Pengelolaan Limpasan Air Tambang untuk Penambangan Nikel Ramah Lingkungan

Tangerang Selatan – Humas BRIN. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, kebutuhan logam nikel semakin meningkat. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan permintaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai yang rendah emisi gas karbondioksida. Selain itu, peningkatan kebutuhan nikel juga didorong oleh peningkatan permintaan super alloy (logam dengan ketahanan korosi yang mumpuni).

Sebagai penghasil 30% nikel dunia, peningkatan kebutuhan nikel akan mendorong produksi penambangan nikel di Indonesia. “Namun selain memberikan dampak positif ekonomi, perkembangan produksi pertambangan nikel juga memiliki risiko kerusakan lingkungan dan gangguan kesehatan manusia,” ungkap perekayasa Pusat Riset Teknologi Pertambangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Anindita Hardianti,  pada forum pertemuan ilmiah riset dan inovasi ORNAMAT seri 26, Selasa (28/03).

Anindita memaparkan tentang Pengelolaan Limpasan Air Tambang untuk Penambangan Ramah Lingkungan, Studi Kasus: Pertambangan Nikel. Menurutnya, hingga saat ini mayoritas program nikel diproduksi dari bijih nikel yang ditambang dengan metode terbuka.

“Hal ini disebabkan karena daerah pertambangan nikel memiliki curah hujan tinggi yang saat hujan jatuh di atas area penambangan, air hujan tersebut menjadi air limpasan tambang yang tidak hanya membawa padatan tersuspensi atau TSS (Total Suspended Solid), atau yang secara kasat mata disebut dengan lumpur, tetapi juga membawa zat-zat berbahaya yang terkandung dalam bijih nikel, terutama kromium heksavalen. Zat ini bersifat toksik bagi organisme termasuk manusia,” paparnya.

Upaya pengelolaan air limpasan tambang telah dilakukan dengan menambahkan ferro sulfat yang dapat mereduksi kromium heksavalen yang merupakan zat terlarut menjadi Cr(III) yang berbentuk padat. Tetapi, upaya ini belum bisa meningkatkan kualitas air limbah hingga memenuhi baku mutu secara konsisten. Sehingga pada waktu tertentu, zat-zat berbahaya tersebut dapat terlepas ke lingkungan.

Oleh karena itu, dilakukan kajian pengelolaan air limpasan tambang dalam 4 tahapan. Pertama, karakterisasi lokasi untuk mengetahui faktor-faktor pendorong peningkatan kromium heksavalen termasuk faktor alam, maupun aktivitas tambang.

Anindita menjelaskan, tim survei lapangan mengambil data kualitas air dan lingkungan lainnya dari sebelum dan sesudah kegiatan pertambangan, dari hulu hingga hilir. Selain itu, mengambil kualitas air sebelum dan sesudah turunnya hujan. Kemudian tim juga mengambil sampel air di bagian inlet dan outlet fasilitas pengelolaan air limpasan tambang untuk mengevaluasi kinerjanya dan mengidentifikasi faktor penyebab kualitas air di outlet fasilitas eksisting tidak dapat memenuhi baku mutu secara konsisten.

Karakterisasi lokasi menemukan adanya korelasi antara TSS dengan total kromium yang tinggi.  Kemudian total kromium yang tinggi ini, terjadi pada saat hari-hari hujan.

“Hujan meningkatkan debit air yang menimbulkan turbelensi, sehingga Cr(III) yang sebelumnya terendapkan, kembali tersuspensi dan menimbulkan lonjakan konsenstrasi kromium dan TSS. Oleh karena itu, dibutuhkan fasilitas pengolahan air limpasan yang dapat menurunkan konsentrasi kromium dan TSS secara terintegrasi,” jelas sarjana Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Kedua, berdasarkan hasil karakterisasi, ia dan tim menentukan teknik pengolahan dan mengujinya dalam skala laboratorium. Menggunakan variasi tipe kolam pengendap yaitu kolam bersekat konvensional (bersekat lurus) dan bersekat miring yang disebut lamella gravity settler (LGS).

Menurutnya, kolam pengendapan bersekat konvensional itu tidak dapat menurunkan konsentrasi padatan tersuspensi (TSS) hingga memenuhi baku mutu yang masih di atas 200 mg/L, tanpa bahan kimia. Sedangkan LGS bisa menurunkan TSS  hingga di bawah baku mutu bahkan tanpa bahan kimia.

“LGS dapat mengolah konsentrasi TSS  dengan konsentrasi yang bervariasi. Meski pun demikian untuk menurunkan Cr(VI) yang terlarut dan meningkatkan kecepatan pengendapan diperlukan penambahan ferro sulfat, dan flokulan pada LGS,” ujar master of Professional Engineering (Specialisation: Environmental Engineering) The University of Western Australia.

“Sekat miring LGS dapat meningkatkan kecepatan pengendapan, sehingga luas pengendapan efektif pada LGS lebih besar dibandingkan dengan pengendapan konvensional,” ucapnya.

Ketiga, setelah uji skala laboratorium, berhasil, tim meningkatkan skla pengujian LGS, yaitu pada skala pilot berkapasitas 40 m3. Fasilitas ini dapat mengoperaikan secara kontinu serta pengadukan koagulasi dan flokulasi dengan melakukan secara mekanik.

Lebih lanjut, kolam ekualisasi mengatur debit aliran yang masuk ke dalam LGS. Aplikasi LGS ini sesuai dengan permintaan klien untuk meletakkan di dua lokasi yaitu di hilir area tambang, dan di hilir processing plant (PP) untuk mengolah air limbah. Kualitas air inlet tidak mevariasikan secara langsung atau sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.

“Pengolahan air limbah PP membutuhkan waktu tinggal yang lebih lama yaitu selama 60 menit, dibandingkan dengan air limpasan tambang yang hanya selama 48 menit. Hal ini disebabkan rata-rata konsentrasi TSS pada air limbah PP lebih tinggi dari air limpasan tambang. Pengaturan waktu tinggal ini dapat dilakukan dengan mengatur jumlah debit yang masuk,” jelas Kelompok Riset Penambangan Ramah Lingkungan ini.

Keempat, setelah LGS pada uji skala pilot berhasil mengolah air limbah (air limbah PP dan air limpasan tambang) hingga memenuhi baku mutu. LGS kemudian dibangun pada skala penuh (full scale) di area tambang. Fasilitas ini memiliki 4 unit serupa (masing-masing memiliki area koagulasi, flokulasi, dan pengendapan dengan kapasitas 1.000 meter kubik) berkapasitas total 4.000 meter kubik.

Anindita menerangkan, berbeda dengan skala pilot, proses koagulasi dan flokulasi pada skala penuh ini, dilakukan secara hidrolis. “Jadi memanfaatkan energi kejatuhan air secara gravitasi dan tumbukan air dengan sekat atau baffe. Hal ini ditujukan untuk mengurangi kebutuhan energi terutama di area-area tambang yang umumnya terletak di remote area,” tuturnya.

Berdasarkan hasil uji skala penuh, LGS mampu menurunkan konsentrasi TSS dan kromium pada air limbah. Terjadi penurunan pH dan peningkatan Fe dikarenakan adanya penambahan ferro sulfat yang menambah konsentrasi Fe. Selain itu ferro sulfat itu sendiri menghasilkan asam ketika dilarutkan.

“Kualitas air inlet sangat keruh menjadi sangat jernih dan dapat digunakan kembali untuk pengolahan mineral dan membersihkan fasilitas LGS termasuk sekat-sekat miring akibat dari penumpukan lumpur,” pungkasnya. (hrd/ed:adl)

Sumber:

https://www.brin.go.id/news/112128/pengelolaan-limpasan-air-tambang-untuk-penambangan-nikel-ramah-lingkungan