Tangerang Selatan – Humas BRIN. Dengan meningkatnya kebutuhan bahan bakar dan juga polusi gas buang bahan bakar berbasis fosil, maka diperlukan solusi bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan. Bahan bakar alternatif tersebut dapat diperoleh dari limbah biomassa yang diolah melalui proses katalitik untuk menjadi biohidrokarbon. Hasilnya adalah produk biogasolin yang setara dengan bensin serta biodiesel.
Hal tersebut disampaikan Peneliti dari Kelompok Riset Rekayasa Proses Kimia, Pusat Riset Kimia Maju, Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM), Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Robert Ronal Widjaya, dalam paparannya “Proses Katalitik Menggunakan Tanah Liat Berpilar Logam untuk Konversi Bahan Bakar Nabati,” pada Webinar Ornamat seri ke-37, Selasa (24/10).
“Tujuan dari skema proses riset kami adalah limbah biomassa dari industri minyak sawit bisa diolah melalui beberapa metode proses, untuk proses katalitik dari minyak inti sawit, minyak sawit atau minyak jelantah (waste cooking oil), yang kemudian diuji katalitik, akan didapat hasil atau produk akhir menjadi bensin nabati atau diesel nabati,” terangnya.
Robert menjelaskan di samping itu, biomassa juga ada limbah yang berupa padatan yang bisa diolah secara hidrolisis menjadi gula difermentasi dan akhirnya menjadi bioetanol atau biobutanol. Bioetanol bisa juga disebut intermediate product atau produk antara karena bisa diolah uji katalitik menjadi bensin nabati juga.
Menurut Robert, untuk melakukan proses tersebut diperlukan material-material, salah satunya adalah tanah liat yang ada di sekitar kita. Karena Indonesia mempunyai berbagai jenis tanah liat dan yang dapat digunakan saat ini seperti bentonit atau monmorilonit. Keuntungan dari tanah liat adalah harganya murah dan jumlahnya melimpah.
“Indonesia memiliki tanah liat yang cukup bagus sebagai penyangga katalis. Contohnya dari Tapanuli, Trenggalek, dan Yogyakarta yang tanah liatnya mudah direkayasa,” ucapnya.
Di dalam struktur tanah liat tersebut juga terdapat lembaran-lembaran yang teratur. Yakni silika – alumina – silika, dan begitu seterusnya. Pada lapisan tersebut ada ruang yang berisi ion-ion yang bisa dipertukarkan kemudian berulang kembali lapisannya, yaitu silika – alumina – silika.
“Menjadi fokus kami untuk merekayasa ruang yang berisi ion ini dengan menggantikan ion-ion bebas disini dengan logam sebagai katalis yang bisa kita gunakan untuk kegiatan ini, antara lain aluminium, besi, timah, dan krom. Jadi logam-logam ini nanti akan menggantikan ion-ion yang ada di sini dan membentuk seperti pilar, oleh karena itu disebut metodenya pilarisasi,” tegasnya.
Di antara lapisan tersebut pun ada pori. Pori tersebut nantinya ketika masuk ke bioetanol, minyak jelantah atau bio-oil, akan terjadi reaksi dan keluar reaktor menjadi biodiesel.
Kemudian untuk logamnya, Robert mengungkapkan menggunakan metode bimetal atau penggabungan dua logam dan jarang menggunakan single metal. “Karena setiap logam mempunyai kelemahan dan kelebihan, sehingga bisa saling bersinergi,” ujarnya.
Robert menjabarkan metode pilarisasi ini cukup mudah digunakan pada skala lab dengan peralatan sederhana. Tahapannya tanah liat dan aquades dipanaskan dan diaduk hingga terbentuk suspensi.
“Larutan logam ditambahkan pada suspensi tersebut, diaduk 24 jam, dicuci untuk menetralkan keasaman, disaring dengan pompa vakum (sentrifuge), dioven 12 jam, dikalsinasi dengan tungku (furnace), hingga menjadi sampel katalis yang siap digunakan pada reaktor,” urainya.
Sampel tersebut dikarakterisasi materialnya sebelum digunakan pada reaktor yang bersuhu 350 derajat. “Sampel terlebih dahulu melalui uji XRD untuk melihat jenis basal dan perubahan fasa, FTIR untuk melihat jenis gugus fungsi dan jenis asam, TPD-NH3 untuk mengukur tingkat keasaman dengan pH 5-6, XRF untuk mengetahui kandungan unsur katalis, TGA untuk stabilitas termal pilar saat digunakan dalam reaktor, BET untuk analisis luas permukaan spesifik dan dimensi pori. Selain itu bisa juga dengan alat TEM, HRTEM, GCMS atau GCFID,” jelas Robert.
Dari berbagai hasil karakterisasi material yang dilakukan oleh Robert dan tim, menunjukkan bahwa logam alumunium, besi, dan krom dapat digunakan sebagai pilar dari tanah liat. Lalu dapat diaplikasikan menjadi material antara yang dapat mengkonversi produk antara. “Seperti bioetanol menjadi bahan bakar setara bensin atau minyak jelantah menjadi biodiesel,” pungkasnya. (ls, adl/ ed : aps)