Categories
Nanoteknologi & Material Riset & Inovasi

BRIN Sepakati Kerja Sama dengan PT HMI untuk Riset Ekstraksi Bahan Logam

Jakarta – Humas BRINPeriset Badan Riset dan Inovasi Nasional terus melakukan inovasi dan menjalin kerja sama dengan berbagai pihak untuk mengembangkan riset. Kerja sama ini penting untuk menghilirkan dan memaksimalkan potensi riset, khususnya yang berbahan baku lokal.

Seperti yang dilakukan pada Senin (27/3), telah dilaksanakan penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Pusat Riset Material Maju, Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM) BRIN dengan PT Hydrotech Metal Indonesia (PT HMI) di kantor pusat BRIN Jakarta.

PT HMI adalah perusahaan yang bergerak di bidang penyimpanan energi dan teknologi pertambangan, terkait ekstraksi logam seperti nikel, cobalt dan mangan untuk menjadi prekursor baterai lithium. Oleh karena itu, dengan meningkatnya kebutuhan baterai pada kendaraan listrik yang sejalan dengan kebijakan pemerintah, kerja sama ini akan melakukan optimalisasi ekstraksi dari bahan-bahan tersebut.

Kepala Pusat Riset Pertambangan, Anggoro Tri Mursito menyampaikan, pihaknya dari kelompok riset material berkelanjutan dan recycling, akan fokus pada riset dari hulu ke hilir.

“Kerja sama dengan PT HMI terutama  untuk recovery metal sulfat dengan inovasi teknologi ekstraksi nikel STAL (Step Temperature Acid Leach), bisa dikembangkan lebih lanjut dan menghasiltan temuan, invensi, maupun inovasi baru, sehingga bisa mendapatkan kekayaan intelektual yang bisa dilisensikan dan dikomersialisasikan, serta dimanfaatkan untuk industri pertambangan Indonesia yang lebih baik,” tutur Anggoro.

Pada kesempatan yang sama, Direktur PT HMI Widodo Sucipto menyampaikan harapannya, dengan kerja sama tersebut bisa memanfaatkan teknologi yang dikembangkan BRIN, memotong proses-proses bisnis yang tidak menguntungkan, sehingga akan didapatkan biaya yang lebih murah.

“Kita harus mampu memanfaatkan semua sumber daya alam (metal) yang dimiliki Indonesia, oleh putra-putra bangsa, yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia,” ujar Sucipto.

Sementara Tenaga Ahli Utama Dewan Pengarah BRIN Surat Indrijarso yang turut hadir pada acara tersebut, menyampaikan arahannya tentang pentingnya mematenkan hak kekayaan intelektual hasil karya para periset dan hilirisasi hasil-hasil riset, sehingga membawa dampak positif yang bisa dirasakan masyarakat. “BRIN telah menjalin komunikasi dengan Kemenkumham, untuk mempermudah proses pengakuan hak-hak kekayaan intelektual periset tersebut,” jelas Surat. (jp/ed:adl)

Tautan :

https://www.brin.go.id/news/112102/brin-sepakati-kerja-sama-dengan-pt-hmi-untuk-riset-ekstraksi-bahan-logam

Categories
Nanoteknologi & Material Riset & Inovasi

Strategi Komersialisasi Hasil Riset dan Inovasi, dari Lab ke Industri

Tangerang Selatan – Humas BRIN. Jumlah kekayaan intelektual (KI) yang didaftarkan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) setiap tahunnya terus bertambah. Namun, banyak dari KI tersebut yang belum termanfaatkan oleh industri dan masyarakat. Hilirisasi atau komersialisasi hasil riset menjadi tantangan yang perlu mendapat perhatian, agar keberlanjutan riset terus berjalan.

Pemanfaatan atau komersialisasi hasil riset menjadi bahasan utama pada forum pertemuan ilmiah riset dan inovasi ORNAMAT Seri #24 yang dihelat secara daring, Selasa (28/02).

Peneliti Ahli Utama dari Pusat Riset Material Maju – Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), sekaligus pendiri PT Nanotech Indonesia Global yang telah go public, Nurul Taufiqu Rochman, berbagi pengalaman upaya komersialisasi produk riset dan inovasi masuk ke dalam dunia industri.

Sebagai entrepeneur dalam bidang bidang nanoteknologi, Nurul yang mengantongi 40 paten, 100 paper internasional, dan 180 paper nasional ini menyampaikan pengalaman, tips dan trik bagaimana membawa berbagai hasil riset untuk berkolaborasi dengan stakeholder dunia industri hingga komersialisasi hasil riset dan inovasi atau penelitian dan pengembangan.

Pada paparannya, Nurul menjelaskan, inovasi merupakan serangkaian proses mulai dari identifikasi permasalahan dalam kehidupan melalui litbang hingga menyelesaikan masalah tersebut. “Inovasi muncul melalui penciptaan  produk, layanan, atau jasa yang memiliki nilai kebaruan dan ekonomi, sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia. Inovasi hasil riset bisa membuat loncatan dari basic riset ke komersil,” ungkapnya.

Nurul yang pernah menerima berbagai penghargaan internasional termasuk Habibie Award menerangkan bahwa tantangan riset berada pada komersialisasi hasil riset. “Logika dasar inovasi adalah basic research-applied research-development-commercialization. Pada umumnya riset masih berada pada level basic, maka tantangan terbesar adalah hilirisasi dan komersialisasi,” ucapnya.

Dijelaskan Nurul, tahapan komersialisasi hasil riset bisa dimulai dengan pendaftaran HKI ke paten. “Tujuan utama paten bukan untuk komersial. Tujuannya untuk melindungi hasil litbang yang baru dan bermanfaat, mengukuhkan kepemilikan negara dan pengakuan terhadap peneliti serta bisa dijadikan jaminan, saluran pengetahuan yang bebas akses bagi publik, menjadi indikator luaran lembaga litbang dunia, menjadi mosaik rekam jejak hasil kerja peneliti,” ungkap profesor riset ini.

Hasil Litbang ke Dunia Industri

Di dalam sebuah lembaga riset, bagi Nurul, mutlak diperlukan center for innovation yang membawa hasil litbang ke dunia industri. “Center for innovation ini memiliki dua aktivitas utama, yaitu alih teknologi untuk yang sudah ada industrinya, dengan kegiatan seperti promosi inovasi teknologi, valuasi HKI serta ekspos teknologi atau temu bisnis, dan inkubasi teknologi dengan kegiatan seleksi dan identifikasi teknologi, valuasi HKI, serta pendampingan kegiatan pra inkubasi,” paparnya.

Lebih lanjut, Nurul menjelaskan kesulitan membawa hasil riset ke masyarakat dan industri. “Di antaranya mekanisme alih teknologi belum banyak diketahui, belum ada pedoman dan mentor yang mumpuni, peneliti tidak memiliki jiwa teknopreneur serta regulasi dan kebijakan yang belum mendukung,” sebutnya.

Menurut Nurul, ada dua cara untuk melakukan valuasi dan validasi hasil riset untuk bisa dibawa ke industri. “Cara pertama yaitu valuasi teknologi secara teknik, Technology Readiness Level, didasarkan pada kesiapan teknologi dari produk alat hasil litbang sebelum dimanfaatkan oleh pengguna. Kedua yakni validasi komersial, secara ekonomi, Commercialization Readiness Level, didasarkan pada bukti-bukti produk hasil litbang, sesuai dengan permintaan pengguna,” ulasnya.

Nurul menjelaskan bagaimana praktik dan model komersialisasi hasil litbang. “Model pertama, langsung ke industri, dengan MoU, pada pola ini  peneliti kurang diuntungkan, karena hanya bersifat transfer teknologi. Model 2, peneliti menjadi pengusaha, mencari investor melibatkan tiga pihak, yakni inventor, pengguna dan investor. Model 3, membangun pusat inkubasi, industri membuat  start up yang dikelola bersama. Model 4, peneliti bersama teknopreneur mendirikan industri start up,” jabarnya.

Nurul menegaskan bahwa untuk membawa hasil riset kepada dunia industri, agak sulit bagi peneliti untuk berjalan sendiri, harus membutuhkan mitra strategis (strategic partner). “Manajemen modern saat ini membutuhkan pendamping yang kita kenal dengan start up sebagai mitra. Fungsi mitra adalah mencari dana pendamping untuk melewati the death of valley komersialisasi hasil litbang,” katanya.

“Kemudian pada tahun berikutnya, diharapkan startup menemukan private sector untuk mendapatkan pendanaan pendamping, selain yang berasal dari public sector dengan output berupa contoh produk yang teruji pasar, market captive, bisnis berjalan, dan punya rencana bisnis,” jelas Nurul yang bersama timnya sukses membangun 18 perusahaan start up.

Kepala Pusat Riset Material Maju BRIN, Wahyu Bambang Widayatno menilai forum pertemuan ilmiah kali ini sangat menarik, karena sebelumnya ornamat banyak membahas riset skala lab. “Topik kali ini menarik, bagaimana membawa hasil riset dari lab ke industri. Semangat membuat ekosistem riset yang lebih baik khususnya di ORNM dan BRIN serta Indonesia dalam skala luas,” ujar Wahyu.

“Pada akhirnya kita berharap semua aktivitas riset ini bisa membuat ekonomi RI bisa maju dan bisa merasakan manfaat, tidak hanya pada stakeholder yang melakukan riset dan inovasi, namun juga bagi teman-teman di luar yang belum tersentuh efek baik dari riset dan inovasi yang kita lakukan. Perlu dipikir ulang apa yang sudah dilakukan, riset dan inovasi tidak hanya sebatas terhenti pada memenuhi angka kredit. Aktivitas riset dilakukan untuk meningkatkan daya saing ekonomi yang bisa membawa kesejahteraan bersama,” pungkas Wahyu. (jp/ed:adl,pur)

Categories
Nanoteknologi & Material Riset & Inovasi

Kolaborasi Riset BRIN-BRIDA Bali Dukung Produk Berbasis Kearifan Lokal

Bali-Humas BRIN. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material melakukan audiensi ke Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) Bali, Jumat, (17/02).  Audiensi tersebut dilaksanakan sebagai salah satu bentuk dukungan BRIN kepada BRIDA Bali dalam upaya menjalin kolaborasi mengembangkan potensi-potensi daerah yang ada Bali.

Kepala BRIDA Bali Made Gunaja menyampaikan sesuai dengan arahan Presiden RI dan Gubernur Bali, bahwa hasil-hasil riset tidak hanya berhenti di jurnal ataupun di perpustakaan tetapi harus dapat diimplementasikan kepada masyarakat. Khususnya untuk permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Bali, menurut Gunaja hilirisasi riset menjadi sesuatu yang penting sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat.

“Riset yang dihasilkan dapat diarahkan untuk menguatkan kearifan lokal yang ada di Bali khususnya dari aspek sandang, pangan, dan industri pariwisata. Selain itu, Bali memiliki produk minuman berbasis kearifan lokal, namun masih belum didukung teknologi dalam memproduksi kemasan/botolnya sendiri. Kedepannya tema riset di Bali akan diarahkan, bagaimana Bali bernaung dalam kedaulatan pangan dan memanfaatkan karifan-kearifan lokal untuk dikembangkan di Bali dan bermanfaat bagi masyarakat Bali,” ungkap Gunaja.

Gunaja menambahkan, Gubernur Bali pernah menyampaikan agar hasil-hasil riset sejalan dengan kearifan lokal dan BRIDA menjadi “dirigen” riset di daerah sehingga dengan adanya kolaborasi dan dukungan intervensi kebijakan diharapkan mampu menuntaskan permasalahan, seperti contohnya kebutuhan untuk botol kemasan produk minuman arak Bali yang masih tergantung dari luar.

Kepala Oganisasi Riset Nanoteknologi dan Material BRIN Ratno Nuryadi, mengatakan bahwa melalui audiensi ini kedepannya akan ada kolaborasi yang bisa kita laksanakan terkait dengan pemanfaatan teknologi, rekomendasi maupun bidang lainnya untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada, dan tentunya dapat menguntungkan semua pihak baik itu BRIN maupun BRIDA.

“Kolaborasi dengan pemangku kepentingan harus dijalin dengan berbagi pihak baik dari universitas, industri, kementerian, maupun Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. BRIDA merupakan salah satu partner yang cocok untuk mewujudkan maksud tersebut, mengingat BRIDA dan BRIN memiliki kemiripan sama-sama untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada,” ungkap Ratno.

Ratno menambahkan, Bali memiliki kekuatan ekonomi yang bagus di bidang pariwisata, tetapi disamping itu masih ada hal-hal pendukung pariwisata lainnya yang masih perlu dikembangkan. Dilihat dari kacamata kepakaran, BRIN dapat membantu dalam hal seperti teknologi pengemasan pangan dari hasil pertanian.

“Sumber daya manusia BRIN di Bali memiliki keahlian di bidang keramik kreatif dan sangat dekat dengan hilirisasi terutama dengan kebutuhan Pemerintah Provinsi Bali. Sebagai contoh, desain yang dimiliki tetap memiliki kekhasan Bali dengan perpaduan antara teknologi oleh BRIN dengan keseniannya,” pungkas Ratno

Terakhir, Ratno menyampaikan periset harus memiliki kompetensi yang kuat, mengikuti regulasi, dan sesuai kebutuhan. Dalam pengembangannya juga harus merangkul BRIDA Bali, industri yang terkait, dan masyarakat yang membutuhkan. Melibatkan pemangku kepentingan harus dari awal perencanaan hingga perancangan riset agar hasil riset yang dihasilkan berkelanjutan dan dapat dihilirisasi. (igp/yul/gws)

Categories
Nanoteknologi & Material Riset & Inovasi

Potensi Hilirisasi Nikel di Indonesia dan Pemanfaatannya

Tangerang Selatan – Humas BRIN. Indonesia merupakan salah satu produsen terbesar nikel dunia. Sebagai salah satu komponen utama dalam baterai dan stainless steel (baja khusus), nikel memainkan peranan penting dalam transisi dari energi fosil menjadi energi terbarukan, dan ekonomi Indonesia di masa yang akan datang. Apalagi tren kendaraan listrik sedang meningkat.

Saat ini hampir 70% produk turunan nikel dunia digunakan sebagai bahan baku stainless steel,  11% untuk baterai, 7% untuk berbagai paduan logam, dan sisanya digunakan untuk berbagai bahan baku industri mulai lapisan anti korosi, katalis, magnet, pigmen dan berbagai aplikasi lainnya.

Profesor riset dari Pusat Riset Metalurgi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Efendi dalam presentasinya menyampaikan materi dengan judul Pengenalan ‘First Use dan End Use, Nikel dan Potensi Hilirasinya di Indonesia’. Dalam ulasannya Efendi menjelaskan cadangan bijih nikel yang melimpah perlu dimaksimalkan dengan pengembangan produk nikel hilir untuk meningkatkan perekonomian Indonesia.

“Beberapa penggunaan nikel dalam produk hilir seperti stainless steel, baterai, paduan nikel, serbuk nikel, lapis nikel, dan senyawa nikel perlu dikenali dan dikaji potensi hilirisasinya,” terang Efendi pada Workshop Metalurgi yang diselenggarakan secara virtual, Jumat (09/12).

Efendi menjelaskan produk hilir nikel dan potensi hilirisasinya di Indonesia. “Dari kajian ini muncul pemikiran bahwa selain stainless steel dan baterai, pengembangan produk paduan dan senyawa nikel perlu menjadi fokus perhatian,” jelasnya.

Sementara peneliti dari Pusat Riset Metalurgi Iwan Setiawan menyampaikan bahasan tentang ‘Piro dan Hidrometalurgi Nikel Laterit’. Dalam paparannya Iwan menyampaikan bahwa Indonesia memiliki cadangan nikel yang sangat besar bahkan tertinggi di dunia.

“Dengan tumbuhnya industri pengolahan nikel, baik menjadi feronikel maupun nikel kimia untuk baterai, tentunya akan meningkatkan pendapatan negara. Di sisi lain, pemanfaatan  bijih ini akan menurunkan cadangan nikel secara cepat, dan memungkinkan juga akan terjadi degradasi lingkungan,” ungkap Iwan.

Guna mengatasi hal tersebut, lanjut Iwan, proses hilirisasi hendaknya dipercepat sampai menuju produk akhirnya, karena hilirisasi yang sedang berjalan belum sepenuhnya meningkatkan nilai tambah yang signifikan, karena hanya sampai produk antara.

“Bila hilirisasi dilakukan dengan tuntas, maka eksploitasi sumber daya alam akan dapat dikurangi yang dampaknya sustainability dapat berjalan. Beberapa riset dapat dilakukan untuk mempercepat hilirisasi dan memecahkan masalah lingkungan,” imbuh Iwan.

Ia menjelaskan bahwa pirometalurgi merupakan suatu proses pengolahan atau ekstraksi logam menggunakan panas secara intensif. Sementara hidrometalurgi merupakan proses pengolahan atau ekstraksi logam berharga menggunakan media cair atau larutan pada kondisi atmosferik atau bertekanan.

Teknologi hidrometalurgi yang sudah terbukti yaitu High-Pressure Acid Leach (HPAL) untuk menghasilkan bahan baterai kendaraan listrik. Teknologi ini unggul dari sisi perolehan nikel dan kobalt, penggunaan energi yang minimum, dan ramah lingkungan.

“Sejumlah smelter di Indonesia pada saat ini yang akan mulai beroperasi menggunakan HPAL dan beberapa masih dalam tahap konstruksi. Produk utama dari proses ini adalah Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) dan Mixed Sulphide Precipitate (MSP). Bahan ini sebagai bahan utama komponen baterai lithium,” ulasnya. (esw, mfn/ ed:ls,adl)

Sumber : https://brin.go.id/news/111085/potensi-hilirisasi-nikel-di-indonesia-dan-pemanfaatannya

Categories
Nanoteknologi & Material Riset & Inovasi

Profesor Riset BRIN Temukan Formulasi Kosmetik Berbasis Teknologi Nanoemulsi Berbahan Herbal

Jakarta – Humas BRIN. Pemanfaatan sumber daya herbal Indonesia menjadi potensi yang sangat penting dalam pembuatan kosmetik untuk memberikan keamanan dan kenyamanan yang tinggi bagi konsumen. Profesor Riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yenny Meliana mengatakan saat ini penggunaan bahan baku berbasis bahan alam herbal Indonesia seperti pegagan, jahe, lidah buaya, alga, kulit buah manggis, minyak atsiri, dan lain-lain telah banyak dikembangkan untuk menghasilkan produk kosmetik yang bermutu tinggi.

Di sisi lain, kata Yenny, aplikasi produk kosmetik berbasis nanomaterial masih belum banyak terdapat di pasaran. Hal ini yang mendasarinya untuk melakukan penelitian mengenai Peran Teknologi Nanoemulsi Untuk Pengembangan Mutu Kosmetik Dari Herbal Asli Indonesia. Yenny pun berhasil menemukan beberapa formulasi kosmetik berbasis teknologi nanoemulsi seperti: anti-selulit dari ekstrak pegagan dan jahe, serta anti-aging dari ekstrak pegagan dan kulit manggis dan solid perfume.

Yenny menjelaskan teknologi nanoemulsi sangat memungkinkan untuk diaplikasikan pada bidang kosmetik. Aplikasi teknologi nanoemulsi ini dapat memberikan nilai tambah ekonomi yang tinggi. Sifat-sifat dari formulasi nanoemulsi ini memiliki keunggulan yaitu kestabilan yang baik, pelepasan bahan aktif yang terkontrol dan juga tertarget. 

“Dalam pengembangan kosmetik membutuhkan sistem penghantaran kosmetik yang baik, salah satunya adalah nanoemulsi. Nanoemulsi merupakan sistem yang sangat menjanjikan dalam peningkatan mutu kosmetik, karena dapat meningkatkan penyerapan melalui kulit sehingga memberikan hasil yang efektif,” jelas Yenny dalam orasi pengukuhan profesor riset bidang teknik kimia di Auditorium BRIN Gedung BJ Habibie Jakarta, Jumat (25/11).

Menurutnya, peluang untuk menerapkan hasil penelitiannya terkait nanoemulsi untuk aplikasi kosmetik di Indonesia sangat besar. Hal ini didukung meningkatnya kebutuhan terhadap kosmetik dan tren yang mulai bergeser ke arah nanoteknologi. Pengembangan teknologi nanoemulsi khususnya bahan herbal asli Indonesia memerlukan kerja sama semua pihak, khususnya kerja sama antar peneliti dan akademisi yang melibatkan mahasiswa serta dunia industri.

“Hasil temuan ini sangat berpeluang untuk diproduksi dalam skala industri dengan menggandeng perusahaan start-up di bidang kosmetik yang mengedepankan teknologi nanoteknologi. Penggunaan teknologi nanoemulsi dapat meningkatkan efikasi dari produknya sehingga memberikan nilai tambah komersial terutama dengan mengedepankan penggunaan herbal asli Indonesia,” ungkap wanita yang meraih gelar S3 bidang Teknik Kimia di National Taiwan University Taipei tahun 2012 itu.

Yenny pun meyakini hasil temuan teknologi nanoemulsi untuk aplikasi kosmetik ini sebagai temuan yang signifikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Pemanfaaan berbagai bahan herbal Indonesia yang dibalut dengan teknologi nanoemulsi dapat menambah nilai ekonomi. Penemuan aplikasi nanoemulsi ini dapat menjadi pionir kosmetik dengan teknologi nano yang dapat menambah daya saing produk lokal.

Hasil invensi ini memanfaatkan bahan-bahan herbal Indonesia yaitu pegagan dan jahe sebagai anti selulit, kulit manggis sebagai anti aging, minyak atsiri sebagai solid perfume di mana ukuran droplet berkisar antara 50-200 nm yang dapat meningkatkan penetrasi bahan aktif ke dalam jaringan kulit sehingga meningkatkan efektifitas efikasinya.

Namun demikian, terdapat tantangan regulasi untuk mensertifikasi produk kosmetik berbasis nano yang perlu ditindaklanjuti dan dibedakan dengan produk material nano anorganik karena dari segi karakteristik dan kebutuhan kosmetik nano memiliki ciri khas tersendiri. Dengan adanya penyesuaian regulasi khusus kosmetik nano, diharapkan tren kosmetik berbasis nanoteknologi bisa berkembang dan mudah diterima oleh masyarakat.

Menurutnya, aplikasi produk kosmetik berbasis nanomaterial masih belum banyak terdapat di Indonesia. Padahal, lembaga-lembaga internasional seperti The World Health Organization (WHO), European Commission (EC) dan The Food and Drug Administration (FDA) mulai mengembangkan panduan terkait keamanan dan penggunaan produk industri berbasis nanomaterial. “Ke depan arah kebijakan untuk izin edar ditelaah lebih lanjut menyesuaikan karakter khususnya ukuran nanoemulsi kosmetik,” beber wanita yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Riset Kimia Maju BRIN tersebut.

Di sisi lain, Yenny berharap agar kegiatan penelitian dan pengembangan terhadap sumber daya herbal asli Indonesia dilakukan secara berkesinambungan, terintegrasi serta menjamin pengelolaan potensi kekayaan herbal asli Indonesia dengan lintas sektor agar mempunyai daya saing sebagai sumber ekonomi masyarakat dan mendatangkan devisa negara serta mengantarkan Indonesia untuk menuju kemandirian dalam segala bidang. 

Yenny juga mengatakan perlu membangun sinergi di lintas sektor terkait, sinergi kebijakan nasional dan regulasi sehingga hasil eksplorasi penelitian dapat dihilirisasi atau dikomersialisasikan menjadi produk yang lebih berkualitas, bermutu dan memiliki efikasi yang lebih baik serta memiliki nilai jual tinggi. “Ini menjadi tantangan besar bagi para peneliti untuk bersinergi dengan industri dalam rangka akselerasi proses hilirisasi hasil litbang kosmetik berbasis teknologi nanoemulsi,” pungkasnya. (jml)