Peneliti BRIN : Bioaktivitas Ekstrak Tempe Mampu Hambat Pertumbuhan Kanker

Tangerang Selatan – Humas BRIN. Tempe merupakan makanan fermentasi berbasis kedelai yang populer di Indonesia. Tempe yang difermentasi menggunakan kapang Rhizopus sp ini orisinil berasal dari pulau Jawa. Masyarakat biasa mengkonsumsinya setelah diolah terlebih dahulu dengan cara digoreng, ditumis, atau lainnya.

Kepala Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ratno Nuryadi, mengungkapkan bahwa tempe merupakan salah satu pangan asli Indonesia yang perlu diangkat. “Terkait isu pangan, tempe merupakan salah satu makanan yang disukai dan biasa dikonsumsi oleh banyak orang,” ucapnya pada webinar ORNAMAT seri 15 pada Selasa (18/10).

Menurutnya, melalui acara webinar ini, peserta akan mendapatkan pengayaan pengetahuan tentang riset terkait dengan tempe. “Bagaimana pengkajian tempe secara saintifik mampu membuka peluang-peluang yang lebih lebar lagi. Baik dari sisi ilmiah maupun dari sisi komersialisasi ke depan. Selain orang Indonesia, banyak juga orang asing yang suka dan banyak ekspor, apalagi potensi sebagai suplemen kesehatan,” ungkap Ratno.

Pada kesempatan itu, peneliti dari Pusat Riset Kimia Maju, Anastasia Fitria Devi, menyampaikan  penelitiannya dengan judul ‘Bioaktivitas Ekstrak Tempe dengan Waktu Fermentasi Diperpanjang’.

Biasanya proses fermentasi tempe dilakukan pada suhu sekitar 30 derajat celcius selama 48 jam. “Tempe 48 jam bisa langsung dikonsumsi, namun umumnya tempe diolah lebih lanjut dengan cara dimasak. Apabila fermentasi berlangsung selama 72 jam, maka disebut ‘tempe semangit’,  dan apabila berlangsung 120 jam, maka disebut tempe bosok”, terang Anastasia.

Menurutnya, akhir-akhir ini sempat viral memakan tempe langsung, dengan tidak diolah lagi, di kalangan penggemar makan sehat atau pun yang sedang diet.

“Sejak zaman dahulu mengkonsumsi tempe tanpa diolah membantu pencernaan untuk orang-orang yang sedang mengalami permasalahan dengan perut seperti perut begah dan sebagainya,” tuturnya.

“Bioaktivitas tempe ini sudah meningkat dibandingkan dari kedelai. Sebagian besar literatur mengatakan bahwa itu karena proses fermentasi, baik proses fermentasi yang seharusnya 48 jam atau pun proses fermentasi yang diperpanjang,” imbuhnya.

Dalam risetnya, Anastasia menggunakan metode pembuatan tempe hingga dihentikan fermentasinya. Pada ekstraksi tahap pertama dilakukan dengan menggunakan aseton. Dalam ekstraksi ini menghasilkan campuran ekstrak aseton dan kemudian minyak tempe.

Pada ekstraksi tahap dua yang mengguakan n-Heksana diperoleh dua macam hasil, yaitu ekstrak aseton dan minyak tempe. Dari ekstrak aseton dan minyak tempe dilakukan dua analisis bioaktivitas, yaitu sitotoksisitas terhadap sel kanker payudara MCF-7 dan aktivitas antioksidan terhadap radikal bebas 1,1 diphenyl-2-piccrylhydrazyl (DPPH).

“Pertama, untuk uji sitotoksisitas terhadap sel kanker payudara MCF-7, menggunakan metode kultur sel dengan membiakkan sel kanker payudara MCF-7,” ucap Anastasia.

“Ketika kontrol tidak diberi apa-apa, terlihat sel payudaranya menutupi permukaan petri disk (cawan petri), kemudian diberikan ekstrak tempe yang telah diuji. Ini menunjukkan apabila diberikan ekstrak tidak toksik (20%), hanya menghambat pertumbuhan sedikit saja, populasinya mulai berkurang tetapi hanya sedikit saja. Namun apabila dilajutkan dengan diberikan ekstrak yang sangat toksik (95%), ternyata sel kankernya yang dapat bertahan hidup hanya sedikit,” urainya.

Cara kedua yakni menggunakan uji antioksidan terhadap radikal DPPH dengan menggunakan microplate. “Apabila tidak ditambahkan ekstrak apa pun, maka radikal bebas ini akan terlihat berwarna ungu, namun apabila diberikan ekstrak yang memiliki kemampuan untuk menetralisir radikal bebas, maka warna dari radikal bebas akan berkurang intensitas ungunya dan semakin lama menjadi kekuningan,” papar Anastasia

Selain itu, analisis kandungan senyawa bioaktif bisa juga menggunakan liquid chromatography with tandem mass spectrometry (LC-MS/MS) yang merupakan fasilitas di BRIN. Ketika hasil ini kemudian diolah secara statistik yaitu dengan metode Analysis of Variance (ANOVA) dan Partial Least Square Regression (PLSR) Analysis.

Hasil ekstrak aseton telah diuji sitotoksisitasnya terhadap sel kanker payudara MCF-7. Diekspresikan oleh IC50 sebagai konsentrasi berapa akan menghambat populasi sel sampai dengan 50 persennya. “Apabila menggunakan IC50 yang lebih kecil, artinya ekstrak tersebut lebih aktif. Ini ditunjukkan bahwa nilai terendah dimiliki setelah tempe difermentasi selama 108 jam,” terangnya.

Anastasia menyebut bahwa dalam tempe ini sudah sering diinfokan mengandung komponen aktif isoflavon. Maka ia juga melakukan analisa terhadap zat standar isoflavonnya. “Kami melakukan uji sitotoksisitas standar isoflavon, yaitu daidzin, genistin, daidzein, dan genistein,” sebutnya.

Untuk melihat kandungannya, beberapa ekstrak diuji dengan LC-MS/MS. “Dengan respon LC-MS/MS ekstrak aseton tempe, ternyata respon untuk isoflavon daidzin itu memang kecil. Sedangkan untuk ketiga isoflavon yang lain (genistin, daidzein, genistein) relatif lebih tinggi, walaupun ada penurunan dari 0 sampai 48 jam, kemudian semuanya naik terutama di 108 jam dan 120 jam,” jelas Anastasia.

“Ekstrak aseton tempe di 108 dan 120 jam adalah yang terbaik dari sisi sitotoksisitas dan antioksidan. Keduanya dikarakterisasi dengan respons daidzin yang rendah, serta respon genistein, genistin, dan daidzein yang tinggi,” ulasnya.

Dalam penelitian ini juga mempunyai hasil minyak tempe dari berbagai waktu fermentasi (0, 24, 48, 60, 72, 84, 96, 108, 120, dan 156 jam). “Kami juga melakukan uji sitotoksitivitas minyak tempe, yaitu pada 0 dan 120 jam ternyata terjadi peningkatan aktivitas, siktotosisitas yang sebelumnya IC50-nya di atas 100 ppm kemudian turun sekitar 4 ppm setelah difermentasi selama 120 jam,” kata Anastasia.

“Pada uji aktivitas antioksidan juga menunjukkan bahwa fermentasi ini meningkatkan aktivitas aktioksidan pada minyak tempe, yaitu semakin lama fermentasinya, maka aktivitas antioksidannya semakin tinggi, terutama dari 120 sampai dengan 156 jam,” imbuhnya.

Anastasia menyimpulkan waktu fermentasi yang diperpanjang dapat meningkatkan bioaktivitas ekstrak aseton dan minyak tempe. “Waktu fermentasi 108 dan 120 jam memberikan sitotoksisitas terbaik terhadap sel kanker payudara MCF-7, serta kedua ekstrak aseton tempe pada 108 dan 120 jam  menunjukkan keberadaan antioksidan yang cukup tinggi,” pungkasnya. (hrd/ed:adl,pur)

Sumber : https://www.brin.go.id/news/110582/peneliti-brin-bioaktivitas-ekstrak-tempe-mampu-hambat-pertumbuhan-kanker