Tangerang Selatan – Humas BRIN. Banyak penulis yang masih ragu memilih jurnal yang sesuai dengan scope dan topik mereka. Kemudian masih ragu apakah makalahnya bisa masuk jurnal internasional kategori indeks Scopus Q1, Q2, Q3, Q4.
Kemudian banyak juga pengalaman-pengalaman semacam desk rejection, yaitu belum sampai masuk ke reviewer, tapi sudah mendapat penolakan oleh editor, serta beberapa kendala bagaimana merespon reviewer karena walaupun mendapat keputusan major maupun minor revision itu tidak ada jaminan bahwa selanjutnya makalah tersebut akan menerima.
Peneliti pada Pusat Riset Fotonik, Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Edi Kurniawan membahas topik ini pada Pelatihan Tips dan Trik Publikasi Karya Tulis Ilmiah, Selasa, (30/05) yang secara hybrid diselenggarakan di Gedung Manajemen 720, KST BJ Habibie, Tangernag Selatan.
Edi membagikan pengalaman bagaimana cara memilih jurnal, bagaimana melakukan persiapan sebelum submission, dan bagaimana merespon reviewer.
Pertama, cara memilih jurnal sebenarnya banyak pilihannya terutama bagi penulis yang sudah memiliki draf makalah, yaitu dengan memasukkan judul, dan abstrak draf. Kemudian bisa menggunakan beberapa metode seperti Web of Science, Journal Finder of Elsevier, maupun Journal Suggester of Springer.
Jadi sebenarnya banyak pilihan jurnal yang bisa kita tuju, jadi tinggal memasukkan judul, kemudian abstrak nanti pilihan jurnal yang bereputasi akan banyak menampilkan dari metode-metode seperti Web of Science, Journal Finder of Elsevier dan seterusnya, ujar satu dari 12 Periset Terbaik BRIN 2022.
Kedua, bagaimana melakukan persiapan sebelum submission. Yang utama adalah harus memahami tipe artikel yang akan kita buat seperti apakah artikel regular, artikel review, artikel letter, kemudian harus mengikuti guideline atau template yang telah disediakan dari jurnal tersebut, jelasnya.
Edi menyarankan untuk menggunakan software LaTeX dalam penulisan artikel. Karena dengan menggunakan LaTeX maka kualitas penulisan akan lebih rapi, lebih profesional, dan biasanya editor ketika akan memproduksi jurnal menggunakan LaTeX sehingga terlihat sangat professional.
Untuk persiapan submission biasanya juga perlu menyiapkan dokumen pendukung seperti cover letter, title page, dan highlights. Penting untuk cover letter, kita perlu menuliskan konstribusi utama dari makalah kita dan menyebutkan bahwa makalah ini tidak di masukkan ke jurnal lain, ungkap Peneliti Ahli Utama BRIN.
Ketiga, bagaimana merespon reviewer. Penulis publikasi 22 jurnal global ini mengatakan bahwa harus menyiapkan letter of response sebaik mungkin. Ketika menyiapkan letter of response, kita bisa mulai dengan ucapan terima kasih kepada editor, dalam hal ini bisa editor-in-chief atau pun associate editor, kata Edi.
Ungkapan terima kasih kepada editor menunjukan appresasi karena sudah menangani makalah kita, mencarikan reviewer, dan kemudian mengambil keputusan berdasarkan masukan dari reviewer tersebut dan memberikan kesempatan kita untuk merevisi, tambahnya.
Kemudian yang tidak kalah penting adalah merespon komentar-komentar dari reviewer sebaik mungkin.
Kita harus bisa mengidentifikasi apakah komentar tersebut suatu pertanyaan, saran, atau komentar yang kontradiksi. Jadi beberapa saran tidak harus diikuti semua kalau itu mengubah makalah secara total, sehingga kita bisa tidak mengikuti saran atau komentar dari reviewer asalkan mengimbangi dengan alasan yang kuat,imbuh Edi yang juga menjadi reviewer di 21 jurnal yang terindeks web of science.
Mendukung pelaksanaan pelatihan ini, Kepala Pusat Riset Fotonik, Isnaeni menyampaikan agar setelah pelatihan ini, periset mampu memingkatkan kuantitas dan kualitas artikel yang terbit di jurnal global, serta memperbesar peluang artikel diterima di jurnal global bereputasi. (hrd/ed:adl)
Tangerang Selatan – Humas BRIN. Teknologi kuantum semakin lama semakin berkembang. Kuantum teknologi menggunakan prinsip-prinsip fisika yang dapat meningkatkan kemampuan dalam gawai sehari-hari. Sektor energi, transportasi, komunikasi, pertahanan, finansial, dan kesehatan berpotensi menggunakan teknologi kuantum.
Dalam webinar ORNAMAT #25, Selasa (14/03), yang diselenggarakan Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material Badan Riset dan Inovasi Nasional (ORNM BRIN), peneliti Donny Dwiputra dari Pusat Riset (PR) Fisika Kuantum memaparkan tema “Teknologi kuantum: Dari baterai kuantum hingga black hole”. Menurutnya, baterai kuantum saat ini sebagai salah satu teknologi jangka menengah yang relatif tahan efek lingkungan dibandingkan dengan komputer kuantum.
Donny memaparkan kemajuan teknologi secara umum menuntut kebutuhan energi yang semakin besar, cepat, dan efisien. “Baterai kuantum merupakan divais penyimpanan energi yang operasinya memanfaatkan fenomena kuantum untuk meningkatkan kapasitas penyimpanan dan kecepatan pengisian dayanya,” jelasnya.
“Salah satu keunggulan yang ditawarkan dibandingkan dengan baterai konvensional adalah kecepatan pengisian energi yang semakin tinggi, seiring bertambahnya banyaknya modul baterai kuantum yang digunakan. Hal ini diukur melalui daya yang skalanya mengikuti ukuran dari baterai tersebut,” tambah Donny.
Sampai saat ini, perkembangan riset baterai kuantum masih pada tahap teoretis dan sangat sedikit realisasi eksperimen (proof-of-concept) yang telah diciptakan.
“Menariknya, beberapa sistem yang digunakan sebagai baterai kuantum juga dapat mensimulasikan fenomena alam pada kondisi yang sangat ekstrem, yakni pada lubang hitam (black hole) dan lubang cacing (worm hole). Korespondensi dari kedua teori yang berbeda skala ini akan membuka cakrawala baru bagi pengembangan teknologi masa depan,” ulas Donny.
Aplikasi Kristal Fotonik
Dalam kesempatan yang sama, Isnaeni, peneliti PR Fotonik menyampaikan materi tentang ‘Manipulasi cahaya pada skala nano dengan kristal fotonik’.
Di awal paparannya Isnaeni mengatakan bahwa kristal fotonik adalah struktur dielektrik periodik yang dirancang untuk membentuk struktur pita energi untuk foton, yang memungkinkan atau melarang perambatan gelombang elektromagnetik pada rentang frekuensi tertentu.
“Hal ini membuat kristal fotonik ideal untuk aplikasi manipulasi dan panen cahaya. Dalam presentasi ini akan dibahas tentang sifat kristal fotonik, beberapa riset terkait kristal fotonik dan aplikasi kristal fotonik pada bidang teknologi, LED, dan sel surya,” terang Kepala Pusat Riset Fotonik tersebut.
Lebih lanjut Isnaeni menjelaskan ada beberapa jenis kristal fotonik dengan sifat unik dan potensi aplikasinya. “Ada yang terdiri dari ada 1 dimensi, 2 dimensi, 3 dimensi, quasicrystals. dan serat optik kristal,” sebutnya.
“Manfaat dari kristal fotonik adalah sebagai pelapis yang sangat efektif, filter optik, serta perangkat lain yang memanipulasi cahaya dalam rentang panjang gelombang tertentu, mengontrol perambatan cahaya dalam arah tertentu, membuat pandu gelombang, sensor yang sangat efisien, membuat sifat dan efek optik baru seperti kemampuan untuk memanipulasi polarisasi dan fase cahaya, telekomunikasi dan penginderaan serta aplikasi lainnya,” lanjut Isnaeni.
“Kristal fotonik memiliki berbagai aplikasi potensial di berbagai bidang termasuk komunikasi optik, penginderaan, pencitraan, pemanenan energi, komputasi kuantum, dan material,” kata Isnaeni.
Mewakili Kepala ORNM BRIN, Ika Kartika, Kepala Pusat Riset Metalurgi, menyampaikan bahwa webinar ORNAMAT yang mengangkat tema baterai kuantum dan kristal fotonik, bisa mendukung penguatan iklim riset, akumulasi pengetahuan, dan sarana membuka peluang kolaborasi bagi mitra, baik internal maupun eksternal BRIN.
“Harapannya dengan dua topik ini, dapat membantu peserta webinar di lingkungan ORNM maupun diluar BRIN, untuk mempelajari secara umum mengenai aplikasi baterai kuantum, di mana baterai ini juga merupakan alat sangat dibutuhkan saat ini. Sedangkan untuk fotonik dapat dimanfaatkan aplikasi dalam rancangan penelitian dan implementasi fotonik ke depannya,” ujarnya. (esw, mfn/ ed: adl)
Tangerang Selatan – Humas BRIN. Teknologi kuantum semakin lama semakin berkembang. Kuantum teknologi menggunakan prinsip-prinsip fisika yang dapat meningkatkan kemampuan dalam gawai sehari-hari. Sektor energi, transportasi, komunikasi, pertahanan, finansial, dan kesehatan berpotensi menggunakan teknologi kuantum.
Dalam webinar ORNAMAT #25, Selasa (14/03), yang diselenggarakan Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material Badan Riset dan Inovasi Nasional (ORNM BRIN), peneliti Donny Dwiputra dari Pusat Riset (PR) Fisika Kuantum memaparkan tema “Teknologi kuantum: Dari baterai kuantum hingga black hole”. Menurutnya, baterai kuantum saat ini sebagai salah satu teknologi jangka menengah yang relatif tahan efek lingkungan dibandingkan dengan komputer kuantum.
Donny memaparkan kemajuan teknologi secara umum menuntut kebutuhan energi yang semakin besar, cepat, dan efisien. “Baterai kuantum merupakan divais penyimpanan energi yang operasinya memanfaatkan fenomena kuantum untuk meningkatkan kapasitas penyimpanan dan kecepatan pengisian dayanya,” jelasnya.
“Salah satu keunggulan yang ditawarkan dibandingkan dengan baterai konvensional adalah kecepatan pengisian energi yang semakin tinggi, seiring bertambahnya banyaknya modul baterai kuantum yang digunakan. Hal ini diukur melalui daya yang skalanya mengikuti ukuran dari baterai tersebut,” tambah Donny.
Sampai saat ini, perkembangan riset baterai kuantum masih pada tahap teoretis dan sangat sedikit realisasi eksperimen (proof-of-concept) yang telah diciptakan.
“Menariknya, beberapa sistem yang digunakan sebagai baterai kuantum juga dapat mensimulasikan fenomena alam pada kondisi yang sangat ekstrem, yakni pada lubang hitam (black hole) dan lubang cacing (worm hole). Korespondensi dari kedua teori yang berbeda skala ini akan membuka cakrawala baru bagi pengembangan teknologi masa depan,” ulas Donny.
Aplikasi Kristal Fotonik
Dalam kesempatan yang sama, Isnaeni, peneliti PR Fotonik menyampaikan materi tentang ‘Manipulasi cahaya pada skala nano dengan kristal fotonik’.
Di awal paparannya Isnaeni mengatakan bahwa kristal fotonik adalah struktur dielektrik periodik yang dirancang untuk membentuk struktur pita energi untuk foton, yang memungkinkan atau melarang perambatan gelombang elektromagnetik pada rentang frekuensi tertentu.
“Hal ini membuat kristal fotonik ideal untuk aplikasi manipulasi dan panen cahaya. Dalam presentasi ini akan dibahas tentang sifat kristal fotonik, beberapa riset terkait kristal fotonik dan aplikasi kristal fotonik pada bidang teknologi, LED, dan sel surya,” terang Kepala Pusat Riset Fotonik tersebut.
Lebih lanjut Isnaeni menjelaskan ada beberapa jenis kristal fotonik dengan sifat unik dan potensi aplikasinya. “Ada yang terdiri dari ada 1 dimensi, 2 dimensi, 3 dimensi, quasicrystals. dan serat optik kristal,” sebutnya.
“Manfaat dari kristal fotonik adalah sebagai pelapis yang sangat efektif, filter optik, serta perangkat lain yang memanipulasi cahaya dalam rentang panjang gelombang tertentu, mengontrol perambatan cahaya dalam arah tertentu, membuat pandu gelombang, sensor yang sangat efisien, membuat sifat dan efek optik baru seperti kemampuan untuk memanipulasi polarisasi dan fase cahaya, telekomunikasi dan penginderaan serta aplikasi lainnya,” lanjut Isnaeni.
“Kristal fotonik memiliki berbagai aplikasi potensial diberbagai bidang termasuk komunikasi optik, penginderaan, pencitraan, pemanenan energi, komputasi kuantum, dan material,” kata Isnaeni.
Mewakili Kepala ORNM BRIN, Ika Kartika, Kepala Pusat Riset Metalurgi, menyampaikan bahwa webinar ORNAMAT yang mengangkat tema baterai kuantum dan kristal fotonik, bisa mendukung penguatan iklim riset, akumulasi pengetahuan, dan sarana membuka peluang kolaborasi bagi mitra, baik internal maupun eksternal BRIN.
“Harapannya dengan dua topik ini, dapat membantu peserta webinar di lingkungan ORNM maupun diluar BRIN, untuk mempelajari secara umum mengenai aplikasi baterai kuantum, di mana baterai ini juga merupakan alat sangat dibutuhkan saat ini. Sedangkan untuk fotonik dapat dimanfaatkan aplikasi dalam rancangan penelitian dan implementasi fotonik ke depannya,” ujarnya. (esw, mfn/ ed: adl)
Tangerang Selatan – Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berupaya meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dan kolaborasi riset global. Salah satu strateginya adalah dengan mendorong SDM periset untuk bersekolah tinggi hingga pascadoktoral di universitas luar negeri, yang memiliki kerja sama dengan BRIN.
Pada acara hari kedua BRIN-Victoria Scientific Forum, Rabu (22/02), perwakilan dari manajemen dan periset BRIN serta perwakilan universitas dari negara bagian (state) Victoria Australia, yakni RMIT University, Swinburne University of Technology, dan The University of Melbourne, membahas riset energi, engineering, manufaktur, nanoteknologi, serta antariksa.
Direktur Manajemen Talenta BRIN, Arthur Ario Lelono menyampaikan bahwa BRIN melakukan strategi eksplorasi untuk menggaet negara bagian Victoria yang memiliki beberapa kampus. “Kita coba targetkan. Contoh kemarin dari Monash University serta Deakin University. Biasanya kita dengan kampus satu per satu, sekarang melakukan strategi menggaet pemerintah Victoria State untuk support beberapa kampus,” ungkapnya.
“Pada dasarnya, rencana kita untuk mengeksplorasi, tetapi tidak hanya mencari mahasiswa S2-S3, tetapi lebih banyak cenderung kolaborasi riset jangka panjang,” imbuh Arthur.
Menurutnya, kelima kampus di Victoria, yakni RMIT University, Swinburne University of Technology, The University of Melbourne, Deakin University, dan Monash University, memiliki keunggulan keilmuan masing-masing.
“Saat ini di antara yang lima universitas, baru dimulai Swinburne University of Technology, ada delapan mahasiswa BRIN yang sudah kita kirim ke sana dan sudah beberapa yang publikasi. Swinburne University of Technology sekarang menyiapkan pembaharuan MoU dengan BRIN. Termasuk ditambah empat kampus ini,” ulas Arthur.
Dalam kesempatan tersebut, hadir Koordinator Rumah Program ORNM, Agus Sukarto Wismogroho, mewakili Kepala Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM) BRIN. Ia menyampaikan bahwa acara ini bisa menjadi kolaborasi antara BRIN, terutama di ORNM dengan negara bagian Victoria untuk bekerja sama terkait bidang ilmiah. “Kerja sama terkait scientific bisa melalui sekolah dengan pengiriman peneliti-peneliti baru yang belum S2-S3 untuk bersekolah ke sana, serta joint research,” ujar Agus.
Dirinya menjelaskan untuk anggaran dapat diperoleh melalui program seperti DBR dari Direktorat Manajemen Talenta BRIN. “Siapa pun baik ASN maupun non ASN dari kelompok riset atau pun mahasiswa bisa mendaftar. Bagi peminat dapat bersekolah di Victoria State dengan satu pembimbing dari sini (Indonesia) dan satu pembimbing dari sana (Victoria State) hingga selesai,” kata periset dari Pusat Riset Material Maju ini.
“Tema-temanya berkaitan dengan kebutuhan periset di Indonesia (ORNM), seperti bidang material terkait solar sel, atau simulasi, dan sebagainya tinggal disesuaikan dengan yang di sana (Victoria State),” ucapnya.
Dalam acara yang sama, salah satu peserta dari dari Pusat Riset Fotonik, Jalu Ahmad Prakosa mengungkapkan bahwa forum ini sangat menarik karena mempertemukan para periset BRIN dengan para ahli dan profesor dari universitas di Victoria.
“Saya ingin mencari supervisor untuk melanjutkan program S3 saya, yaitu di negara Australia, karena kualitas pendidikannya bagus, untuk melanjutkan karier saya, untuk meningkatkan kolaborasi internasional, yaitu Australia dengan BRIN,” terang Jalu.
Baginya, kegiatan ini sangat baik dalam membantu link and match antara periset dan profesor yang sesuai. “Kalau kita sendiri sebagai periset cari info di website kemudian kirim e-mail itu lebih sulit direspon. Tetapi di atas payung institusi BRIN ini, bisa mempermudah serta bisa langsung saling berkomunikasi dengan para profesor dari Universitas Victoria di Australia,” lanjut Koordinator Kelompok Riset Kontrol dan Pengukuran Presisi.
“Semoga di tahun selanjutnya, terus diperkuat sehingga critical mass dari para periset BRIN bisa meningkat, dengan lebih banyak yang doktoral sehinga capaian BRIN akan semakin meningkat dan kolaborasi internasional semakin kuat ke depannya,” pungkasnya. (hrd/ed:adl)
Tangerang Selatan – Humas BRIN. Aplikasi optik dan fotonik banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari peralatan elektronik rumah tangga, telekomunikasi, kesehatan, manufaktur, pertahanan, keamanan, sampai dengan entertainment.
Fakultas Teknik Instrumentasi, Institut Teknologi Surabaya (ITS), pada 29-30 November 2022 menghadirkan seminar internasional “The 5th International Seminar on Photonics, Optics, and its Applications (ISPhOA 2022). Tema kali ini adalah “Optics and Photonics for Sustainable Future”.
Kepala Organisasi Nanoteknologi dan Material (ORNM), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ratno Nuryadi, menyampaikan Arah Strategi dan Kebijakan Riset Pengembangan Optik dan Fotonik di Indonesia pada Selasa (29/11).
Dijelaskan oleh Ratno, bahwa lebih dari 4500 perusahaan dari 50 negara di dunia yang memproduksi komponen-komponen optik dan fotonik. “Kebutuhan pasar global juga terus naik, dan benua Asia menduduki peringkat pertama pemakai produk optik dan fotonik, diikuti Eropa dan Amerika,” ucapnya.
Lebih lanjut ia menyebutkan bahwa meskipun Tiongkok menduduki peringkat pertama produsen optik dan fotonik, tetapi dari sisi keuntungan bisnis, negara Jepang masih memimpin. “Produk-produk optik dan fotonik tersebut merupakan hasil pengembangan riset bidang komponen optik dan material fotonik,” sebutnya.
Menurut Ratno, Indonesia termasuk mempunyai kebutuhan yang besar terhadap aplikasi optik dan fotonik ini. “Di bidang telekomunikasi, Indonesia mempunyai posisi yang sangat strategis, karena terletak di antara dua benua (Asia-Australia) dan dua samudra (Hindia-Pasifik), sehingga Indonesia bisa menjadi tulang punggung kabel optik bawah laut dunia. Oleh karena itu kerjasama riset di bidang optik dan fotonik sangat urgen diperkuat untuk membangun sinergitas dan sinkronisasi antar periset dan pegiat bidang optik dan fotonik di lndonesia ke depannya,” urainya.
Ratno menjelaskan secara detail tugas dan fungsi dari ORNM BRIN serta struktur yang di bawahnya. “Dalam ORNM BRIN ada tujuh pusat riset, yaitu Pusat Riset Kimia Maju, Pusat Riset Fisika Kuantum, Pusat Riset Material Maju, Pusat Riset Fotonik, Pusat Riset Metalurgi, Pusat Riset Teknologi Pertambangan, dan Pusat Riset Teknologi Polimer,” terangnya.
Lebih lanjut Ratno menjelaskan bahwa BRIN akan lebih fokus pada bidang optik dan fotonik, dengan kelengkapan sarana penelitian yang baik dan dengan SDM yang mampu berkontribusi dalam tingkat global.
“Kegiatan BRIN saat ini di bidang fotonik meliputi pengembangan nanopartikel optik berbasis teknologi laser untuk berbagai aplikasi, pengembangan teknologi spektroskopi material berbasis laser dan optik (LIBS, TeraHz), pengembangan teknologi serat optik untuk sensor bangunan, material, lingkungan, serta pengembangan alat nano berbasis optik dan laser untuk berbagai aplikasi,” ulasnya.
Sebagai informasi, seminar ISPHOA yang dilaksanakan setiap 2 tahun sekali ini, menghadirkan narasumber dari beberapa universitas dari dalam dan luar negeri, seperti Singapura, Thailand, Taiwan, India, dan Australia. Forum ini diharapkan dapat mendorong transfer hasil riset dan pengembangan ke dalam aplikasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan industri, khususnya di seluruh negara-negara ASEAN dan kawasan tetangga lainnya. (ls, mfn/ed: adl)
Sumber : https://www.brin.go.id/news/110988/brin-sampaikan-arah-strategi-riset-optik-dan-fotonik-di-indonesia
Tangerang Selatan – Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyelengarakan Seminar Perkembangan Riset dan Fokus Grup Diskusi Pusat Kolaborasi Riset (PKR) Teknologi Kuantum 2.0, dengan tajuk ‘Menyongsong Revolusi Kuantum di Indonesia dan Dunia’, Kamis, (17/11) di Kawasan Sains dan Teknologi (KST) BJ Habibie Serpong.
Acara PKR yang berlangsung secara hybrid tersebut diinisiasi oleh Kepala Pusat Riset Fisika Kuantum (PRFK), Ahmad Ridwan Tresna Nugraha dan tim, bersama Pusat Riset Fotonik BRIN, Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Telkom University (Tel-U). Tujuannya yaitu membuka peluang bagi periset dan akademisi yang tertarik mengikuti perkembangan teknologi kuantum.
Dalam sambutannya, Kepala Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM) BRIN , Ratno Nuryadi, mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah secara bersama-sama yang telah menggolkan Pusat Kolaborasi Riset.
“Selamat datang di KST Habibie untuk melaksanakan Seminar Perkembangan Riset dan Forum Diskusi PKR Teknologi Kuantum 2.0. Semoga agenda seminar ini menjadi ajang saling berbagi pengetahuan dan diskusi baik terkait perkembangan teknologi kuantum 2.0 di global dan juga kegiatan aktivitas riset masing-masing anggota PKR,” ujar Ratno.
Ratno menginformasikan saat ini di BRIN ada 15 Pusat Kolaborasi Riset dan Periset dari ORNM terlibat dalam 6 PKR. “Semoga PKR yang ada saat ini menjadi wadah kolaborasi antar periset di tingkat nasional, dan ke depannya bisa dikembangkan menjadi tingkat global,” harapnya.
Pada sesi presentasi pertama, Andriyan Bayu Suksmono dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB menyampaikan tentang ‘Pengenalan Teknologi Kuantum’. Menurutnya, teknologi informasi memiliki kemampuan sekaligus keterbatasan, seperti pada komputer dan ponsel. “Alat tersebut dapat mengolah dan menyimpan informasi, tetapi masih ditemukan kelemahannya seperti keamanan data. Untuk itu diperlukan fisika kuantum karena fenomena yang tidak dapat dijelaskan dengan fisika klasik. Fisika kuantum bisa memecahkan masalah dengan cepat,” terangnya.
PKR Teknologi Kuantum 2.0 melakukan pengembangan teknologi kuantum untuk percepatan transformasi digital di Indonesia. “Tujuannya yakni mengembangkan teknologi kuantum mutakhir serta mempersiapkan SDM dan infrastruktur yang relevan, untuk mengakselerasi transformasi digital di Indonesia, terutama mengatasi pemrosesan ledakan data yang besar di masa depan dan komunikasi yang aman,” ungkap Guru Besar ITB tersebut.
Andriyan menjelaskan terdapat 4 aspek dalam riset kuantum, yakni materi kuantum, alogaritma kuantum, pemrosesan informasi kuantum, dan perangkat kuantum. Ditambahkan pula olehnya bahwa saat ini menjadi isu penting bahwa negara Tiongkok melakukan investasi besar-besaran untuk pengembangan bidang kuantum. “Komputer kuantum sudah dapat dibuat tetapi erornya tinggi, nantinya eror akan semakin kecil, asalkan eror dibawah satu persen dan bisa dikoreksi, alogaritma kuantum bisa jalan dengan komputer kuantum,” ulasnya.
Selanjutnya masih dari ITB, Lutfiatul Mar’ah memaparkan tentang ‘Quantum Random Number Generator (QRNG)’. Random number (RN) adalah bilangan yang kemunculannya terjadi secara acak. “Misalnya tentang pelemparan dadu yang kita tidak mengetahui nomor dadu mana yang akan keluar, atau tentang bilangan acak suatu bilang yang tidak akan tahu nomor mana keluar,” ucapnya.
QRNG adalah skema pembangkit nomor acak atau random number dengan memanfaatkan fenomena kuantum. True randomness (keacakan yang benar) adalah sifat sejati dari fenomena kuantum. “QRNG berdasarkan kuantum optik sudah dilakukan penelitiannya dan ada parameter yang menjadi sumber dari sebuah keacakan yang nantinya diubah menjadi RN, QRNG berdasarkan pengukuran shot noise, serta fluktuasi yang dihasilkan oleh elektron yang dilihat secara diskrit,” papar Lutfiatul.
Aplikasi nomor acak dapat digunakan pada bidang kriptografi untuk sistem keamanan informasi, enskripsi isi informasi yang dimiliki tidak dapat diakses oleh orang lain, hingga aplikasi simulasi dan permodelan. “Hal ini contohnya kebocoran data pasien sehingga merugikan banyak pihak, sehingga diperlukan random number dengan menggunakan fenomena kuantum, karena sifat sejati dari kuantum memiliki sifat acak,” ulasnya.
Sementara Kepala PR Fotonik BRIN, Isnaeni, memberikan paparan tentang fasilitas riset yang tersedia di BRIN secara umum dan lab fotonik secara khusus yang dapat mendukung riset teknologi kuantum. “Saat ini kebijakan terbuka infrastruktur BRIN memungkinkan semua periset BRIN dan periset Indonesia lainnya untuk mendapatkan akses peralatan dengan menggunakan sistem ELSA (E-layanan Sains) melalui aplikasi elsa.brin.go.id,” terangnya.
Isnaeni menyampaikan khusus di lab fotonik terdapat beberapa alat yang bisa digunakan untuk riset teknologi kuantum seperti laser picosecond, laser nanosecond, dan laser femtosecond. “Ketiga laser yang dimiliki BRIN tersebut mampu mendukung riset bidang optik nonlinear dan kuantum,” sebutnya.
Ke depannya, ia mengharapkan tersedianya fasilitas lain untuk mendukung teknologi kuantum di lab fotonik seperti pump-probe spectroscopy, micro photoluminescence, dan Hanbury Brown and Twiss (HBT) effect. “Dengan keberadaan alat-alat riset tersebut, diharapkan periset Indonesia melalui Pusat Kolaborasi Riset Teknologi Kuantum 2.0 dapat berkiprah di dunia internasional untuk mempercepat implementasi komputasi kuantum,” ungkap Isnaeni.
Berikutnya, narasumber M. Shoufie Ukhtary dari PRFK BRIN menampilkan presentasi dengan judul ‘Qubit Entanglement with Weyl semimetals’. Shoufie menjelaskan tentang keterikatan Qubit (qubit entanglement) oleh polariton plasmon permukaan dalam semimetal Weyl. “Keterikatan tersebut meliputi permukaan polariton plasmon (surface plasmon polariton/SPP), keterikatan Qubit, keterikatan Qubit dalam logam bermagnet. Metode yang digunakan yaitu dispersi foton massal (bulk), dispersi SPP, dan belitan dua Qubit yang menghasilkan keterikatan.
Shoufie menyimpulkan risetnya sebagai berikut. “SPP nonresiprokal dalam semimetal Weyl karena asal topologi, SPP nonreiprokal memberikan keterikatan Qubit yang lebih baik daripada timbal balik, dan keterikatan berumur panjang di semimetal Weyl.
Dalam kesempatan yang sama, peneliti PRFK BRIN M. Hamzah Fauzi dengan judul ‘Quantum Sensing with NV Centers’. Dalam paparannya Hamzah menyampaikan penelitian yang terkait dengan sensor kuantum. “Mekanisme pengindraan yang berdasarkan sifat obyek kuantum secara alami sangat rentan terhadap gangguan, sehingga bisa menjadi sensitif terhadap interaksi dengan benda tertentu,” ulasnya.
Hamzah mencontohkan material intan yang memiliki cacat kelowongan nitrogen, bisa mendeteksi medan magnet sangat lemah yang tidak bisa diindra oleh sensor biasa. “Keunggulan sensor semacam ini juga bisa bekerja pada temperatur ruang,” jelasnya.
Turut hadir peneliti Gagus Ketut Sunnardianto dari PRFK BRIN, yang mempresentasikan penggunaan Quantum Computing for Quantum Chemistry (Komputer Kuantum untuk Aplikasi Kimia). Peneliti ini memiliki motivasi untuk melanjutkan perhitungan risetnya terkait reaksi reversibel antara hidrogen dan nanografena yang membutuhkan waktu cukup lama jika dikalkulasi dengan komputer klasik. “Masa depan komputasi kuantum sangat penting untuk berbagai aplikasi, termasuk untuk ilmu material,” jelasnya.
Ia menjelaskan terkait algoritma kuantum yang digunakan untuk aplikasi pada kimia dan ilmu material, yakni algoritma kuantum Variational Quantum Eigensolver (VQE). “Saya menggunakan algoritma yang memang sudah terbukti ilmiah untuk mempelajari sifat fisis dan kimia dari suatu material, yakni algoritma Variational Quantum Eigensolver (VQE),” ujar Gagus.
“Kemudian untuk melakukan perhitungan secara komputer kuantum, saya mempelajari software pennylane yang merupakan open-source software, yang bisa digunakan sebagai simulator untuk perhitungan komputasi kuantum,” terang Ketua Kelompok Riset Simulasi dan Desain Nanomaterial. (esw, hrd, ls/ed: adl)
Tangerang Selatan – Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM), mengenalkan dua topik riset yang tengah dikembangkan melalui webinar yang bertajuk ORNAMAT seri sepuluh, Selasa (06/09). Kedua topik tersebut yakni, terkait ketahanan pangan dengan judul ‘Aplikasi Pengukuran Volume Cairan Bioflok Kolam Ikan dengan Metode Optik’ dan topik berikutnya terkait kesehatan dengan judul ‘Sintesis Polymethylmethacrylate (PMMA) dengan Miniemulsion Polymerzation dan Penambahan Graphene pada Aplikasi Semen Tulang untuk Menurunkan Temperatur Eksoterm’.
Terkait topik ketahanan pangan, Kepala ORNM, Ratno Nuryadi mengatakan, Indonesia merupakan negara berpenduduk terpadat keempat di dunia yang memiliki jumlah populasi lebih dari 275 juta orang. “Pertumbuhan ini akan terus meningkat di negara kita, tetapi jumlah produksi pangan, ternyata masih terbatas. Negara Indonesia masih banyak mengimpor terkait dengan kebutuhan pangan,” ungkap Ratno.
Ratno menambahkan, melalui riset budidaya ikan dengan teknologi bioflok, yang diharapkan dapat menghemat penggunaan air, pakan ikan, dan dapat menghemat lahan. Budidaya ikan ini akan lebih irit dibandingkan dengan budidaya secara konvensional.
Sedangkan untuk topik kesehatan, Ratno menyoroti banyaknya kasus patah tulang yang disebabkan oleh kecelakaan. “Banyak kasus patah tulang disebabkan oleh kecelakaan, atau penyebab yang lain akibat jatuh dan sebagainya. Menurut data kasus ini menyebabkan kebutuhan implan tulang di Indonesia semakin tinggi hingga mencapat 10 ton per tahun,” kata Ratno.
Dijelaskan olehnya, terkait dengan kebutuhan implan tulang, Indonesia saat ini masih sangat bergantung pada produk impor. Jadi dalam rangka meningkatkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) ini, riset dan inovasi semen tulang dengan komponen lokal ini dilakukan oleh Oka dan tim.
Ratno berharap ORNAMAT ini bisa memberikan wawasan dan pengetahuan yang lebih luas kepada para periset, praktisi, akademisi, dan industri. “Semoga kegiatan ini melahirkan diskusi-diskusi yang positif,” ungkapnya.
Aplikasi Pengukuran Volume Cairan Bioflok Kolam Ikan
Peneliti Kelompok Riset Sistem Kontrol dan Pengukuran Berbasis Optoelektronik, Jalu Ahmad Prakosa menjelaskan penelitiannya yang berjudul ‘Aplikasi Pengukuran Volume Cairan Bioflok Kolam Ikan dengan Metode Optik’. Menurutnya, volume bioflok merupakan faktor penting dalam mengembangkan budidaya ikan yang sukses. Namun demikian, penggunaan kerucut ukur sedimentasi untuk pengukuran volume bioflok membutuhkan waktu yang cukup lama.
Optoelektronika merupakan salah satu cara yang efisien untuk mengukur volume bioflok dengan cepat. “Prinsip penghamburan cahaya dapat diterapkan untuk merealisasikan dalam mengukur volume bioflok cairan kolam ikan menjadi lebih cepat,” terang Jalu.
Sumber cahaya lurus seperti laser dan fotodioda sebagai sensor cahaya, dimanfaatkan dalam metode optik bekerja sama dengan mikrokontroler. Cangkir kerucut ukur Imhoff memvalidasi metode optik yang diusulkan ini, baik di kolam ikan lele dan nila.
“Penelitian ini bertujuan untuk membangun teknik yang efisien untuk mengukur bioflok secara cepat dengan metode optik. Motode optik yang diusulkan telah berhasil dalam mengukur volume bioflok cairan kolam ikan lebih cepat dengan memanfaatkan sifat hamburan cahaya,” ujar Jalu.
Cairan yang memiliki partikel flok lebih besar akan menyerap lebih sehingga melanjutkan hamburan cahaya lebih kecil. Dalam risetnya, volume bioflok kolam ikan lele lebih besar, sekitar tiga kali lipat daripada kolam ikan nila.
“Dalam mendukung program ketahanan pangan nasional, penelitian ini bermanfaat,” tegasnya.
Aplikasi Semen Tulang untuk Menurunkan Temperatur Eksoterm
Pada kesempatan yang sama, periset dari Kelompok Riset Koloid dan Nanosains, Oka Arjasa, memaparkan hasil penelitiannya dengan judul ‘Sintesis Polymethylmethacrylate (PMMA) dengan Miniemulsion Polymerzation dan Penambahan Graphene pada Aplikasi Semen Tulang untuk Menurunkan Temperatur Eksoterm’.
Tim BRIN bekerjasama dengan tim ITB melakukan riset semen tulang dan berhasil menurunkan suhu curing semen tulang menjadi 46% lebih rendah dari produk semen tulang komersial melalui modifikasi sintesis miniemulsion dan penambahan bahan graphene.
Oka menjelaskan selain menurunkan suhu curing, penambahan graphene juga meningkatkan kekuatan tarik serta menimbulkan pori-pori pada semen tulang, yang dapat meningkatkan interaksi tulang dengan semen tulang.
Bahan graphene yang diteliti melalui kegiatan riset terpisah, telah berhasil disintesis dari bahan biomassa dan batubara. Selanjutnya, tim peneliti mencoba mengoptimasi metode sintesis serta melakukan pengujian poliferasi sel terhadap semen tulang yang dihasilkan.
Hasil dari risetnya, sintesis PMMA dengan metode miniemulsion polymerization berhasil dilakukan oleh Oka dan timnya.
“Penambahan surfaktan meningkatkan solid content PMMA, menurunkan ukuran partikel, dan menurunkan temperatur semen tulang PMMA,” paparnya.
Adanya penambahan costabilizer virgin coconut oil (VCO) dapat meningkatkan ukuran partikel, namun tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap solid content dan penurunan temperatur semen tulang.
“Kemudian terakhir, penambahan graphene dapat meningkatkan kekuatan tarik semen tulang PMMA,” pungkasnya. (hrd/ed : adl)
Tangerang Selatan, Humas BRIN. Qomaruddin periset Pusat Riset Fotonik – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada Selasa (22/6) mempresentasikan risetnya berjudul “Photo-activated Gas Sensor”. Topik tersebut dipresentasikan pada webinar SEKOPI (Seminar Kolaborasi Optoelektronika) volume I.
Qomarudin menyampaikan tentang sensor gas secara umum, prinsip kerja, tren saat ini serta contoh proses pembuatan sensor berbasis ZnO NRs, karakterisasi, dan cara pengukuran hingga pembahasan mekanisme interaksi gas dengan material sensor.
Aktivasi cahaya pada sensor gas (photo-activated gas sensor) digunakan untuk menggantikan pemanas (heater) sebagai aktivasi permukaan material sensor. Oleh karena secara teknologi konvensional pada bidang sensor gas, cahaya tidak bisa digunakan untuk mengaktivasi sensor gas yang berbasis material semikonduktor oksida logam. Akan tetapi hal ini bisa dilakukan dengan beberapa strategi khusus, ytaitu salah satunya adalah memanfaatkan fenomena resonansi plasmon permukaan yang terlokalisasi pada partikel nano emas.
Menurut air quality index (AQI) di kota-kota besar di dunia, salah satunya Jakarta saat ini kondisi lingkungan atau pun udara yang ada di sekitar kurang sehat di outdoor, sehingga disarankan untuk menggunakan masker.
“Dan ini bisa diakses secara realtime. Tidak mungkin keluar angka-angka yang menunjukkan kondisi realtime ini tanpa ada piranti atau device yang menunjukkan bahwa kualitas udara di sekitar itu sesuai dengan real-nya,” ujar Qomaruddin.
Qomaruddin menambahkan bahwa pasti ada device yang melaporkan atau memberi data bahwa kondisinya sedang bagus, kurang sehat, dan seterusnya. Salah satu urgensinya sensor gas adalah untuk hal itu.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa udara yang kita tinggali dan hidup di dalamnya ini, secara umum komposisinya yang paling besar adalah nitrogen (78,09%) dan oksigen (20,94%). Sementara bagian kecilnya terdiri dari beberapa zat kimiawi, gas-gas yang bahkan tidak bisa dilihat, tidak bisa dirasa keberadannya, tetapi menjadi hal yang bisa membahayakan bagi kehidupan.
Salah satu gas yang membahayakan di sini, Qomaruddin menggarisbawahi adalah Nitrogen Dioksida (NO2) yang merupakan salah satu dari kelompok gas yang sangat berbahaya karena toxic serta reaktif jika kita terpapar dalam waktu tertentu (8 jam) dan jangan sampai lebih dari konsentrasi 0,5 ppm (long-term exposure limit) atau jangan sampai lebih dari 1 ppm dalam waktu yang singkat 15 menit (short-term exposure limit).
“Untuk pengembangannya juga, kami akan mencari sensor gas yang konsumsi dayanya rendah, kemudian bisa bekerja pada suhu ruang. Jadi kalau dipakai di luar ruangan, di lapangan misalnya, bisa menggunakan jenis gas sensor seperti ini,” terang Qomaruddin.
“Kalau di dalam ruangan, itu dicari yang rendah konsumsi dayanya, serta suhu kerjanya. Kemudian yang bisa mengikuti tren teknologi terbaru di dunia saat ini,” tambahnya.
Beberapa tipe sensor gas
Tipe sensor gas digolongkan dalam beberapa tipe bedasarkan prinsip kerja dan material penyusun sensor. Dari sekian banyak jenis sensor gas, yang paling banyak dijumpai di pasaran adalah yang menggunakan prinsip kerja Conductometric Resistive Sensors. Umumnya sensor jenis ini menggunakan material polimer dan semikonduktor oksida logam.
Secara konvensional, sensor gas menggunakan pemanas (heater) untuk aktivasi agar bisa bekerja optimal, sedangkan yang sedang berkembang saat ini menggunakan cahaya untuk aktivasi sensor untuk mereduksi konsumsi daya dan suhu kerja. Selain itu ada optical sensors, electrochemical sensors, thermometics (calorimeric) dan magnetic sensors.
Beberapa sensor yang banyak juga ditemui di pasaran yaitu jenis Mechanical (Mass) Sensors, bahkan sensor dengan prinsip kerja jenis ini dipakai untuk menguji kondisi seseorang yang sedang terinfeksi positif COVID-19 atau negatif saat pandemi lalu, dimana salah satunya menggunakan Quartz Crystal Microbalance (QCM). Ada juga yang menggunakan Cantilever-based Devices untuk mendeteksi particulate meters (PM), serta yang menggunakan Surface Accoustic Wave (SAW) dengan memanfaatkan gelombang akustik untuk mendeteksi gas atau partikel polutan. Diantara beberapa jenis sensor gas yang sudah disebutkan tadi, masih ada jenis lain seperti spectroscopics dan lain sebagainya.
Dalam risetnya, Qomaruddin dan tim mengembangkan Conductometric Resistive Sensors yang berbasis Metal Oxide Semiconductor (MOS) yang diaktivasi menggunakan cahaya pada spektrum cahaya tampak.
Sejarah dan Perkembangan Sensor Gas
Dalam perkembangan sensor gas yang dimulai tahun 1957 oleh Beilanski, dimana dia menggunakan material semikonduktor oksida logam untuk mengetahui adanya hubungan antara konduktivitas listrik pada MOS dengan aktivitas katalis dan dilanjutkan oleh Seiyama tahun 1962 yang memublikasikan adanya proses chemisorption di permukaan MOS pada suhu tinggi, juga dikenalkan untuk pertama kalinya jenis sensor gas komersial oleh Taguchi pada tahun 1972. Prinsip kerja ini masih dipakai hingga saat ini untuk mayoritas sensor gas berbasis MOS. Saura, mengenalkan pertama kali sensor gas yang diaktivasi menggunakan cahaya dengan material SnO2 pada tahun 1994. Pada tahun 2020, Qomaruddin telah berhasil mengembangkan sensor gas dengan material semikonduktor baru dengan bandgap sempit yaitu CaFe2O4 NPs yang diaktivasi menggunakan cahaya pada spektrum cahaya tampak untuk pertama kalinya dengan semikonduktor tipe-p (https://doi.org/10.3390/s20030850).
Hingga saat ini, perkembangan teknologi yang menggunakan cahaya untuk mengaktivasi sensor gas, masih terus berkembang dengan tujuan mengurangi suhu kerja sensor dan konsumsi daya yang digunakan.
“Sensor gas yang mempunyai suhu kerja sangat tinggi itu tidak ramah terhadap jenis-jenis gas yang mudah terbakar dan bisa meledak,” ungkap periset muda ini.
Oleh karenanya, sensor gas yang diaktivasi dengan cahaya pada spektrum cahaya tampak adalah salah satu jawaban untuk mengurangi konsumsi daya (bahkan hingga orde microwatt) dan bisa bekerja pada suhu kamar.
Prinsip kerja sensor gas yang diaktivasi menggukan cahaya
Prinsip kerja sensor gas yang menggunakan cahaya yakni pertama, pada kondisi suhu kamar, udara bebas (oksigen; O2(g)) yang mengalir pada permukaan material sensor akan mengikat elektron menjadi molekul oksigen ion (pre-chemisorbed oxygen ion; O2 (ads)-) dan terikat kuat di permukaan.Kedua, pada saat disinari cahaya dengan energi tertentu ada proses eksitasi elektron dari pita valensi ke pita konduksi. Hal ini akan membentuk pasangan elektron dan hole. Semakin tinggi intesitas penyinaran maka semakin banyak pasangan electron-hole yang terbentuk.
Kedua substansi ini akan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Misalkan elektron akan berinterkasi mengikat oksigen yang ada di udara membentuk oksigen ion pada permukaan sensor, molekul yang terbentuk disebut dengan photo-adsorbed oxygen ion; O2 ads-(hv). Pada saat yang sama hole itu akan berikteraksi dengan pre-chemisorbed oxygen ion dan membentuk molekul oksigen O2(g) serta kembali lagi ke udara bebas.
Proses seperti ini akan terjadi terus menerus hingga pada keadaan setimbang dan sensor siap bekerja mendeteksi gas.
Karakteristik Sensor
Sensor dikatakan mempunyai performa yang handal jika memiliki karakteristik tertentu, diantaranya adalah sensitivitas (tingkat kepekaan dalam mendeteksi gas), selektivitas (kemampuan mendeteksi satu jenis gas tertentu), waktu respon dan recovery (waktu yang dibutuhkan untuk mendeteksi dan membersihkan gas yang yg dideteksi) serta stabilitas. Untuk menghitung sensitivitas sensor (S) dari hasil eksperimen (data pengukuran), digunakan persamaan seperti yang tertulis dibawah ini; yaitu dengan mengukur 90% respon sinyal pada saat mendeteksi gas dibanding pada saat di udara. Hal ini juga digunakan dalam menentukan waktu respon dan recovery.
Contoh aplikasi pembuatan sensor gas berbasis MOS
Qomaruddin dan tim telah berhasil membuat sensor gas berbasis zinc oxide (ZnO) nanorods (NRs) yang didekorasi dengan nanopartikel emas (Au NPs) dan gas ujiyang digunakan adalah Nitrogen Dioxide (NO2). Proses aktivasinya menggunakan cahaya pada spektrum cahaya tampak dengan memanfaatkan fenomena resonansi permukaan yang terlokalisasi (localized surface plasmon resonance; LSPR) pada Au NPs.
Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan untuk membuat sensor gas, mulai dari mempersiapkan electricalcontact sebagai elektroda untuk mengukur besaran listrik hingga pengujian performa sensor.
“Kami membuat benihnya terlebih dahulu dari zinc oxide (ZnO) ini, dibuat dari zinc acetate dehydrate yang dilarutkan ke dalam ethylene glycol dengan konsentrasi 25 milimolar, lalu mendeposisi benih ini pada electricalcontact dengan metode spin-coating, kemudian proses penumbuhannya menggunakan teknik hydrothermal, dan proses dekorasinya kita menggunakan electrophoresis” paparnya.
Kemudian setelah tahapan ini selesai semua, maka dikarakterisasi sifat materialnya. “Kita karakterisasi bagaimana morfologinya, komposisinya, apa benar sudah terbentuk zinc oxide,” urainya.
Dan yang terakhir adalah pengujian performa sensor dengan melakukan pengukuran gas uji NO2 dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Selama pengujian, sensor disinari dengan LED yang mempunyai panjang gelombang berbeda-beda pada spektrum cahaya tampak; yaitu biru (465 nm), hijau (520 nm), kuning (590 nm) dan merah (640 nm) serta menvariasi intensitas penyinaran. Untuk lebih detailnya bisa diakses di https://doi.org/10.3390/chemosensors10010028
Gambar 1. Setup pengukuran gas.
Hasil
Karakterisasi morfologi dan optis menunjukkan hasil yang bagus dan sesuai harapan. Karakterisasi ini menggunakan FE-SEM, AFM, EDS, PL dan UV-vis DRS. Sedangkan uji performa selain menggunakan NO2, juga menggunakan gas CO dan CO2 dengan konsentrasi tinggi sebagai gas uji lain untuk menentukan tingkat selektifitasnya.
Pengujian performa sensor menjukkan hasil yang sangat baik sehingga material sensor ini menjanjikan peningkatan peforma sensor hingga lebih dari 40x sesnsitifitas dari sebelumnya. Juga bisa mendeteksi NO2 pada konsentrasi rendah hingga orde ppb (500 ppb) dalam eksperimen. Peningkatan sensitifita ini disebabkan jumal oksigen ion yg terbentuk lebih banyak dari sebelumnya karena adanya transfer electron dari Au-NPs memanfaatkan fenomena LSPR sehingga bisa mengikat gas NO2 lebih banyak.
Kesimpulan yang bisa diambil diantaranya: (1) bahwa sensor gas adalah divais yang sangat penting untuk mengukur kualitas udara baik di dalam dan di luar ruangan serta untuk mendeteksi adanya gas berbahaya; (2) penuruan suhu kerja serta konsumsi daya pada teknologi sensor gas masih menyisakan tantangan yang besar terutama untuk aktivasi cahaya pada spektrum cahaya tampak terutama untuk material berbasis MOS; (3) masih banyak cara (metode dan material) untuk meningkatkan performa sensor gas dengan aktivasi cahaya. (hrd/ ed. adl)
Tangerang Selatan, Humas BRIN. Pusat Riset Fotonik – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) membuat webinar SEKOPI (Seminar Kolaborasi Optoelektronika) volume I pada Rabu (22/6). Kegiatan ini bertujuan untuk mempererat kerja sama riset bidang laser, optik, fotonik dan optolektronika, serta menyebarluarkan hasil riset kepada masyarakat ilmiah dan industri di Inonesia.
Kegiatan seminar daring yang dilaksanakan oleh salah satu pusat riset di bawah Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material ini, berlangsung secara berkala setiap bulan. Untuk bulan Juni, SEKOPI menghadirkan 1 periset BRIN dan 1 periset tenaga pengajar dari universitas negeri.
Diungkapkan oleh Isnaeni, Kepala Pusat Riset Fotonik, saat ini BRIN telah menyelesaikan reorganisasinya dengan dibentuknya 85 Pusat Riset, salah satunya Pusat Riset Fotonik. “Dalam rangka untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas riset di Pusat Riset Fotonik, maka dibuatlah sebuah wadah seminar yang diberi nama SEKOPI, singkatan dari Seminar Kolaborasi Optoelektronika,” ujarnya.
“Sesuai dengan namanya, maka dalam seminar ini menghadirkan satu pembicara dari internal Pusat Riset Fotonik dan satu pembicara dari periset eksternal, baik dari universitas maupun dari pihak industri. Seminar ini akan dilakukan setiap bulan dengan menghadirkan pembicara-pembicara yang berbeda,” jelas Isnaeni.
Pemateri pertama, Dedi Irawan dari Universitas Riau, menyampaikan topik ‘Advanced Development of Optical Component in Communication and Sensor Application’.
Sementara pemateri kedua yaitu Qomaruddin dari Pusat Riset Fotonik BRIN, menampilkan judul ‘Photo-activated Gas Sensor’. Qomarudin menyampaikan tentang sensor gas secara umum, prinsip kerja, tren saat ini serta contoh proses pembuatan sensor berbasis ZnO NRs, karakterisasi, dan cara pengukuran hingga pembahasan mekanisme interaksi gas dengan material sensor.
Qomarudin memaparkan bahwa atmosfer telah menjadi sistem dinamis yang secara terus-menerus menyerap berbagai jenis zat padat, cair, dan gas, baik yang bersifat alami maupun buatan. “Biosfer adalah bagian yang paling banyak menyerap berbagai jenis zat tersebut. Udara yang ada disekitar kita, mengandung berbagai jenis spesies kimia, beberapa di antaranya sangat penting bagi kehidupan. Sementara yang lainnya merupakan jenis yang berbahaya, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak,” terangnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa nitrogen (78.09%) dan oksigen (20.94%) merupakan penyusun udara terbesar. Sementara sisanya campuran dari berbagai jenis gas seperti karbon dioksida, karbon monoksida, argon, krypton, dinitrogen oksida dan sejumlah kecil gas organik dan inorganik, serta berbagai jenis gas lainnya dengan konsentrasi yang berbeda-beda, berdasarkan tempat dan waktunya.
Menurutnya, di antara berbagai jenis gas tersebut, ada beberapa gas yang berbahaya dan beracun bagi kehidupan terutama manusia. “Gas tersebut dilabeli dengan sebutan sebagai polutan. Pada era modern ini, banyak industri yang menggunakan gas dalam proses produksinya, bahkan menggunakan gas beracun dan mudah terbakar,” ungkap Qomarudin.
“Hal ini tentunya tidak bisa dipungkiri, jika adanya kemungkinan kebocoran gas yang muncul ke udara bebas dan mengakibatkan potensi bahaya bagi industri itu sendiri, para pekerja atau karyawan dan lingkungan sekitar. Oleh karena itu, sensor gas menjadi sangat penting dan merupakan kunci utama dalam mendeteksi spesies yang tidak terlihat, bahkan tidak berasa atau berbau,” urainya.
Dalam risetnya, Qomarudin berfokus pada aktivasi cahaya pada sensor gas sehingga bisa bekerja pada suhu kamar dan rendah konsumsi daya. “Dengan sensor gas, kita dapat mencegah beberapa hal yang tidak diinginkan, serta bisa digunakan untuk memonitoring kondisi lingkungan sekitar,” pungkasnya. (mf/ ed: adl)
Serpong – Humas BRIN. Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (OR NM) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengadakan Seri Webinar Presentasi Ilmiah Riset dan Inovasi ORNAMAT yang kedua, secara daring pada Selasa (17/5). Acara ini dilaksanakan dalam rangka penguatan iklim riset dan inovasi, akumulasi pengetahuan, serta sarana membuka peluang kolaborasi dengan mitra internal dan eksternal BRIN.
Riset bidang nanoteknologi dan material melingkupi riset dari hulu hingga hilir. Di hulu mulai dari teknologi eksplorasi pertambangan, termasuk penambangan ramah lingkungan. Dilanjutkan teknologi metalurgi ekstraksi primer dan sekunder, hingga desain dan rekayasa paduan logam. Kemudian pengembangan material maju, kimia maju, teknologi polimer, hingga potensi aplikasi material, dengan berbagai studi terkait teori, komputasi, dan berbagai aplikasi untuk industri.
Kepala OR NM BRIN Ratno Nuryadi dalam sambutannya menyampaikan tujuan webinar ini untuk menampilkan topik riset dan inovasi di OR NM. “Topik dalam webinar ini merupakan pergiliran dari periset yang ada di kelompok riset OR NM. Sehingga di tahun 2022 semuanya bisa mendapat giliran,” ujarnya.
Webinar kali ini menampilkan dua narasumber OR NM BRIN, yaitu Hanggara Sudrajat dari Pusat Riset Fisika Kuantum dan Suryadi dari Pusat Riset Fotonik. “Selain narasumber periset BRIN, baik juga kalau sesekali kita bisa sisipkan, untuk mengundang juga pembicara dari luar BRIN,” imbuhnya.
Dirinya menegaskan bahwa kelompok riset BRIN merupakan tulang punggung dalam mengembangkan riset-riset BRIN saat ini. “Kelompok riset ini turut andil memberikan inovasi dan insolusi terhadap masalah-masalah yang ada di industri, masyarakat, bangsa, dan negara saat ini. Dari presentasi ini diharapkan aktivitas riset dapat dikenal oleh khalayak dan mengembangkan sosiokultural seorang ASN,” ucap Ratno.
Dalam presentasinya, Hanggara menjelaskan tentang rekayasa semikonduktor untuk mengkonversi energi dari cahaya ke kimia atau disebut fotosintesis artifisial. “Ada tiga target reaksi yang dituju, yaitu oksidasi air untuk memproduksi hidrogen, reduksi karbondioksida untuk memproduksi bahan bakar khususnya C1-2, serta photobiorefenery untuk memperoleh valorisasi biomassa,” jelasnya.
Lebih lanjut Hanggara memaparkan bahwa risetnya membutuhkan metode komputasi untuk mendapatkan kandidat material fotokatalis, yang berpotensi untuk bisa diaplikasikan pada skala industri. “Yang paling perlu diperhatikan adalah aman dan murah, apabila ingin meningkatkan ke skala yang lebih besar,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Suryadi menyampaikan topik riset terkait kebencanaan yaitu tanah longsor. “Saat ini Indonesia merupakan negara yang rawan bencana dikarenakan letak geografis yang berada di daerah tropis. Berdasarkan pengamatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hampir seluruh wilayah Indonesia ancaman bencana cukup tinggi terutama gempa dan tanah longsor,” terangnya.
Berdasarkan data tersebut, Suryadi beserta tim mengadakan riset tentang sistem monitoring gerakan tanah terhubung jaringan sensor nirkabel. “Kami merancang dan membangun sistem monitoring gerakan tanah, merancang dan membangun perangkat mobile gateway, serta karakteristik dan pengujian sistem yang dikembangkan,” tuturnya. (esw/ ed. adl)