar dibandingkan dengan pengendapan konvensional,” ucapnya.

Ketiga, setelah uji skala laboratorium, berhasil, tim meningkatkan skla pengujian LGS, yaitu pada skala pilot berkapasitas 40 m3. Fasilitas ini dapat mengoperaikan secara kontinu serta pengadukan koagulasi dan flokulasi dengan melakukan secara mekanik.

Lebih lanjut, kolam ekualisasi mengatur debit aliran yang masuk ke dalam LGS. Aplikasi LGS ini sesuai dengan permintaan klien untuk meletakkan di dua lokasi yaitu di hilir area tambang, dan di hilir processing plant (PP) untuk mengolah air limbah. Kualitas air inlet tidak mevariasikan secara langsung atau sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.

“Pengolahan air limbah PP membutuhkan waktu tinggal yang lebih lama yaitu selama 60 menit, dibandingkan dengan air limpasan tambang yang hanya selama 48 menit. Hal ini disebabkan rata-rata konsentrasi TSS pada air limbah PP lebih tinggi dari air limpasan tambang. Pengaturan waktu tinggal ini dapat dilakukan dengan mengatur jumlah debit yang masuk,” jelas Kelompok Riset Penambangan Ramah Lingkungan ini.

Keempat, setelah LGS pada uji skala pilot berhasil mengolah air limbah (air limbah PP dan air limpasan tambang) hingga memenuhi baku mutu. LGS kemudian dibangun pada skala penuh (full scale) di area tambang. Fasilitas ini memiliki 4 unit serupa (masing-masing memiliki area koagulasi, flokulasi, dan pengendapan dengan kapasitas 1.000 meter kubik) berkapasitas total 4.000 meter kubik.

Anindita menerangkan, berbeda dengan skala pilot, proses koagulasi dan flokulasi pada skala penuh ini, dilakukan secara hidrolis. “Jadi memanfaatkan energi kejatuhan air secara gravitasi dan tumbukan air dengan sekat atau baffe. Hal ini ditujukan untuk mengurangi kebutuhan energi terutama di area-area tambang yang umumnya terletak di remote area,” tuturnya.

Berdasarkan hasil uji skala penuh, LGS mampu menurunkan konsentrasi TSS dan kromium pada air limbah. Terjadi penurunan pH dan peningkatan Fe dikarenakan adanya penambahan ferro sulfat yang menambah konsentrasi Fe. Selain itu ferro sulfat itu sendiri menghasilkan asam ketika dilarutkan.

“Kualitas air inlet sangat keruh menjadi sangat jernih dan dapat digunakan kembali untuk pengolahan mineral dan membersihkan fasilitas LGS termasuk sekat-sekat miring akibat dari penumpukan lumpur,” pungkasnya. (hrd/ed:adl)

Sumber:

https://www.brin.go.id/news/112128/pengelolaan-limpasan-air-tambang-untuk-penambangan-nikel-ramah-lingkungan

Categories
Nanoteknologi & Material Riset & Inovasi

Peneliti BRIN Bahas Riset Pemanfaatan Material Nikel dan Baja

Tangerang Selatan – Humas BRIN. Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kembali menyelenggarakan forum pertemuan ilmiah riset ORNAMAT, dalam upaya mendukung penguatan iklim riset, akumulasi pengetahuan, dan sarana membuka peluang kolaborasi bagi mitra, baik internal maupun eksternal BRIN, secara daring, pada Selasa (24/01).

Kepala ORNM BRIN yang diwakili oleh Kepala Pusat Riset Teknologi Polimer, Joddy Arya Laksmono menyampaikan bahwa webinar kali ini menghadirkan dua peneliti BRIN, yang keduanya akan menjelaskan tentang perkembangan risetnya terkait pemanfaatan sumber daya logam nikel di Indonesia dengan perspektif masing-masing.

Joddy menyampaikan bahwa peneliti dari Pusat Riset (PR) Metalurgi BRIN, Moch Syaiful Anwar, menampilkan materi ‘Karakteristik Deformasi Creep Baja Tahan Panas Austenitik untuk Pipa Boiler PLTU Ultra Super Kritis’, dan Sudiyarmanto dari PR Kimia Maju membawakan materi ‘Sintesis dan Karakterisasi Film Tipis Berbasis Nikel yang Dipreparasi Menggunakan Teknik Deposisi Fluida Superkritik’.

“Jadi sebagaimana kita ketahui bahwa di setiap PLTU terdapat boiler sebagai sumber penghasilan uap panas untuk menggerakan turbin, dimana kondisi uap panas yang dihasilkan tergantung pada kebutuhan tenaga untuk menggerakan turbin,” ucapnya.

“Bisa jadi uap panas itu berada pada kondisi ultra super kritis secara termodinamika, sehingga diperlukan suatu material khusus yang bisa menjaga agar PLTU itu bisa terus beroperasi, dengan baja tahan panas austenitik,” sambungnya.

Kemudian Joddy menerangkan metode deposisi menggunakan fluida pada kondisi super kritis, menjadi perhatian di kalangan periset, khususnya di dalam pengembangan bahan baja padat. Jadi nikel merupakan unsur kimia metalik, yang termasuk ke dalam logam transisi,” jelas Joddy.

Ditambahkan olehnya, nikel memiliki sifat keras dan ulet, memiliki tujuan untuk meningkatkan kemampuan khas untuk berbagai aplikasi seperti katalis. “Tentunya didukung oleh karakterisasi yang dapat menjelaskan fenomena pembentukan film dan aplikasinya, ini akan menjadi sangat menarik manakala dalam pembentukan lapisan film tipisnya, menggunakan metode fluida,” tambah Joddy.

Dalam kesempatan tersebut, peneliti dari Kelompok Riset Baja, Pusat Riset Metalurgi BRIN, Moch Syaiful Anwar, menjelaskan bahwa boiler Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dapat dikategorikan menjadi 4, yaitu PLTU Sub Kritis (dibawah titik kritis air 540°C dan 17-22 MPa, efisiensi operasi kurang dari 38%), kemudian PLTU Superkritis/SC ( diatas titik kritis air 600/615°C dan 25 MPa, efisiensi operasi kurang dari 42%) selanjutnya PLTU Ultra-Superkritis/ USC (diatas titik kritis air 620°C dan 30 MPa, efisiensi operasi kurang dari 42-46 %) serta PLTU Advance Ultra-Superkritis /A-USC (diatas titik kritis air 700-760°C dan 35 MPa, efisiensi operasi lebih dari 50 %).

“Di Indonesia, saat ini melalui PT PLN telah mengoperasikan PLTU Jawa 7 menggunakan teknologi boiler ultra super kritis (USC), yang diyakini dapat meningkatkan efisiensi pembangkit hingga 15 % lebih tinggi dibandingkan dengan no-USC serta teknologi USC membuat emisi yang dihasilkan lebih ramah lingkungan,” ungkapnya.

Selain memberikan pemahaman tentang teknologi boiler USC, Syaiful meyampaikan potensi baja boiler mengalami deformasi creep akibat beban tetap dan panas yang tinggi. “Creep adalah deformasi plastis tergantung waktu pada beban atau tegangan konstan. Creep merupakan fenomena temperatur tinggi T > 0,4 Temperatur metric yang terjadi secara signifikan,” terangnya.

Dalam penelitiannya tentang creep, Syaiful menggunakan material pipa baja tahan panas 253 MA dengan diameter luar 60.33 mm, tebal 3.9 mm, panjang 200 mm, dengan nilai kekerasan awal 191 HV. Material baja tersebut kemudian dilakukan proses, antara lain, preparasi, pembuatan spesimen, uji creep rupture, uji tarik, proses perlakuan panas, proses pendinginan, hingga pengukuran struktur butir mikro baja dengan alat karakterisasi.

Dari kesimpulan risetnya, uji creep rupture bertujuan untuk mengetahui ketahanan logam terhadap beban dan atau suhu tinggi yang konstan hingga logam tersebut terdeformasi. “Uji creep rupture yang dilakukan pada 700°C dengan beban 150 MPa menunjukkan hasil korelasi antara ukuran butir, sifat mekanik, dan waktu,” ulas Syaiful.

Riset Film Tipis Nikel dengan Fluida Superkritik

Kemudian peneliti dari Pusat Riset Kimia Maju BRIN, Sudiyarmanto, memaparkan bahwa fluida superkritik atau super critic fluid (SCF) merupakan suatu keadaan zat yang dibentuk pada kondisi di atas titik kritisnya yaitu di atas temperatur kritis (T) dan tekanan kritis (P). “Di sinilah dua fasa yang tadinya terpisah yaitu cairan dan gas, di fasa superkritik ini terlihat tidak ada pembedanya atau tidak ada pemisahnya,” ujarnya.

Menurutnya, SCF memiliki beberapa keunggulan. “Diantaranya mempunyai daya larut yang tinggi, mudah disesuaikan temperatur dan tekanan, sifat hybrid properties, bisa secara intensitas lebih mirip ke air dan secara difusitas lebih mirip ke gas, tegangan permukaan nol, dan dapat didaur ulang,” urainya.

Mengenai aplikasi SCF, sangat banyak digunakan di berbagai bidang diantaranya pangan dan farmasi, serta energi dan lingkungan. “Sekarang ini, untuk SCF banyak terbit paper, yaitu aplikasi SCF di bidang nano dan material, terutama yang berkaitan dengan surface chemistry atau kimia permukaan,” terangnya.

Dalam risetnya, Sudiyarmanto berfokus ke bidang film tipis (thin film), namun tidak menutup kemungkinan SCF bisa digunakan di bentuk-bentuk nanomaterial yang lainnya, seperti di nano partikel, kawat nano dan seterusnya.

Fluida yang digunakan oleh Sudiyarmanto berupa karbodioksida (CO2) yang memiliki banyak keunggulan. “Fluida CO2 paling banyak digunakan untuk SCF, yang mempunyai keunggulan dari setting temperatur (T) dan tekanan (P) mempunyai kondisi titik kritis ringan. Kemudian CO2 tidak beracun dan tidak mudah terbakar, CO2 juga bisa diartikan sebagai inert, dan sebagai kategori solvent yang ramah lingkungan,” kata peneliti Kelompok Riset Katalis.

Beberapa produk film lapis tipis berhasil disintesis dan dikarakterisasi oleh Sudiyarmanto dan tim melalui metode SCF berbasis nikel, menggunakan nikel (Ni), platinum (Pt), dan tembaga (Cu). Baik film tipis Ni-Pt alloy (paduan nikel dan platinum) dan Ni-Cu alloy (paduan nikel dan tembaga). (esw/jp/ls/hrd/adl)

Categories
Nanoteknologi & Material Riset & Inovasi

Potensi Hilirisasi Nikel di Indonesia dan Pemanfaatannya

Tangerang Selatan – Humas BRIN. Indonesia merupakan salah satu produsen terbesar nikel dunia. Sebagai salah satu komponen utama dalam baterai dan stainless steel (baja khusus), nikel memainkan peranan penting dalam transisi dari energi fosil menjadi energi terbarukan, dan ekonomi Indonesia di masa yang akan datang. Apalagi tren kendaraan listrik sedang meningkat.

Saat ini hampir 70% produk turunan nikel dunia digunakan sebagai bahan baku stainless steel,  11% untuk baterai, 7% untuk berbagai paduan logam, dan sisanya digunakan untuk berbagai bahan baku industri mulai lapisan anti korosi, katalis, magnet, pigmen dan berbagai aplikasi lainnya.

Profesor riset dari Pusat Riset Metalurgi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Efendi dalam presentasinya menyampaikan materi dengan judul Pengenalan ‘First Use dan End Use, Nikel dan Potensi Hilirasinya di Indonesia’. Dalam ulasannya Efendi menjelaskan cadangan bijih nikel yang melimpah perlu dimaksimalkan dengan pengembangan produk nikel hilir untuk meningkatkan perekonomian Indonesia.

“Beberapa penggunaan nikel dalam produk hilir seperti stainless steel, baterai, paduan nikel, serbuk nikel, lapis nikel, dan senyawa nikel perlu dikenali dan dikaji potensi hilirisasinya,” terang Efendi pada Workshop Metalurgi yang diselenggarakan secara virtual, Jumat (09/12).

Efendi menjelaskan produk hilir nikel dan potensi hilirisasinya di Indonesia. “Dari kajian ini muncul pemikiran bahwa selain stainless steel dan baterai, pengembangan produk paduan dan senyawa nikel perlu menjadi fokus perhatian,” jelasnya.

Sementara peneliti dari Pusat Riset Metalurgi Iwan Setiawan menyampaikan bahasan tentang ‘Piro dan Hidrometalurgi Nikel Laterit’. Dalam paparannya Iwan menyampaikan bahwa Indonesia memiliki cadangan nikel yang sangat besar bahkan tertinggi di dunia.

“Dengan tumbuhnya industri pengolahan nikel, baik menjadi feronikel maupun nikel kimia untuk baterai, tentunya akan meningkatkan pendapatan negara. Di sisi lain, pemanfaatan  bijih ini akan menurunkan cadangan nikel secara cepat, dan memungkinkan juga akan terjadi degradasi lingkungan,” ungkap Iwan.

Guna mengatasi hal tersebut, lanjut Iwan, proses hilirisasi hendaknya dipercepat sampai menuju produk akhirnya, karena hilirisasi yang sedang berjalan belum sepenuhnya meningkatkan nilai tambah yang signifikan, karena hanya sampai produk antara.

“Bila hilirisasi dilakukan dengan tuntas, maka eksploitasi sumber daya alam akan dapat dikurangi yang dampaknya sustainability dapat berjalan. Beberapa riset dapat dilakukan untuk mempercepat hilirisasi dan memecahkan masalah lingkungan,” imbuh Iwan.

Ia menjelaskan bahwa pirometalurgi merupakan suatu proses pengolahan atau ekstraksi logam menggunakan panas secara intensif. Sementara hidrometalurgi merupakan proses pengolahan atau ekstraksi logam berharga menggunakan media cair atau larutan pada kondisi atmosferik atau bertekanan.

Teknologi hidrometalurgi yang sudah terbukti yaitu High-Pressure Acid Leach (HPAL) untuk menghasilkan bahan baterai kendaraan listrik. Teknologi ini unggul dari sisi perolehan nikel dan kobalt, penggunaan energi yang minimum, dan ramah lingkungan.

“Sejumlah smelter di Indonesia pada saat ini yang akan mulai beroperasi menggunakan HPAL dan beberapa masih dalam tahap konstruksi. Produk utama dari proses ini adalah Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) dan Mixed Sulphide Precipitate (MSP). Bahan ini sebagai bahan utama komponen baterai lithium,” ulasnya. (esw, mfn/ ed:ls,adl)

Sumber : https://brin.go.id/news/111085/potensi-hilirisasi-nikel-di-indonesia-dan-pemanfaatannya