Sistem Pemantauan Gerakan Tanah Terhubung Jaringan Sensor Nirkabel

Tangerang Selatan, Humas BRIN. Suryadi, periset Pusat Riset Fotonik – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada Selasa (17/5) memaparkan penelitiannya yang berjudul ‘Sistem Monitoring Gerakan Tanah Terhubung Jaringan Sensor Nirkabel’. Topik riset tersebut dipresentasikan pada webinar ornamat seri #2 tahun 2022 di lingkungan Organisasi Riset Nano Teknologi dan Material BRIN.

Indonesia diberkahi banyak kelebihan terkait dengan lokasi geografis yang berada di daerah tropis. Namun demikian, dibalik anugrah yang cukup besar tersebut juga tersimpan potensi bencana yang cukup besar. 

Dilansir oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), berdasarkan Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia, tahun 1815 – 2015, bahwa hampir seluruh wilayah Indonesia mengalami ancaman bencana yang cukup tinggi. 

“Terkait dengan bencana gerakan tanah atau tanah longsor kalau mengacu pada data dari BNPB, dari tahun 2010-2015, dari sisi kejadian itu mencapai 20,2%, dibandingkan dengan total bencana kejadian yang terjadi. Kemudian dari sisi korban jiwa, yaitu mencapai 25,4%,” ujar Suryadi.

Gerakan tanah merupakan salah satu jenis bencana yang sangat tinggi bahayanya. Dengan frekuensi kejadian yang cukup tinggi, serta dapat menyebabkan terjadinya korban jiwa maupun kerusakan infrastruktur. 

Akibat dari gerakan tanah, maka sangat diperlukan suatu upaya untuk bisa mereduksi risiko yang mungkin terjadi. Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan sistem pemantauan yang harapannya bisa menjadi dasar pengambilan keputusan untuk menekan risiko bencana.

Selain bencana akibat gerakan tanah itu sendiri, bahkan ketika bencana itu sudah terjadi, masih terdapat adanya risiko yaitu yang disebabkan oleh longsor susulan.  Longsor susulan biasanya kurang menjadi konsen karena mungkin tanggap darurat berfokus pada pencarian korban, sehingga kewaspadaannya menjadi lebih rendah. 

“Dari kasus gerakan tanah serta risiko longsor susulan, maka perlu adanya suatu sistem mobile yang dapat digunakan untuk pemantauan jangka pendek, misalkan ketika operasi tanggap darurat,” ucapnya.

Dari kasus sangat berbahayanya gerakan tanah,  Suryadi dan tim melakukan riset yang terkait dengan sistem monitor gerakan tanah antara lain merancang dan membangun sistem monitor gerakan tanah. Sistem monitor dikembangkan dengan beberapa jenis sensor pendukung antara lain sensor ekstensometer, tiltmeter, maupun modul analog.

Kemudian mengembangkan perangkat gateway yang menjadi koordinator dalam implementasi jaringan sensor nirkabel. Gateway dilengkapi suatu aplikasi monitor berbasis web untuk memudahkan proses monitor.

Periset fotonik ini juga mengembangkan perangkat mobile yang dapat digunakan dalam proses tanggap darurat. Perangkat mobile tersebut karakteristiknya mudah dipindahkan, serta mendukung operasi monitor jangka pendek.

Selanjutnya juga melakukan beberapa karakterisasi maupun pengujian dari sensor maupun sistem yang dikembangkan. 

Teori Gerakan Tanah

Gerakan tanah adalah suatu gerakan menuruni lereng baik berupa tanah, batuan, maupun material organik yang diakibatkan oleh pengaruh gaya gravitasi. Untuk jenis-jenis gerakan tanah itu sendiri ada berbagai macam jenis antara lain: translasi (flow), rotasi (slump), pergerakan blok (slide), runtuhan batu (fall), rayapan tanah (creep), dan robohan (topple).

Dari sisi penyebabnya, gerakan tanah dikategorikan oleh faktor alami seperti kenaikan air pori karena curah hujan tinggi, maupun kegiatan manusia seperti modifikasi lereng, penebangan pohon, dan sebagainya.

Jaringan Sensor Nirkabel

Jaringan sensor nirkabel (wireless sensor network) adalah suatu jaringan sensor yang biasanya secara spasial terpisah namun saling terhubung secara nirkabel.

“Jaringan sensor nirkabel biasanya bekerja untuk memonitor parameter-paramenter fisis lingkungan, yang kemudian data hasil monitor itu dapat dikirim ke suatu lokasi terpusat, hingga dapat dimonitor dari lokasi yang berbeda,” kata Suryadi.

Di sisi topologi sebenarnya jenis jaringan sensor nirkabel yang sudah dikembangkan sangat banyak, namun yang cukup terkenal antara lain star, mesh, dan tree.

Berikutnya, salah satu protokol pada jaringan sensor nirkabel yang banyak digunakan adalah Zigbee

Zigbee adalah suatu protokol yang mengacu pada standar IEEE 802.15.4. Protokol ini dapat beroperasi pada beberapa pita tidak berlisensi antara lain 2,4 GHz, 900 MHz, dan 868 MHz. 

Dalam jaringan ini, ada tiga peran yang dapat diperankan oleh suatu simpul sensor, yaitu:

  1. Koordinator yang berfungsi untuk membentuk jaringan dan mengatur rute lalu lintas data. 
  2. Router yang mempunyai kemampuan untuk meneruskan (routing) informasi dari suatu perangkat ke perangkat yang lain.
  3. End Device yang hanya dapat berkomunikasi dengan perangkat induk mereka, baik koordinator maupun router.

Dari sisi power, peran koordinator maupun router harus selalu menyala (on), karena berfungsi untuk meneruskan informasi. Sedangkan end device pada waktu tertentu mampu sleep/non-aktif untuk menghemat energi. 

Sistem Monitor Gerakan Tanah

Sistem monitor gerakan tanah yang Suryadi bersama tim kembangkan terdiri dari beberapa jenis sensor (modul sensor, tiltmeter, ekstensometer, dan gateway + alarm), yang biasanya di dalam satu lokasi yang secara spasial itu terpisah. “Masing-masing sensor ini mempunyai suatu fungsi untuk mengukur parameter yang berkaitan dengan fenomena gerakan tanah,” jelas Suryadi.

Ia memaparkan bahwa beberapa sensor (modul sensor, tiltmeter, dan ekstensometer), terhubung secara nirkabel dengan suatu perangkat gateway. Dari perangkat gateway ini kemudian data diteruskan melalui jaringan internet ke server yang fungsinya untuk menyimpan data. 

Biasanya server ini juga dilengkapi dengan aplikasi monitor berbasis web, sehingga memudahkan proses monitor maupun analisa data. Kemudian data yang ada di server bisa diakses dari lokasi mana pun, selama tersedia jaringan internet.

Beberapa komponen sistem monitor gerakan tanah antara lain SSN ekstensometer, SSN tiltmeter, SSN analog, gateway, server, dan clients.

Suryadi dan tim melihat perangkat yang disebut sebagai Simpul Sensor Nirkabel (SSN) atau wireless node ini, sebagai suatu perangkat sensor yang mengukur suatu parameter tertentu. Lalu yang dikembangkan oleh Suryadi dan tim menjadi tiga jenis SSN.

Pertama adalah SSN Analog, suatu perangkat yang memberikan suatu antar muka (interface) untuk sensor-sensor komersial seperti kadar air tanah, tekanan air pori, yang biasanya belum bisa Suryadi dan tim bangun sendiri. Kemudian yang kedua adalah SSN Ekstensometer yang berfungsi untuk mengukur pergeseran pada permukaan tanah. Berikutnya adalah SSN Tiltmeter yang berfungsi untuk  mengukur kemiringan akibat gerakan tanah.

Untuk sisi perangkat lunaknya, secara umum hanya menunggu permintaan dari gateway. Jika ada permintaan, perangkat lunak SSN akan merespon dengan nilai sensor saat itu. Sementara desain PCB Simpul Sensor Nirkabel (SSN), didesain dalam suatu desain PCB universal untuk ketiga modul yaitu SSN analog, SSN ekstensometer, dan SSN tiltmeter.

Hasil pengembangan SSN Analog prinsip utamanya adalah analog to digital converter (ADC). Sensor komersial yang mempunyai output dalam bentuk tegangan maupun arus, bisa dihubungkan ke modul untuk diintegrasikan ke dalam sistem monitor gerakan tanah.

Dari hasil pengembangan untuk SSN Ekstensometer, prinsip kerjanya adalah menggunakan wire potensiometer. Ketika terjadi pergeseran, kawat akan memutar potensiometer yang kemudian perubahan resistansi yang terjadi diubah menjadi perubahan tegangan yang dibaca oleh modul sensor, dan ditransmisikan ke gateway. 

Untuk tiltmeter, sensing unit-nya menggunakan akselerometer untuk mengukur kemiringan dalam kondisi relatif diam, yaitu ketika gaya yang dominan bekerja hanya percepatan gravitasi. Sehingga perubahan  kemiringan terbaca melalui perubahan percepatan yang dialami sensor.

Perangkat keras gateway disusun oleh suatu single board computer (SBC) sebagai komponen utama, kemudian dilengkapi dengan mikrokontroler (MCU) untuk  pencatat curah hujan serta pemicu alarm, baik sirine dan lampu rotari. 

Pada perangkat gateway ada dua transceiver, yaitu transceiver nirkabel untuk komunikasi dengan sensor, sedangkan modem router untuk komunikasi dengan server.

Pada diagram alir perangkat lunak gateway terdiri dari SBC dan MCU, di mana pada SBC setiap interval tertentu akan megirimkan perintah untuk membaca data dari sensor, kemudian data yang terkumpul dikirim ke server. Sementara pada MCU berfungsi untuk mengukur curah hujan, maupun menyalakan alarm dari server.

Untuk hasil pengembangan gateway ada mainboard dari sistem gateway, kemudian diinstalasi di dalam boks panel. Berikutnya, untuk power supply menggunakan panel surya dan baterai.  

Aplikasi Monitor Berbasis Web

Untuk melengkapi sistem monitor, tim Suryadi mengembangkan aplikasi monitor berbasis web. Aplikasi ini dilengkapi dengan halaman masuk (log in) untuk bisa mengakses data-data yang ada di dalam aplikasi tersebut. 

Selain itu, dilengkapi dengan halaman dashboard, ketika pengguna sudah berhasil log in, maka akan tampil halaman yang  menampilkan lokasi dari stasiun monitor yang sedang di monitor. Selain itu dilengkapi status dari masing-masing stasiun apakah sedang aktif atau tidak.

Selanjutnya terdapat halaman data secara real time dalam bentuk grafik maupun dalam bentuk tabel. Selain data yang sifatnya real time, juga dapat mengakses data-data yang sifatnya historis.

“Pada aplikasi halaman data, kita bisa mengatur data dalam rentang yaitu mulai dari kapan sampai kapan, kemudian juga bisa kita tampilkan dalam bentuk bagan maupun tabel,” tuturnya.

Aplikasi monitor juga bisa melakukan konfigurasi terhadap masing-masing sensor yang tergabung dalam sistem monitor. Kemudian juga dilengkapi dengan halaman untuk mengaktifkan alarm pada stasiun yang diinginkan. “Jadi kita bisa memicu alarm dari jarak jauh,” kata Suryadi.

Hasil Pengembangan Mobile Gateway

“Sistem monitor yang kami lakukan sebelumnya bersifat stasioner, jadi biasanya dipasang pada suatu lokasi yang diketahui rawan gerakan tanah/tanah longsor. Kemudian monitor dilakukan dengan harapan bisa mendeteksi lebih dini ketika terjadi tanda-tanda adanya gerakan tanah.  Sedangkan sistem yang ditampilkan berikut ini adalah mobile gateway,” ungkap Suryadi.

Suryadi menambahkan, sebenarnya mobile gateway berfungsi sebagai suatu perangkat yang bisa dengan mudah dipindahkan untuk melakukan monitor gerakan tanah. 

Lebih lanjut, jika dikomparasikan dengan sistem stasioner, mobile gateway diwujudkan dalam suatu perangkat yang kompak dalam bentuk koper, serta dilengkapi dengan komputer mini dan monitor. 

“Dengan menggunakan komputer mini dan monitor, keduanya fleksibel bisa menggunakan baterai, listrik, maupun panel surya, sehingga bisa digunakan untuk memonitor misalkan dalam kasus tanggap darurat. Nanti ketika sudah selesai bisa dibawa pulang kembali,” terangnya.

Ada beberapa karakterisasi sensor yang tim Suryadi lakukan, antara lain karakterisasi SSN analog dengan melihat respon ADC-nya cukup linear. Kemudian untuk karakterisasi SSN Ekstensometer juga memperoleh hubungan yang linear antara displacement terhadap hasil pembacaan ADC nya. Dari hasil pengukuran didapatkan resolusi pengukurannya kurang lebih 0.018 mm.

Tim Suryadi juga mengkarakterisasi SSN Tiltmeter dengan suatu inclinometer acuan, yang targetnya adalah memperoleh resolusi sebesar 0,10 dalam rangka -30 s.d. 300. Suryadi menjelaskan dari hasil perhitungan bahwa sistem yang dikembangkan itu memenuhi untuk karakteristik yang diinginkan, serta responnya juga cukup linier.

Pengujian Komunikasi Nirkabel

Tim Suryadi juga melakukan pengujian komunikasi nirkabel melalui pengujian dengan bantuan dari software uji yaitu XCTU (Xbee Configuration and Test Utility). Dengan software tersebut tim Suryadi  melakukan dua pengujian. 

Yang pertama yaitu range test untuk mengukur/menguji jangkauan serta kualitas antara dua transceiver, dengan melakukan variasi jaraknya antara 20, 57, 168 yang merupakan kondisi line-of-sight, dan 170 meter merupakan non line-of-sight. 

Untuk jarak 170 meter ini, dilakukan dalam kondisi ada penghalang serta variasi paketnya adalah 50 dan 84 byte.

Yang kedua melakukan throughput test untuk mengukur rasio transfer antara dua transceiver di jaringan yang sama. Di sini dilakukan beberapa variasi jarak juga antara lain 20, 40, 57, 168, dan 170 meter. Di mana 170 meter juga dalam kondisi ada penghalang. Serta variasi paketnya adalah 100, 150, 160, dan 170 byte.

Dalam pengujian komunikasi nirkabel secara umum untuk kondisi line-of-sight atau tanpa penghalang itu hasilnya cukup bagus, hampir tidak ada paket yang loss, namun ketika ada penghalang antara dua transceiver maka komunikasinya menjadi tidak reliable.

Sementara untuk pengaruh jarak sesuai dengan yang diuji pada pengujian range test. Jadi ketika ada penghalang, maka hasilnya menjadi tidak bagus, dan terlihat untuk variasi ukuran payload yang 150-160 byte itu ada peningkatan. Namun untuk yang diujicobakan sebesar 170 byte terjadi penurunan. 

“Dari hasil throughput test menjadi sebagai acuan praktis, kalau bisa ukuran payload-nya tidak lebih dari 160 byte,” sebut Suryadi.

Implementasi di Lapangan

Ada beberapa contoh implementasi atau pengujian di lapangan seperti di Pangalengan. Tim Suryadi melakukan monitor di daerah Pangalengan dengan memasang empat node sensor dan satu gateway.

Berikutnya, juga melakukan uji coba di Cipularang KM 100 yang pada tahun 2013 pernah terjadi longsor di lokasi tersebut.

Tim Suryadi juga melakukan uji coba di Jembatan Cisomang yang waktu itu mengalami pergeseran, dengan memasang node sensor dan gateway untuk memonitor struktur jembatan.

Selain itu, tim juga melakukan pemasangan di daerah Banjarnegara – Jawa Tengah. Di sini pemasangan dilakukan pada lokasi perkampungan yang pernah mengalami longsor pada tahun 2016. (hrd/ ed: adl)