Tangerang Selatan – Humas BRIN. Indonesia merupakan negara agraris terdapat perkebunan yang sangat luas, baik perkebunan sawit, tebu, maupun kayu putih, yang menghasilkan biomassa yang dapat diolah kembali menjadi selulosa asetat yang ramah lingkungan. Selulosa asetat yang kelola dari biomassa ini akan mengalami degradasi kembali dan dapat dimanfaatkan menjadi pupuk untuk tanaman.
Selulosa Asetat berupa suatu ester selulosa yaitu selulosa sederhana asetat. Kebutuhannya saat ini masih tinggi dan tergantung terhadap impor. Di lain pihak, Indonesia kaya akan potensi biomassa berupa limbah perkebunan yang saat ini pemanfaatannya belum optimal.
Penggunaan selulosa asetat digunakan pada film/fotografi, LCD screen, dapat juga digunakan untuk tekstil, membran untuk penyaring air atau berbagai aplikasi sebagai frame kaca mata, kosmetik, dan lain-lain.
Roni Maryana dari Pusat Riset Kimia Maju Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada sesi forum presentasi Ilmiah ORNAMAT seri ke-27 pada Selasa (11/04) menyampaikan, “Saat ini di Indonesia memiliki luasan perkebunan kepala sawit seluas 16 juta hektar dan potensi tanda kosong kepala sawit 26 jt ton/thn, dan ranting kayu putih sekitar 32.500-65.000 ton/tahun. Potensi biomassa inilah yang nantinya akan diolah menjadi selulosa asetat”.
“Penelitian ini dilakukan untuk menyelidiki ekstraksi selulosa asetat (CA) dari ranting kayu putih (Melaleuca leucadendron) dan ampas tebu (Saccharum officinarum) menggunakan metode yang ramah lingkungan,” tambah Roni.
Roni juga menjelaskan, “Pada awalnya, selulosa diekstraksi dari ranting kayu putih (CT) dan ampas tebu (SB) melalui prehidrolisis diikuti dengan pembuatan pulp soda (NaOH) dan pemutihan unsur bebas klorin (ECF). Kemudian, selulosa yang diekstraksi diasetilasi menggunakan yodium (I) sebagai katalis. Dari hasil penenlitian dapat dilihat serabut kelapa berpotensi untuk menjadi bahan baku pembuatan selulosa asetat karena mengandung selulosa yang cukup tinggi yaitu 28,89%”.
“Isolasi selulosa telah dilakukan dengan metode pulping dan bleaching untuk menghilangkan lignin dan residual lignin. Agen pulping dan bleaching yang digunakan adalah NaOH dan NaClO2 – H2O2. Selulosa asetat telah disintesi melalui reaksi esterifikasi selulosa menggunakan asam asetat glasial, asam asetat anhibrida, dan katalis asam sulfat pekat,” imbuh Roni.
Pada kesempatan ini, Joddy Arya Laksmono, Kepala PR Teknologi Polimer mewakili kepala ORNM menyampaikan, “ORNAMAT salah satu sarana untuk bertukar informasi dan berdiskusi. Ada baiknya ke depan para sivitas bisa memberikan informasi yang sedang bekerja di kelompok riset masing-masing,” ungkapnya.
“Proses isolasi selulosa ada beberapa macam, karena biasanya digunakan bahan kimia, agar limbahnya terbuang dengan aman periset melakukan pendekatan dengan pelarut atau bahan kimia yang ramah lingkungan,” ujar Joddy. (esw/ed:adl)
Tangerang Selatan – Humas BRIN. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, kebutuhan logam nikel semakin meningkat. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan permintaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai yang rendah emisi gas karbondioksida. Selain itu, peningkatan kebutuhan nikel juga didorong oleh peningkatan permintaan super alloy (logam dengan ketahanan korosi yang mumpuni).
Sebagai penghasil 30% nikel dunia, peningkatan kebutuhan nikel akan mendorong produksi penambangan nikel di Indonesia. “Namun selain memberikan dampak positif ekonomi, perkembangan produksi pertambangan nikel juga memiliki risiko kerusakan lingkungan dan gangguan kesehatan manusia,” ungkap perekayasa Pusat Riset Teknologi Pertambangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Anindita Hardianti, pada forum pertemuan ilmiah riset dan inovasi ORNAMAT seri 26, Selasa (28/03).
Anindita memaparkan tentang Pengelolaan Limpasan Air Tambang untuk Penambangan Ramah Lingkungan, Studi Kasus: Pertambangan Nikel. Menurutnya, hingga saat ini mayoritas program nikel diproduksi dari bijih nikel yang ditambang dengan metode terbuka.
“Hal ini disebabkan karena daerah pertambangan nikel memiliki curah hujan tinggi yang saat hujan jatuh di atas area penambangan, air hujan tersebut menjadi air limpasan tambang yang tidak hanya membawa padatan tersuspensi atau TSS (Total Suspended Solid), atau yang secara kasat mata disebut dengan lumpur, tetapi juga membawa zat-zat berbahaya yang terkandung dalam bijih nikel, terutama kromium heksavalen. Zat ini bersifat toksik bagi organisme termasuk manusia,” paparnya.
Upaya pengelolaan air limpasan tambang telah dilakukan dengan menambahkan ferro sulfat yang dapat mereduksi kromium heksavalen yang merupakan zat terlarut menjadi Cr(III) yang berbentuk padat. Tetapi, upaya ini belum bisa meningkatkan kualitas air limbah hingga memenuhi baku mutu secara konsisten. Sehingga pada waktu tertentu, zat-zat berbahaya tersebut dapat terlepas ke lingkungan.
Oleh karena itu, dilakukan kajian pengelolaan air limpasan tambang dalam 4 tahapan. Pertama, karakterisasi lokasi untuk mengetahui faktor-faktor pendorong peningkatan kromium heksavalen termasuk faktor alam, maupun aktivitas tambang.
Anindita menjelaskan, tim survei lapangan mengambil data kualitas air dan lingkungan lainnya dari sebelum dan sesudah kegiatan pertambangan, dari hulu hingga hilir. Selain itu, mengambil kualitas air sebelum dan sesudah turunnya hujan. Kemudian tim juga mengambil sampel air di bagian inlet dan outlet fasilitas pengelolaan air limpasan tambang untuk mengevaluasi kinerjanya dan mengidentifikasi faktor penyebab kualitas air di outlet fasilitas eksisting tidak dapat memenuhi baku mutu secara konsisten.
Karakterisasi lokasi menemukan adanya korelasi antara TSS dengan total kromium yang tinggi. Kemudian total kromium yang tinggi ini, terjadi pada saat hari-hari hujan.
“Hujan meningkatkan debit air yang menimbulkan turbelensi, sehingga Cr(III) yang sebelumnya terendapkan, kembali tersuspensi dan menimbulkan lonjakan konsenstrasi kromium dan TSS. Oleh karena itu, dibutuhkan fasilitas pengolahan air limpasan yang dapat menurunkan konsentrasi kromium dan TSS secara terintegrasi,” jelas sarjana Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Kedua, berdasarkan hasil karakterisasi, ia dan tim menentukan teknik pengolahan dan mengujinya dalam skala laboratorium. Menggunakan variasi tipe kolam pengendap yaitu kolam bersekat konvensional (bersekat lurus) dan bersekat miring yang disebut lamella gravity settler (LGS).
Menurutnya, kolam pengendapan bersekat konvensional itu tidak dapat menurunkan konsentrasi padatan tersuspensi (TSS) hingga memenuhi baku mutu yang masih di atas 200 mg/L, tanpa bahan kimia. Sedangkan LGS bisa menurunkan TSS hingga di bawah baku mutu bahkan tanpa bahan kimia.
“LGS dapat mengolah konsentrasi TSS dengan konsentrasi yang bervariasi. Meski pun demikian untuk menurunkan Cr(VI) yang terlarut dan meningkatkan kecepatan pengendapan diperlukan penambahan ferro sulfat, dan flokulan pada LGS,” ujar master of Professional Engineering (Specialisation: Environmental Engineering) The University of Western Australia.
“Sekat miring LGS dapat meningkatkan kecepatan pengendapan, sehingga luas pengendapan efektif pada LGS lebih besar dibandingkan dengan pengendapan konvensional,” ucapnya.
Ketiga, setelah uji skala laboratorium, berhasil, tim meningkatkan skla pengujian LGS, yaitu pada skala pilot berkapasitas 40 m3. Fasilitas ini dapat mengoperaikan secara kontinu serta pengadukan koagulasi dan flokulasi dengan melakukan secara mekanik.
Lebih lanjut, kolam ekualisasi mengatur debit aliran yang masuk ke dalam LGS. Aplikasi LGS ini sesuai dengan permintaan klien untuk meletakkan di dua lokasi yaitu di hilir area tambang, dan di hilir processing plant (PP) untuk mengolah air limbah. Kualitas air inlet tidak mevariasikan secara langsung atau sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.
“Pengolahan air limbah PP membutuhkan waktu tinggal yang lebih lama yaitu selama 60 menit, dibandingkan dengan air limpasan tambang yang hanya selama 48 menit. Hal ini disebabkan rata-rata konsentrasi TSS pada air limbah PP lebih tinggi dari air limpasan tambang. Pengaturan waktu tinggal ini dapat dilakukan dengan mengatur jumlah debit yang masuk,” jelas Kelompok Riset Penambangan Ramah Lingkungan ini.
Keempat, setelah LGS pada uji skala pilot berhasil mengolah air limbah (air limbah PP dan air limpasan tambang) hingga memenuhi baku mutu. LGS kemudian dibangun pada skala penuh (full scale) di area tambang. Fasilitas ini memiliki 4 unit serupa (masing-masing memiliki area koagulasi, flokulasi, dan pengendapan dengan kapasitas 1.000 meter kubik) berkapasitas total 4.000 meter kubik.
Anindita menerangkan, berbeda dengan skala pilot, proses koagulasi dan flokulasi pada skala penuh ini, dilakukan secara hidrolis. “Jadi memanfaatkan energi kejatuhan air secara gravitasi dan tumbukan air dengan sekat atau baffe. Hal ini ditujukan untuk mengurangi kebutuhan energi terutama di area-area tambang yang umumnya terletak di remote area,” tuturnya.
Berdasarkan hasil uji skala penuh, LGS mampu menurunkan konsentrasi TSS dan kromium pada air limbah. Terjadi penurunan pH dan peningkatan Fe dikarenakan adanya penambahan ferro sulfat yang menambah konsentrasi Fe. Selain itu ferro sulfat itu sendiri menghasilkan asam ketika dilarutkan.
“Kualitas air inlet sangat keruh menjadi sangat jernih dan dapat digunakan kembali untuk pengolahan mineral dan membersihkan fasilitas LGS termasuk sekat-sekat miring akibat dari penumpukan lumpur,” pungkasnya. (hrd/ed:adl)
Oleh Adimas Raditya Fahky P Jumat, 24 Februari 2023 19:21 WIB
Pengunjung mengendarai sepeda motor listrik pada pameran Indonesia Internasional Motor Show (IIMS) di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Senin (20/2/2023). Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memastikan bahwa insentif untuk kendaraan listrik akan mulai diberikan oleh pemerintah pada Maret mendatang dengan besaran insentif yang diberikan bagi sepeda motor sebesar Rp7 juta per unit. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.
60 persen komponen mobil listrik kuncinya ada di baterai.
Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Indonesia tengah gencar mendorong pemanfaatan kendaraan listrik secara luas, baik dari sisi pemerintah maupun masyarakat umum.
Selain menjadi moda transportasi yang ramah lingkungan, kendaraan listrik berbasis baterai (electric vehicle) juga diyakini akan menjadikan Indonesia sebagai pemain besar komponen utama kendaraan tersebut.
Presiden Joko Widodo menyebutkan 60 persen komponen mobil listrik kuncinya ada di baterai. Menurut dia, Indonesia memiliki cadangan material untuk membuat baterai dengan ketersediaan melimpah.
Sebagai bukti keseriusan pemerintah, sejumlah regulasi dan aturan turunannya pun telah diterbitkan, di antaranya Peraturan Presiden (Perpres) No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan.
Kemudian, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Demikian juga aturan turunannya yang diterbitkan oleh Kementerian Perhubungan. Paling sedikit ada enam Peraturan Menteri Perhubungan yang mengatur tentang implementasi kendaraan listrik di Indonesia.
Secara umum, Permenhub ini mengatur tentang uji tipe, pedoman konversi, serta pedoman teknis terkait Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, kebutuhan kendaraan operasional Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, TNI, Polri dari Internal Combustion Engine (ICE) ke Battery Electric Vehicle (BEV) hingga tahun 2030 mencapai sebanyak 398.530 kendaraan roda dua dan 132.983 kendaraan roda empat.
Sementara itu, jumlah total Sertifikat Registrasi Uji Tipe (SRUT) kendaraan listrik yang telah diterbitkan hingga Januari 2023 mencapai 48.162 unit.
Seiring dengan perkembangan teknologi ke depan, dapat dibayangkan bagaimana banyaknya populasi kendaraan listrik, atau bahkan kendaraan otonom akan memenuhi jalan-jalan di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan.
Daur ulang limbah
Meski banyak pihak sepakat bahwa kendaraan listrik jauh lebih ramah lingkungan dibanding mobil berbahan bakar minyak, potensi bahaya dari kendaraan listrik tetap ada.
Limbah dari komponen utamanya, yakni baterai dapat menjadi penyebab pencemaran lingkungan yang serius apabila tidak dikelola dengan baik.
Riset dan studi yang dilakukan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menemukan bahwa potensi limbah yang perlu diwaspadai adalah baterai bekas pakai, limbah dari proses produksi baterai, serta limbah dari proses daur ulang baterai yang mengandung logam berat dan bahan kimia berbahaya.
Baterai kendaraan listrik umumnya menggunakan baterai lithium ion (LIB), yang terdiri atas katoda, anoda, elektrolit, separator, dan berbagai komponen lainnya.
Beberapa bahan yang digunakan dalam LIB, seperti logam berat dan elektrolit, dapat menimbulkan ancaman bagi ekosistem dan kesehatan manusia.
Jika LIB bekas dibuang begitu saja dan ditimbun dalam jumlah yang besar, ini dapat menyebabkan infiltrasi logam berat beracun ke dalam air bawah tanah, yang mengakibatkan pencemaran lingkungan yang serius.
Demikian pula, jika LIB bekas dibakar sebagai limbah padat, hal tersebut akan menghasilkan sejumlah besar gas beracun, seperti gas hidrogen fluorida (HF) yang berasal dari elektrolit di dalam LIB, yang dapat mencemari atmosfer.
Oleh karena itu, penanganan limbah dari baterai bekas ini sangat dibutuhkan.
Kepala Pusat Riset Teknologi Transportasi, Organisasi Riset Energi dan Manufaktur (OREM) BRIN Dr. Aam Muharam menyebut bahwa sudah banyak studi kajian tentang kemungkinan baterai bekas pakai digunakan kembali melalui proses daur ulang (recycle).
Limbah baterai biasanya di-grading atau disortir terlebih dahulu, untuk mengetahui kapasitas/usia baterai relatif terhadap end-of-cycle-nya.
Jika kapasitas baterai di antara 50-80 persen, baterai bekas tersebut bisa digunakan kembali (reuse) sebagai second life battery.
Second life battery merupakan baterai yang digunakan kembali untuk aplikasi berbeda, seperti untuk aplikasi energy storage atau stationary use.
Apabila baterai sudah mencapai kapasitas di bawah 50 persen, baterai bisa didaur ulang untuk mendapatkan material berharga dari baterai bekas untuk menghasilkan baterai baru.
Daur ulang ulang dapat juga melibatkan penggunaan baterai bekas sebagai bahan baku untuk membuat produk baru yang berbeda dari baterai, seperti pigmen keramik atau logam paduan.
“Baterai bekas hasil daur ulang memerlukan uji atau test durability ulang seberapa jauh dapat dioperasikan kembali. Harus ada regulasi atau standar yg mengatur terkait hal ini,” kata Aam.
Studi terkait daur ulang limbah baterai di BRIN dilakukan oleh periset yang tergabung dalam Kelompok Riset Material Berkelanjutan dan Daur Ulang (Sustainable Material & Recycling Group).
Metode yang paling banyak digunakan dalam proses daur ulang baterai adalah metode pirometalurgi dan hidrometalurgi. Masing-masing metode ini memiliki keuntungan dan tantangannya masing-masing.
Untuk pirometalurgi, prosesnya relatif lebih sederhana karena hanya seperti peleburan logam pada umumnya. Namun demikian, energi yang dibutuhkan sangat besar karena membutuhkan temperatur yang tinggi pada prosesnya.
Ditambah, kemurnian logam-logam berharga di akhir proses pirometalurgi cenderung kurang baik dan perlu dilakukan pemurnian lagi dengan proses lanjutan.
Sementara itu, metode hidrometalurgi memiliki rangkaian proses yang lebih kompleks dan panjang. Akan tetapi, logam berharga yang ingin dipulihkan dapat diambil kembali dengan efisiensi ekstraksi yang sangat tinggi.
Salah satu periset Kelompok Riset Material Berkelanjutan dan Daur Ulang, Dr. Sri Rahayu menyampaikan, baik proses pirometalurgi maupun hidrometalurgi, memerlukan pretreatment atau perlakuan awal, seperti pengosongan daya baterai (discharging), penyortiran baterai bekas berdasarkan jenisnya, penghancuran baterai bekas, dan sebagainya.
Langkah ini dilakukan sebelum masuk ke proses daur ulang utama agar nilai efisiensi ekstraksi logam dapat ditingkatkan dan energi yang dibutuhkan untuk proses daur ulang dapat diminimalisasi.
Ekonomi sirkular
Sejalan dengan hal itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk mengelola limbah baterai kendaraan listrik melalui pendekatan ekonomi sirkular.
Diklaim sebagai model baru dari konsep reduce, reuse, dan recycle, ekonomi sirkular memaksimalkan kegunaan dan nilai tambah dari suatu bahan mentah, komponen, dan produk sehingga mampu mengurangi jumlah bahan sisa yang tidak digunakan dan dibuang ke tempat pembuangan akhir.
Pendekatan ekonomi sirkular juga meliputi perencanaan desain bahan baku, desain produk, serta proses produksi sehingga memiliki siklus penggunaan yang lebih panjang.
“Prosesnya mulai dari pengumpulan, penghancuran, pengolahan secara kimia dengan teknologi yang ramah lingkungan,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK, Rosa Vivien Ratnawati.
Daur ulang baterai kendaraan bermotor listrik sebagai bahan baku yang berkelanjutan, dianggap lebih ramah lingkungan karena meminimalisir penggunaan bahan baku baru.
Selain itu, juga memberikan manfaat ekonomi karena dapat menekan biaya produksi komponen utama dari kendaraan listrik.
Rosa menyampaikan pemerintah melalui KLHK mengimbau pabrikan maupun bengkel kendaraan agar memiliki fasilitas pengumpulan baterai bekas, untuk selanjutnya diserahkan kepada pemanfaat limbah aki kendaraan listrik.
Ia juga berharap bahan baku baterai tersebut tidak diekspor ke luar negeri, namun diolah oleh industri pembuatan baterai di dalam negeri sebagai pemasok baterai kendaraaan di seluruh dunia.
“Mendorong investor untuk melakukan proses recycle di Indonesia dengan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan,” ujarnya.
Dengan demikian, sejak proses di hulu hingga hilir, bangsa Indonesia mendapatkan manfaat terbesar dari kekayaan sumber daya alam itu.
Tangerang Selatan – Humas BRIN. Salah satu kebijakan pemerintah untuk meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia adalah dengan program co-firing biomassa limbah pertanian atau sampah perkotaan. Strategi co-firing atau pembakaran dua atau lebih material ini, membuat pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang umumnya menggunakan bahan baku batubara, memiliki tambahan alternatif biomassa yang lebih hijau.
Guna membahas teknologi co-firing, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM), menggelar forum riset ilmiah berupa webinar Ornamat seri ke-21 secara daring pada selasa (10/01).
Webinar ini dikatakan Kepala ORNM BRIN, Ratno Nuryadi akan membahas ‘Co-Firing Biomassa Sebagai Green Solution untuk Masa Depan PLTU Batubara serta Mendukung Transisi Energi Menuju Indonesia NZE 2060’ dan ‘Korosi pada Lingkungan Boiler Co-Firing dan Strategi Mitigasinya’.
Pada kesempatan tersebut, Vice President Technology Development – PT PLN Nusantara Power Ardi Nugroho menjelaskan pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. “Komitmen ini tertuang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) yang merupakan tindak lanjut Paris Agreement yang disahkan melalui Undang-Undang No 16 Tahun 2016. Dalam penyampaian First NDC Indonesia disebutkan target penurunan emisi 29 % di 2030 dengan upaya sendiri maupun hingga penurunan 41 % dengan bantuan internasional,” ungkapnya.
Ardi menjelaskan bahwa di Indonesia memiliki potensi biomassa yang kaya. “Sebuah studi pada 2018, potensi biomassa di Indonesia sebagai negara hutan hujan tropis dengan dua musim di khatulistiwa, cukup besar. Potensi hutan, perkebunan dan pertanian selain sebagai paru-paru dunia, bahan pangan, rempah-rempah, rantai karbon dalam biomassa juga bisa dimanfaatkan sebagai energi alternatif,” imbuhnya.
Menurutnya, co-firing merupakan pemanfaatan bahan bakar dari biomassa dan sampah untuk pembangkit listrik dapat dilaksanakan dengan cepat. “Tanpa perlu melakukan pembangunan pembangkit dan sebuah teknologi substitusi batubara, dengan bahan bakar energi terbarukan pada rasio tertentu bisa dilakukan dengan tetap memperhatikan kualitas bahan bakar sebagai kebutuhan,” terangnya.
Sebagai informasi, PLN memiliki tugas yaitu melayani kebutuhan energi nusantara, yakni memberikan akses kepada seluruh masyarakat untuk mendapatkan hak akses kelistrikan. “Rasio elektrifikasi di Indonesia dalam 10 tahun terakhir meningkat hingga 99,5 %, sehingga kami berupaya menjaga listrik tetap andal (reliable) dan harga listrik terjangkau oleh masyarakat (affordable),” urainya.
Sementara peneliti dari Kelompok Riset Material Berketahanan Tinggi, Pusat Riset Material Maju Ahmad Afandi menjelaskan bahwa pemerintah telah mencanangkan peta jalan net zero emission (NZE) 2060, dengan fokus utama mengatasi masalah emisi karbon tertinggi Indonesia dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil. “Salah satu strategi NZE 2060 adalah melakukan pengurangan pembangkit listrik tenaga fosil dengan mengganti bahan yang ramah lingkungan,” kata Afandi.
Pada tahun 2021 hingga 2025, pemerintah menjalankan peta jalan pengurangan emisi karbon sesuai dengan framework Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilence (LTS-LCCR). “Langkah-langkah strategis yang harus diambil seperti transisi energi penggunaan kompor listrik, lampu LED dan gas kota, implementasi EBT, penghentian dini pembangkit berbasis batubara, perluasan co-firing PLTU, serta konversi diesel ke gas dan EBT,” ulasnya.
Kemudian, Afandi menyampaikan fenomena permasalahan PLTU co-firing yang ada di Indonesia. “Di Indonesia ada tiga tipe co-firing boiler PLTU, yakni tipe stoker (500-7000C) permasalahannya adalah erosi, tipe CFB Boiler (800-9000C) permasalahannya erosi-korosi, serta PC Boiler (900-11000C) yang mengalami oksidasi-korosi. Tipe ketiga dengan kapasitas besar dan temperatur tinggi ini yang banyak dibangun di transmisi Jawa-Bali,” sebutnya.
“Sejauh ini bahan bakarnya adalah batubara, yang perlahan diminta untuk ditambahkan campuran biomassa dan sampah perkotaan. Sehingga kami di BRIN bersama dengan PT PLN Nusantara Power, untuk memulai pengujian penambahan batubara dengan kisaran persentase mulai 5, 10, 15, 30, dan 50 persen biomassa dan sampah perkotaan,” lanjutnya.
Terkait fenomena korosi atau degradasi material akibat reaksi kimia pada boiler pembangkit listrik uap bertemperatur tinggi, Afandi dan tim yang bekerja sama dengan PT PLN Nusantara Power, juga melakukan proyek penelitian terkait pengujian coating TKDN (tingkat komponen dalam negeri) dengan berbasis besi (Fe) pada tube boiler. “Kami mengkaji metal coating untuk kondisi co-firing di Indonesia, dengan komposisi dominan Fe-based, untuk dua tahap uji, yaitu uji lab dan uji kupon,” ulasnya.
Menurut Afandi, hasil pengujian korosi dalam mitigasi korosi co-firing boiler, desain paduan metal coating memiliki pengaruh dalam pencegahan korosi. Thermal coating dan slurry coating pun berpengaruh dalam meminimalisir porositas.
“Hasil perspektif kami, semoga kita bisa mengejar TKDN metal coating untuk co-firing boiler sesuai yang diharapkan juga oleh PT PLN Nusantara Power,” pungkasnya. (jp,esw/ed:ls,adl)
Tangerang Selatan, Humas BRIN. Gerald Ensang Timuda, periset Pusat Riset Material Maju – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada Selasa (16/7) mempresentasikan risetnya berjudul “Aplikasi Material Metal Oksida Nanostruktur untuk Produksi Hidrogen Ramah Lingkungan”. Topik riset tersebut dipresentasikan pada webinar ORNAMAT seri #7 tahun 2022 di lingkungan Organisasi Riset Nano Teknologi dan Material BRIN
Dalam paparannya, Gerald menyampaikan alasan melakukan riset material nanostruktur untuk produksi hidrogen.Gerald menjelaskan bahwa riset ini merupakan salah satu bagian dari upaya untuk menciptakan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). “Penggunaan energi berbasis fosil di Indonesia ketersediaannya semakin menipis dan juga polusi yang dihasilkan, sehingga diperlukan upaya efisiensi dan alternatif sumber energi baru,” ujarnya.
“Kami memilih hidrogen sebagai salah satu solusi bahan bakar, karena kita memiliki teknologi berbasis hidrogen untuk menghasilkan listrik yang kita kenal dengan fuel cell. Teknologi ini hanya menghasilkan produk samping berupa air, uap air dan panas, jadi sangat ramah lingkungan,” tutur Gerald.
Bagaimana Hidrogen Diproduksi?
Hidrogen dapat diperoleh dengan berbagai macam metode. Yang paling umum digunakan disebut Steam Methane Reforming. Prosesnya adalah dengan mereaksikan gas metana dengan uap air (steam) bersuhu tinggi (700 – 1000 oC) pada tekanan sekitar 3-25 bar. Tetapi permasalahan dari metode ini adalah gas metana berasal dari gas alam yang berarti masih termasuk sumber bahan bakar fosil, dan dalam prosesnya menghasilkan gas-gas rumah kaca seperti CO dan CO2 selain gas hidrogen.
Metode popular lain adalah elektrolisis air. Molekul air (H2O) dipecah menjadi gas oksigen (O2) dan gas hidrogen (H2) menggunakan energi listrik. Permasalahan utama dari proses ini adalah energi yang dibutuhkan untuk memecah air menjadi gas hidrogen dan oksigen selalu lebih tinggi dibandingkan proses sebaliknya. Sehingga, tidak masuk akal jika hidrogen hasil elektrolisis air dijadikan sumber energi listrik.
“Oleh karena itu, perlu digunakan sumber energi lain untuk memecah molekul air”, ujar Gerald. Metode yang dikembangkan oleh Gerald dan timnya adalah dengan memanfaatkan energi surya sebagai sumber energinya, yang dikenal dengan sistem Photoelectrochemical Water Splitting.
Permasalahan Intermittency
Konversi energi surya umumnya menjadi listrik menggunakan sel surya (solar cell). Tetapi ada permasalahan intermittency. Yaitu, energi matahari bersinar siang hari, tetapi kebutuhan energi yang sangat tinggi itu terjadi di malam hari. Jadi tidak ada ketidakcocokan di sini.
Ketidakcocokan kebutuhan energi ini membutuhkan adanya teknologi sekunder seperti teknologi baterai untuk menyimpan listrik hasil konversi sel surya. Alternatif lain adalah penyimpanan energi dalam bentuk gas hidrogen. Hidrogen bisa dikonversi kapan saja menjadi listrik kembali menggunakan piranti seperti fuel cell, sehingga bisa mencukupi kebutuhan energi di waktu-waktu ketika pasokan energi matahari tidak ada atau kurang optimal.
Pasokan energi dari matahari cukup melimpah
Penggunaan energi surya untuk produksi hidrogen sangat potensial karena pasokan energi dari matahari sangat berlimpah. Pasokan energi matahari ke permukaan bumi dapat mencapai 10.000 kali konsumsi energi global. Oleh karena itu, secara ideal, jika sumber energi dari matahari ini bisa dikonversi dengan priranti yang memiliki efisiensi 10%, maka perlu menutupi permukaan bumi sebesar 0,1 % saja untuk dapat mencukupi kebutuhan energi global. Dalam skala lokal, menutupi daerah kurang lebih seluas ibu kota baru, cukup untuk memenuhi kebutuhan energi nasional.
Produksi Hidrogen dengan Energi Surya
Gerald dan tim memproduksi hidrogen sendiri dengan bantuan energi surya yaitu menggunakan energi matahari ini sendiri, untuk mengaktifkan salah satu elektroda dari alat elektrolis air. “Dengan elektroda ini yang menyerap energi dari matahari dan memecah hidrogen atau oksigen yang ada di air secara langsung,” menurut Gerald.
Terknologi ini, Gerald dan tim menamakan sistem Photoelectrochemical (PEC) Water Spliting, yang sedang dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir.
Prinsip PEC Water Spliting
Prinsip PEC Water Spliting adalah, saat cahaya matahari yang masuk ke sistem maka cahaya matahari akan diserap oleh suatu material aktif (fotoabsorber). Material fotoabsorber di sini adalah material semikonduktor yang memiliki level energi konduksi dan valensi yang bersesuaian dengan level energi reduksi maupun oksidasi air sehingga mampu menghasilkan gas hidrogen dan oksigen.
Setelah energi cahaya diserap oleh material absorber sebagai foto-anoda, elektron yang ada di level valensi dari material tersebut akan tereksitasi menuju level konduksi, dan meninggalkan hole di level valensi. Hole ini akan mengoksidasi air sehingga molekul air terpisah menghasilkan gas oksigen dan ion H+. Elektron tereksitasi di level konduksi akan dikeluarkan ke rangkaian eksternal menuju katoda, dan digunakan untuk mereduksi ion H+ dan menghasilkan gas hidrogen.
Mengapa Perlu Nanostruktur?
Struktur nano sangat dibutuhkan agar bisa diperoleh luas permukaan yang tinggi sehingga semakin banyak lokasi terjadinya reaksi pemecahan air. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan pula sifat listrik material setelah menjadi struktur nano.
Hambatan listrik bisa menjadi lebih tinggi setelah berstruktur nano dibandingkan bulk-nya, misalnya untuk jenis mesoporous nanoparticle. Hal ini mengakibatkan berkurangnya elektron yang tersedia untuk reaksi reduksi air sehingga produksi hidrogen juga menurun.
“Untuk meningkatkan sifat listrik, pengembangan struktur 1D atau 2D seperti nanorod atau nanosheet menjadi pilihan, meskipun dengan trade-off luas permukaan yang semakin kecil,” ujar periset muda ini.
Nanostruktur Metal Oksida di PEC Water Splitting
Beberapa contoh aplikasi nanostruktur untuk beberapa jenis material metal oksida, antara lain:
Zinc oxide atau seng oksida (ZnO)
Pada paper Electrochemistry Communications 13 (2011) 1383-1386, dijelaskan perbedaan antara dua nanostruktur ZnO untuk PEC Water Splitting, yaitu nanotube dan nanosheet. Nanosheet menghasilkan photocurrent yang lebih tinggi dari nanotube. Respon photocurrent adalah respon arus yang dihasilkan ketika foto-anoda semikonduktor disinari cahaya. Ini adalah salah satu cara mendeteksi sifat foto-anoda yang baik.
Paper Nano Energy 20 (2016) 156-167 juga mempelajari perbedaan berbagai nanostruktur ZnO, dan dalam hal ini orientasi kristal dari permukaan material yang terekspos ke air juga dipelajari: nanosheet dengan orientasi (002), nanorod (100), dan nanopiramida (101). Pada penelitian ini juga didapatkan bahwa struktur nanosheet dengan orientasi (002) menghasilkan photocurrent terbesar.
Dari kedua contoh di atas, telah diperlihatkan pentingnya nanostruktur yang tepat untuk aplikasi PEC Water Splitting. Kami juga melakukan penelitian ke arah ini. Dari paper yang sebelumnya mereka membuat nanosheet dengan posisi lembaran (sheet)-nya sejajar dengan permukaan substrat, sekarang kami mencoba membuat nanosheet yang lembarannya tegak lurus terhadap substrat (berdiri). Harapannya, nanosheet dapat ditumbuhkan ke atas (semakin tinggi) sehingga luas permukaannya juga semakin tinggi.
“Hasil penelitian kami ini telah kami publikasikan di AIP Conf.Proc.2382 (2021) 020006. Selain itu kami juga mengembangkan metode baru untuk sintesis serbuk ZnO sehingga menghasilkan struktur unik spiked-nanosheet. Aplikasi serbuk ini sebagai PEC Water Splitting telah kami laporkan di ‘The 6th International Symposium on the Frontier of Applied Physics (ISFAP 2021)’, di mana prosidingnya akan dipublikasikan dalam waktu dekat ini,” urai Gerald.
Titanium dioxide (TiO2)
Material semikonduktor metal oksida lain yang mirip dengan ZnO dari segi level energi dan bandgap adalah TiO2. Untuk aplikasi sebagai foto-anoda sistem PEC Water Splitting, berbagai jenis nanostruktur telah dilaporkan, antara lain nanoparticle, nanotube, nanorod, nanotube dan nanorod bercabang, dsb. (Small (2019) 1903378). Respon photocurrent yang lebih besar diperoleh untuk struktur dengan luas permukaan tinggi seperti nanotube dan nanorod bercabang.
Bismuth Vanadate (BiVO4)
Kedua material yang sudah diterangkan di atas, ZnO dan TiO2, hanya mampu menyerap cahaya ultraviolet (UV) dari sinar matahari. Padahal, cahaya UV hanya bagian kecil dari spektrum cahaya matahari. Spektrum cahaya tampak, yang merupakan porsi terbesar, tidak bisa diserap. Untuk meningkatkan efektivitas penyerapan, perlu dikembangkan material yang mampu menyerap cahaya tampak, seperti Bismuth Vanadate (BiVO4)
Material ini termasuk yang tertinggi efesiensinya di golongan metal oksida untuk aplikasi foto-anoda PEC Water Splitting. Paper Nature Communication 6 (2015) 8769 melaporkan struktur BiVO4 nanoporous nano-coral dan mendapatkan efisiensi yang tertinggi di kelasnya.
Hematit (Fe2O3)
Material metal oksida lain yang memiliki spektrum penyerapan cahaya tampak adalah hematit (Fe2O3). Paper NanoscaleHoriz 1 (2016) 243-267 menjelaskan berbagai nanostruktur hematit untuk aplikasi PEC Water Splitting, seperti nanorod, dendrites, nanocone, cauliflower, dan nanosheet. Salah satu permasalahan hematit adalah mudahnya elektron tereksitasi kembali ke level semula (dikenal dengan rekombinasi). Sehingga, sintesis menjadi struktur nano selain untuk meningkatkan luas permukaan juga untuk meningkatkan sifat transportasi elektronnya. Di antara berbagai nanostruktur di atas, struktur nanocone dan cauliflower termasuk yang tertinggi respon photocurrent-nya.
Struktur hybrid
Selain pengembangan nanostruktur, Gerald dan timnya juga mengembangkan struktur hybrid atau heterostruktur antar metal oksida.
“Hal ini berfungsi untuk melebarkan spektrum cahaya matahari yang bisa diserap oleh material. Material nanostruktur seperti ZnO dan TiO2 memiliki sifat fotoelektrik yang baik, namun hanya mampu menyerap spektrum ultraviolet (UV) dari cahaya matahari. sementara kita ingin penyerapan bisa sampai di visible,” kata Gerald.
“Di sisi lain, Fe2O3 memiliki spektrum penyerapan di cahaya tampak, tetapi sifat transport elektronnya kurang baik sehingga hanya sedikit elektron yang bisa dimanfaatkan untuk mereduksi air. Dengan struktur hybrid diharapkan sifat transportasi elektron meningkat sehingga elektron yang dihasilkan dari penyerapan cahaya tampak bisa lebih banyak tersedia untuk reduksi air,” pungkasnya. (hrd/ ed. adl)
Tangerang Selatan – Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM) mengenalkan dua aplikasi material untuk energi. Kedua aplikasi tersebut diulas pada webinar ORNAMAT seri ketujuh, Selasa (26/7).
Kedua material energi tersebut yakni lithium titanate untuk anoda baterai kendaraan listrik dan material metal oksida nanostruktur untuk produksi hidrogen ramah lingkungan.
Kepala ORNM – BRIN, Ratno Nuryadi mengatakan, webinar kali ini menampilkan dua narasumber dari Pusat Riset Material Maju – BRIN. Keduanya mempunyai kesamaan yakni membahas material untuk energi.
“Tema material untuk energi merupakan salah satu usaha solusi kita untuk menyelesaikan isu-isu global, dan salah satunya memang energi ini masih menjadi isu global, tidak hanya di Indonesia saja, tetapi juga di internasional,” ujar Ratno.
Ratno menyampaikan, terkait dengan energi, baik baterai maupun hidrogen merupakan bagian dari bidang energi baru dan terbarukan (new and renewable energy). “Dalam rangka untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yaitu karbon dioksida (CO2) dan di sektor tranportasi mempunyai peran yang besar dalam kontribusi menghasilkan emisi CO2,” tuturnya.
“Memang salah satu usahanya menghadirkan kendaraan listrik di sini. Sehingga nanti secara bertahap sektor transportasi emisi CO2 yang dikeluarkannya akan bisa berkurang,” ucap Ratno.
Ratno juga menambahkan ada sektor lain yang menyumbang emisi CO2, seperti pembangkit listrik, industri, dan perumahan.
Dalam kegiatan tersebut, periset dari Kelompok Riset Baterai, Slamet Priyono, menyampaikan topik Aplikasi Lithium Titanate untuk Anoda Baterai Kendaraan Listrik.
Slamet menjelaskan, Spinel Lithium Titanate adalah bahan anoda yang sangat menjanjikan sebagai pengganti grafit karena keamanannya, stabilitas siklik yang sangat baik, tegangan kerja yang stabil, dan bersifat zerostrain (tidak mengalami perubahan kisi ketika proses charge-discharge). “Namun material Lithium Titanate memiliki kekurangan seperti konduktifitas elektronik dan difusi ionik yang rendah,” terangnya.
Untuk penggunaan karbon super-P dan doping ion Al cukup efektif untuk meningkatkan konduktivitasi elektronik dan ionik serta menjaga stabilitas siklik hingga 400 cycle.
“Namun demikian, Lithium Titanate yang digunakan sebagai elektroda anoda saat ini masih banyak hal yang perlu diperbaiki, terutama dalam mengotrol ketebalan pelapisan karbon, dan meningkatkan densitas energi dengan membentuk elektroda berpori,” urai Slamet.
Pada pertemuan yang sama, periset dari Kelompok Riset Material Fotokonversi Energi, Gerald Ensang Timuda, memaparkan tentang Aplikasi Material Metal Oksida Nanostruktur untuk Produksi Hidrogen Ramah Lingkungan.
Gerald menerangkan bahwa Photoelectrochemical (PEC) Water Splitting memiliki potensi tinggi untuk menghasilkan hidrogen dengan metode yang ramah lingkungan. “PEC merupakan salah satu cara untuk menyimpan energi di siang hari, kemudian kita simpan menjadi hidrogen untuk digunakan di waktu yang fleksibel,” kata Gerald.
PEC Water Splitting adalah sistem menggunakan energi dari matahari untuk mengaktifkan salah satu elektro dari alat elektrolisis air, sehingga elektroda yang menyerap energi dari matahari dan memecah hidrogen air atau oksigen yang ada di air secara langsung.
“Peran aplikasi material metal oksida nanostruktur material itu krusial untuk merekayasa sifat-sifat elektrik dari material foto anoda untuk PEC Water Splitting,” jelas Gerald. (hrd/ ed. adl)
Tangerang Selatan – Humas BRIN. Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menggelar webinar ORNAMAT seri keempat secara daring, Selasa (14/6). Webinar kali ini mengusung dua tema yakni riset tentang polimer dan sel bahan bakar (fuel cell).
Kepala ORNM BRIN, Ratno Nuryadi, dalam sambutannya menyampaikan manfaat dari kedua riset yang disajikan oleh narasumber. “Pada kesempatan ini kita menghadirkan riset dari dua narasumber. Material prolipropilena ini merupakan sebuah material polimer termoplastik yang bisa digunakan dalam berbagai aplikasi seperti pengemasan, tekstil, perlengkapan laboratorium, komponen otomotif, dan lain sebagainya,” terangnya.
“Potensi pasar dari kebutuhan plastik di Indonesia sangat besar, sekitar 5,1 juta ton/tahun, tetapi sebagian besar masih impor. Kebutuhan plastik yang dipenuhi oleh industri lokal hanya sekitar 47% per tahun. Kebutuhan plastik nasional ini akan terus meningkat 5% lebih per tahun,” imbuh Ratno.
“Ini menjadi tantangan buat kita semua untuk menguatkan riset di bidang polimer plastik fungsional. Ini turut menjadi urgen dalam rangka subtitusi impor dan juga pemanfaatan sumber daya alam lokal,” lanjutnya.
Riset lainnya yakni Logam Tanah Jarang (LTJ), menurut Ratno merupakan material yang banyak dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama di bidang industri. “Indonesia memiliki sumber LTJ yang melimpah yang tersebar di berbagai daerah,” ucapnya.
Dirinya menambahkan bahwa cerium gadolinium oxide (CGO) merupakan material LTJ strategis yang sedang banyak diburu industri. “Aplikasi CGO sangat besar dalam kehidupan sehari-hari, seperti baterai isi ulang, telpon seluler, magnet, lampu, dan fuel cell. Mineral LTJ banyak dijumpai di Sumatera Utara, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, dan Riau. Fuel cell merupakan perangkat pembangkit energi yang ramah lingkungan dimana mengubah energi kimia melalui reaksi hidrogen oksigen menjadi energi listrik,” urainya.
Ratno berharap agar dua presentasi ORNAMAT kali ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan yang lebih luas, dan membuka peluang kolaborasi. “Webinar ini diatur sedemikian rupa agar menjadi wahana bagi periset khususnya di ORNM, untuk saling berbagi hasil risetnya dengan tujuan membuka peluang kerja sama riset maupun industri, terkait dengan pemanfaatan dan komersialisasi ke depannya,” harapnya.
Peneliti dari Pusat Riset Teknologi Polimer, Yogi Angga Swasono, menjelaskan penelitiannya yang berjudul ‘Optimasi Sifat Mekanis Tensile Strength Komposit Polipropilena/Clay Menggunakan Alat Proses Twin Screw Extruder’.
Dikatakan Yogi, polipropilena (PP) adalah salah satu jenis termoplastik polimer yang digunakan sebagai matriks dalam polimer komposit. “Clay atau lempung/tanah liat digunakan luas sebagai pengisi pada polimer komposit. Polimer Komposit ini dapat digunakan pada otomotif, aeronautikal, material-material untuk bangunan, peralatan rumah tangga, dan sebagai kemasan. Keunggulan dari polimer komposit ini adalah resistensi terhadap korosi, lebih mudah pembuatannya, ringan, kuat, dan sifatnya elastis,” kata Yogi.
Menurutnya terdapat tantangan yang perlu diperhatikan dalam penggabungan PP dan clay. “Dispersi dari matriks PP, ikatan antara PP dan clay, penggunaan compatibilizer, serta kondisi proses,” terang Yogi.
Berdasarkan hasil risetnya, Yogi menyimpulkan bahwa kekuatan tarik dari clay dipengaruhi oleh rasio clay, compatibilizer, kecepatan alat screw, temperatur, serta difusi PP pada lapisan-lapisan clay.
Pada kesempatan yang sama, peneliti dari Pusat Riset Material Maju, Sri Rahayu menyampaikan hasil penelitiannya dengan judul ‘Sintesa Co-doped Cerium Gadolinium Oxide dengan Metoda Sol Gel Ramah Lingkungan untuk Aplikasi Solid Oxide Fuel Cell”.
Dalam paparannya Sri menyampaikan alasan melakukan riset material untuk fuel cell. “Latar belakang riset ini adalah kegundahan banyak orang, terkait dampak lingkungan yang disebabkan penggunaan pembangkit fosil. Negara-negara kemudian bersepakat untuk mengganti fosil mereka terutama baru bara, dengan pembangkit lain yang lebih ramah lingkungan, salah satunya fuel cell,” tuturnya.
“Fuel cell adalah perangkat elektrokimia yang mengubah reaksi kimia menjadi energi listrik. Cara kerjanya mirip dengan cara kerja baterai. Fuel cell hasilnya sangat bersih untuk lingkungan, murah dan gampang aplikasinya,” jelas Sri.
Solid Oxide Fuel Cell (SOFC) merupakan salah satu tipe fuel cell yang disukai karena bisa menggunakan hidrogen dan gas alam lainnya serta mampu beroperasi pada suhu tinggi. “Namun kekurangannya material menjadi mudah terdegradasi karena suhu tinggi serta biaya operasional dan pemeliharaan yang besar,” terang Sri.
Oleh karena ungkap Sri, perlu ada solusi untuk membuat SOFC dengan suhu operasional di bawah 600 derajat Celcius. “Upaya menurunkan suhu adalah membuat elektrolit padat dan ion konduktif tinggi. Salah satunya adalah dengan co-doped atau dua substitusi ion,” ujarnya.
Sri pun menawarkan metode pembuatan nanopartikel CGO dari dengan teknik sol gel yang ramah lingkungan dari sodium alginate ekstraksi ganggang coklat. “Riset ini berpotensi menghasilkan nanopartikel dari senyawa logam untuk SOFC karena temperatur yang rendah dan menggunakan material yang ramah lingkungan untuk menekan harga produksi,” pungkasnya. (esw/ ed: adl,pur)