Jakarta – Humas BRIN, Metode RT-LAMP (reverse transcription loop mediated isothermal amplification) untuk mendeteksi Covid-19 diklaim telah terbukti secara saintifik dan memenuhi standar regulasi yang berlaku. Riset pengembangan RT-LAMP memakan waktu hingga 2 tahun, sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia pada awal tahun 2020. Kini, RT-LAMP telah mengantongi izin edar reguler dari Kementerian Kesehatan.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko, mengatakan, RT-LAMP merupakan salah satu bukti nyata bahwa para periset kita, dengan kepakaran yang berbeda, bisa berkolaborasi dalam menghasilkan inovasi yang bermanfaat untuk masyarakat.
“Tugas saya memfasilitasi para periset kita supaya RT-LAMP ini bisa mencapai proven secara saintifik dan memenuhi standar regulasi,” ungkap Handoko, pada Peluncuran RT – LAMP, di Gedung B.J Habibie, Thamrin, Jakarta, Jumat (21/01).
RT-LAMP merupakan hasil riset kolaborasi antara para periset BRIN dari Pusat Riset Kimia, Pusat Riset Fisika, Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman, Pemerintah Provinsi Banten melalui Laboratorium Kesehatan Daerah, dan mitra swasta – PT Biosains Medika Indonesia.
Handoko mengakui bahwa para periset kita belum pernah melakukan penelitian serupa sebelumya.
“Kalau kita bicara riset, riset itu 90 persen gagal. Teman-teman periset kita berjuang begitu keras dan lama untuk mencapai standar regulasi dan saintifik ini,” tambahnya.
Plt. Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Teknik (OR IPT) BRIN, Agus Haryono mengatakan, di negara lain seperti Belanda dan Spanyol, metode RT-LAMP digunakan sebagai golden standard yang setara dengan RT-PCR.
“Harapannya RT-LAMP ini bisa menjadi salah satu alternatif golden standard. Saat ini kami juga mengembangkan RT-LAMP versi pengambilan sampel melalui saliva (air liur),” katanya.
Peneliti dari Pusat Riset Kimia – OR IPT BRIN, Tjandrawati Mozef, menjelaskan, RT-LAMP menggunakan sampel ekstrak RNA hasil swab hidung yang dapat dideteksi secara kualitatif dengan melihat adanya presipitasi dengan akurasi yang baik. Namun menurutnya, dengan sampel saliva yang sudah diinaktivasi juga bisa dideteksi dengan kit ini, selama sampelnya itu mengandung RNA virus.
“Jadi pengambilan lokasi sampel itu berkaitan dengan proses infeksi itu sendiri. Kenapa sampelnya itu diambil dari hidung, karena virus itu reseptornya di saluran pernapasan atas. Dia (virus) berkembang biak dulu di situ, jadi secara akut, pada saat pertama terinfeksi, mau tidak mau di saluran atas. Beberapa hari kemudian setelah virusnya berkembang biak dan jumlahnya banyak baru masuk ke saliva yang kemudian bisa menularkan, karena penularannya kan melalui droplet. Jadi memang tergantung kebutuhan, kalau ingin tahu secara dini, mau tidak mau sampelnya harus diambil dari hidung,” bebernya.
Selain Kit RT-LAMP, BRIN juga tengah mengembangkan alat real-time turbidimeter, yang sedang dalam proses sertifikasi. Alat ini bisa meningkatkan performa dari sisi deteksi karena hasilnya dapat dideteksi secara kuantitatif.
“Alat yang kami buat ini mendukung reagen atau kit RT-LAMP yang telah lebih dulu dikembangkan. Sehingga hasilnya berupa keruhan bisa dilihat secara kuantitatif, realtime, suhunya bisa di-setting. Dengan realtime kita bisa melihat hasilnya, jadi lebih akurat dan mengurangi subyektivitas,” jelas peneliti dari Pusat Riset Fisika BRIN, Agus Sukarto.
Peluncuran RT-LAMP ditandai dengan penandatanganan perjanjian kerja sama lisensi antara Deputi Bidang Pemanfaatan Riset dan Inovasi BRIN dan PT Biosains Medika Indonesia. Penandatanganan dilakukan oleh Plt. Deputi Bidang Pemanfaatan Riset dan Inovasi BRIN, Mego Pinandito dan Direktur PT Biosains Medika Indonesia, Rifan Ahmad (tnt).