Tangerang Selatan – Humas BRIN. Isu lingkungan hidup merupakan salah satu persoalan yang menarik perhatian dunia karena telah menjadi permasalahan global, khususnya pengelolaan limbah. Indonesia, dengan kekayaan hayati dan sumber daya alam yang melimpah, dihadapkan pada tantangan pengelolaan lingkungan yang mendesak, terutama dari masalah kontaminasi danau. Danau Batur yang berada di Provinsi Bali adalah salah satu dari lima belas danau yang diprioritaskan oleh Presiden untuk direvitalisasi karena tercemar. Hal ini terjadi karena pembuangan limbah di danau tersebut tidak dikelola dengan baik.
Merespons situasi ini BRIN melalui Kelompok Riset Pemodelan Ekologi, Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih (PRLTB) BRIN, melakukan penelitian terbaru dengan judul “Status Beban Pencemaran: Studi Kasus di Danau Batur, Bali.” Hasil temuan penelitian ini disampaikan dalam Webinar Envirotalk #29 pada Rabu (28/02) yang menyoroti urgensi pemantauan danau serta memperkenalkan Sistem Pendukung Keputusan (DSS).
Handy Chandra, Kepala PRLTB, ORHL menyampaikan dalam sambutannya bahwa Envirotalk kali ini merupakan kegiatan yang sangat positif, yaitu mengenai pemantauan Danau Batur dan Decision Support System (DSS).
”Secara pribadi saya sendiri sudah pernah mengerjakan DSS di tahun 2015 saat masih bekerja di Kementerian Kelautan dan Perikanan, sudah menjadi aplikasi, website dan segala macam, akan tetapi tidak berlanjut karena satu dan lain hal. Saya senang sekali Prof. Yudhi dan Pak Doni bisa melakukan DSS dan mengembangkannya lebih lanjut, ini dapat menjadi ikon bagi PRLTB di kemudian hari. Semoga kita semua mendapatkan manfaat dari acara Envirotalk yang ke-29 ini,” ujarnya.
Yudhi Soetrisno Garno selaku peneliti ahli utama PRLTB, menjelaskan “Status Beban Pencemaran: Studi Kasus Danau Batur, Bali”. Menurutnya, karakteristik Danau Batur unik. Hal ini karena hanya ada satu sungai yang airnya mengalir ke dalam danau dan tidak ada sungai mengalir keluar dari danau.
”Meskipun begitu, pemanfaatan air di Danau Batur cukup beraneka ragam, di antaranya digunakan oleh pertanian, transportasi, pariwisata, perikanan, peternakan, dan domestik. Sementara itu, limbah yang masuk ke dalam sungai berasal dari limbah domestik, pertanian, transportasi, hotel dan restoran, serta limbah perikanan dan peternakan,” terangnya.
Penelitian mengenai Danau Batur dipilih oleh Yudhi dan tim karena air di danau sudah hijau, kualitas air yang terdampak oleh nutrien, dan kematian ikan yang hampir terjadi setiap tahun. Saat ini, kelompok risetnya tengah merancang pengembangan model DSS, untuk pengelolaan Danau Batur.
Tujuannya adalah mengetahui status tropik badan air Danau Batur, membangun basis data sumber pencemar Danau Batur, pengendalian pencemaran, menyusun rekomendasi terkait pengelolaan beban pencemaran, dan pengendalian pencemaran guna mencegah Danau Batur menjadi comberan raksasa.
”Metodologi yang kami gunakan adalah sampling yang dilakukan pada sembilan tempat pembuangan sampah (TPS) dengan mengambil sampel air pada lapisan eufotik (0–2,30 m), setelah itu akan dilakukan analisis terhadap sampel di laboratorium Universitas Padjajaran sehingga dapat diketahui kualitas air danau dan dampak pengembangan KJA di Danau Batur yang melebihi daya dukungnya,” ungkapnya.
Danau Batur idealnya hanya memiliki daya dukung keramba jaring apung (KJA) sebesar 10.047 petak, tetapi pada 2022 tercatat telah ada 18.768 petak di danau tersebut atau dapat dikatakan tidak ideal.
”Tahun 2024 kami berharap sudah dapat merumuskan program pengembangan model DSS, dengan data yang telah kita kumpulkan, ke depannya kita akan dapat menentukan alokasi beban pencemaran,” kata Yudhi.
Selain dapat menentukan sumber pencemar, dari penelitian juga dapat menentukan berapa besar hasil limbah yang bisa dibuang. “Dengan demikian, kita dapat menghasilkan rekomendasi yang baik untuk masyarakat sekitar dan pemangku kebijakan, apakah Danau Batur lebih cocok untuk pariwisata yang didukung perikanan atau lebih cocok untuk kegiatan lain,” tutupnya.
Sebagai informasi, kegiatan penelitian ini akan berlangsung selama tiga tahun, yakni 2023 hingga 2026 dan didanai oleh Riset dan Inovasi untuk Indonesia Maju (RIIM) IV. Stakeholder yang terlibat di antara adalah Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan (PKP) Kabupaten Bangli, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (Ir/ ed: adl)
Tautan :