Tangerang Selatan – Humas BRIN. Sesi pleno hari pertama Energy Week 2025 yang diselenggarakan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjadi forum strategis untuk membahas arah pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) nasional sebagai tulang punggung transisi energi Indonesia. Acara yang berlangsung pada Rabu (17/12) ini menghadirkan pemangku kepentingan kunci dari pemerintah, BUMN, dan akademisi untuk mengulas kebijakan, tantangan teknis, serta peluang industrialisasi energi surya.
Periset Pusat Riset Teknologi Kelistrikan BRIN, Andhika Prastawa, menyoroti kesiapan teknologi dan tantangan kemandirian industri PLTS nasional. Ia menjelaskan bahwa target pengembangan PLTS sebesar 17,1 GW perlu dilihat secara komprehensif dari sisi kesiapan rantai pasok industri dalam negeri.
“Indonesia memiliki potensi bahan baku pasir silika sekitar 330 juta ton yang dapat dimanfaatkan untuk industri modul surya maupun semikonduktor. Namun, transformasi dari bahan baku hingga produk industri membutuhkan skala ekonomi besar, pasokan listrik yang andal, serta dukungan kebijakan pasar,” jelas Andhika.
Ia menambahkan bahwa penguasaan teknologi sel surya berbasis silikon kristalin hingga material baru seperti perovskite telah dikuasai pada level riset. Tantangan terbesar saat ini adalah mendorong hasil riset tersebut menuju tahap industrialisasi agar mampu diproduksi secara massal dan ekonomis.
Dari sisi sistem ketenagalistrikan, BRIN menekankan pentingnya pengembangan teknologi pendukung seperti inverter, baterai, smart microgrid, dan virtual power plant untuk menjaga stabilitas jaringan dan keandalan pasokan listrik, khususnya di wilayah terpencil dan kepulauan.
“Keberhasilan pengembangan PLTS tidak hanya ditentukan oleh teknologi, tetapi juga oleh kesiapan sumber daya manusia, logistik, serta skema pembiayaan yang bankable,” terangnya.
Selain itu, dukungan pemerintah melalui market concession, penugasan penggunaan produk dalam negeri, serta jaminan bankabilitas turut menjadi faktor penting untuk mendorong peningkatan skala industri PLTS nasional.
Dalam pertemuan tersebut, Kepala Balai Besar Survei dan Pengujian Ketenagalistrikan, EBTKE, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Trois Dilisusendi, menyampaikan bahwa Indonesia memiliki potensi energi surya yang sangat besar, mencapai lebih dari 3.300 gigawatt (GW), namun pemanfaatannya masih relatif rendah.
Hingga 2025, bauran energi baru dan terbarukan (EBT) nasional berada di kisaran 16 persen, sehingga diperlukan percepatan pembangunan PLTS dalam berbagai skema, mulai dari PLTS atap, ground-mounted, hingga PLTS terapung.
“Pemerintah menargetkan penambahan kapasitas PLTS hingga 17,1 GW pada 2034, termasuk dukungan sistem penyimpanan energi atau battery energy storage system (BESS),” jelasnya.
Regulasi pendukung, seperti Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 dan revisi kebijakan PLTS atap, terus disempurnakan untuk meningkatkan daya tarik investasi sekaligus menjaga keterjangkauan biaya listrik.
Sementara itu, Executive Vice President (EVP) Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PT PLN (Persero), Eko Yudo Pramono, dalam paparannya menyampaikan rencana implementasi PLTS secara masif melalui berbagai model bisnis, termasuk skema pengembangan mandiri, kemitraan dengan independent power producer (IPP), serta joint venture. Hingga 2034, PLN merencanakan penambahan kapasitas PLTS secara bertahap dengan rata-rata sekitar 1,8 GW per tahun, didukung pembangunan sistem penyimpanan energi hingga 6 GW.
PLN juga menyoroti program konversi pembangkit diesel di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) melalui penggantian dengan PLTS terintegrasi BESS. Program ini mencakup ratusan lokasi yang selama ini bergantung pada bahan bakar minyak, sekaligus menjadi langkah nyata menurunkan biaya pokok penyediaan listrik dan emisi karbon.
Dari perspektif akademik, Tri Desmana Rachmildha dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menekankan bahwa PLTS memiliki keunggulan utama dari sisi kecepatan pembangunan dan potensi pengurangan subsidi energi. Namun, karakteristik PLTS yang bersifat non-dispatchable menimbulkan tantangan teknis pada sistem kelistrikan, seperti fluktuasi daya, duck curve, dan isu stabilitas jaringan.
Meski demikian, perkembangan teknologi inverter dan sistem penyimpanan energi dinilai telah mampu menjawab sebagian besar tantangan tersebut. Integrasi PLTS dengan BESS, serta penyebaran pembangkit surya secara geografis, dapat meningkatkan keandalan sistem dan mengurangi dampak intermitensi. Selain itu, peningkatan permintaan listrik melalui elektrifikasi transportasi dan industri dipandang penting untuk menyeimbangkan pasokan energi terbarukan yang terus bertambah.
Sesi pleno juga menyoroti peran PLTS dalam menarik investasi dan memperkuat daya saing industri nasional. Ketersediaan energi hijau dinilai semakin menjadi syarat utama bagi industri global untuk berinvestasi.
Dengan demikian, percepatan pengembangan PLTS tidak hanya berkontribusi pada pencapaian target bauran energi, tetapi juga membuka peluang pengembangan industri pendukung, seperti manufaktur modul surya, inverter, baterai, hingga semikonduktor. (adl/ ed:aj, tnt)
Tautan:
