Tangerang Selatan – Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional pada Energy Week hari kedua, Kamis (18/12) kembali menegaskan pentingnya sinergi antara riset, industri, dan kebijakan dalam mendorong transisi energi nasional yang berkelanjutan. Pemerintah, lembaga riset, dan BUMN sepakat bahwa inovasi teknologi harus mampu menjawab tantangan nyata, mulai dari dekarbonisasi hingga pertumbuhan ekonomi nasional.
Direktur Jenderal Riset dan Pengembangan, Kemendiktisaintek, Fauzan Adziman, menekankan, riset tidak boleh berhenti pada publikasi atau prototipe semata, tetapi harus berdampak langsung pada produktivitas dan ekonomi.
“Ujung dari riset itu sebetulnya adalah pertumbuhan ekonomi. Karena itu, mulai tahun ini kami memperkuat pendekatan yang berangkat dari problem statement nyata, bukan sekadar dari sisi teknologi,” ujarnya.
Fauzan mengungkapkan, saat ini tingkat hilirisasi riset nasional masih sangat rendah. Dari ribuan riset yang dibiayai setiap tahun, hanya sebagian kecil yang benar-benar sampai ke tahap produk atau dimanfaatkan industri.
“Dari sekitar 16 ribu lebih riset yang dibiayai, yang sampai ke hilir itu bahkan kurang dari satu persen. Ini menjadi alarm bagi kita semua,” tegasnya.
Oleh karena itu, pemerintah mendorong pembangunan ekosistem kolaboratif antara perguruan tinggi, BRIN, industri, dan lembaga pembiayaan agar riset dapat plug and play dengan kebutuhan pasar.
Dari sisi industri energi, Project Director II PT Pertamina (Persero), Yudhi Haryadi, menyoroti tantangan keekonomian dalam implementasi teknologi rendah karbon, khususnya Carbon Capture and Storage/Utilization (CCS/CCUS).
Ia menjelaskan, biaya CCS masih relatif tinggi jika dibebankan langsung kepada konsumen energi. “Kalau dihitung dari levelized cost of energy, tambahan biaya CCS, termasuk injeksi dan operasional bisa mencapai sekitar 35. Kalau ini dibebankan ke listrik, tentu bebannya berat bagi end user,” jelasnya.
Meski demikian, Yudhi melihat peluang strategis bagi Indonesia untuk mengambil peran regional. Dengan potensi geologi yang besar, Indonesia berpeluang menjadi pusat penyimpanan karbon lintas negara.
“Model bisnisnya tidak harus selalu berupa investasi dana segar. Bisa juga dengan menjual kapasitas basin penyimpanan karbon kita, apalagi jika kita menawarkan safety dan kepastian jangka panjang,” ujarnya.
Ia menambahkan, skema ini membutuhkan dukungan regulasi, insentif fiskal, serta kolaborasi erat dengan pembangkit listrik dan mitra internasional.
Sementara itu, Kepala Pusat Riset Teknologi Konversi Energi BRIN Tata Sutardi, menegaskan peran strategis riset dalam menjawab tantangan dekarbonisasi secara menyeluruh. Ia memaparkan, BRIN mengembangkan pendekatan manajemen emisi dari hulu ke hilir, mulai dari fuel treatment, rekayasa pembakaran, post-combustion capture, hingga direct air capture.
“Manajemen gas emisi itu bisa dilakukan di berbagai level, bukan hanya setelah emisi terbentuk, tetapi sejak proses awal konversi energi,” jelasnya.
Tata juga menyoroti pentingnya teknologi pendukung seperti sistem monitoring CO₂ yang andal dan berbasis data. Menurutnya, sistem ini akan menjadi fondasi penting bagi implementasi CCS dan perdagangan karbon ke depan.
“Jika monitoring bisa dilakukan secara akurat dan real time, maka kepercayaan dalam skema carbon trading antarnegara akan terbentuk. Di sinilah riset berperan sebagai enabler kebijakan dan bisnis,” ujarnya.
Ketiga narasumber sepakat bahwa transisi energi tidak dapat dijalankan dengan pendekatan business as usual. Diperlukan orkestrasi nasional yang menghubungkan riset, kebijakan, industri, dan pembiayaan secara terintegrasi. Science Week menjadi ruang strategis untuk mempertemukan seluruh pemangku kepentingan tersebut, sekaligus menegaskan bahwa inovasi berbasis sains adalah kunci menuju ketahanan energi dan pembangunan berkelanjutan Indonesia. (adl/ ed:aj, ns)
Tautan:
