Tangerang Selatan – Humas BRIN. Jumlah kekayaan intelektual (KI) yang didaftarkan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) setiap tahunnya terus bertambah. Namun, banyak dari KI tersebut yang belum termanfaatkan oleh industri dan masyarakat. Hilirisasi atau komersialisasi hasil riset menjadi tantangan yang perlu mendapat perhatian, agar keberlanjutan riset terus berjalan.
Pemanfaatan atau komersialisasi hasil riset menjadi bahasan utama pada forum pertemuan ilmiah riset dan inovasi ORNAMAT Seri #24 yang dihelat secara daring, Selasa (28/02).
Peneliti Ahli Utama dari Pusat Riset Material Maju – Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material (ORNM) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), sekaligus pendiri PT Nanotech Indonesia Global yang telah go public, Nurul Taufiqu Rochman, berbagi pengalaman upaya komersialisasi produk riset dan inovasi masuk ke dalam dunia industri.
Sebagai entrepeneur dalam bidang bidang nanoteknologi, Nurul yang mengantongi 40 paten, 100 paper internasional, dan 180 paper nasional ini menyampaikan pengalaman, tips dan trik bagaimana membawa berbagai hasil riset untuk berkolaborasi dengan stakeholder dunia industri hingga komersialisasi hasil riset dan inovasi atau penelitian dan pengembangan.
Pada paparannya, Nurul menjelaskan, inovasi merupakan serangkaian proses mulai dari identifikasi permasalahan dalam kehidupan melalui litbang hingga menyelesaikan masalah tersebut. “Inovasi muncul melalui penciptaan produk, layanan, atau jasa yang memiliki nilai kebaruan dan ekonomi, sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia. Inovasi hasil riset bisa membuat loncatan dari basic riset ke komersil,” ungkapnya.
Nurul yang pernah menerima berbagai penghargaan internasional termasuk Habibie Award menerangkan bahwa tantangan riset berada pada komersialisasi hasil riset. “Logika dasar inovasi adalah basic research-applied research-development-commercialization. Pada umumnya riset masih berada pada level basic, maka tantangan terbesar adalah hilirisasi dan komersialisasi,” ucapnya.
Dijelaskan Nurul, tahapan komersialisasi hasil riset bisa dimulai dengan pendaftaran HKI ke paten. “Tujuan utama paten bukan untuk komersial. Tujuannya untuk melindungi hasil litbang yang baru dan bermanfaat, mengukuhkan kepemilikan negara dan pengakuan terhadap peneliti serta bisa dijadikan jaminan, saluran pengetahuan yang bebas akses bagi publik, menjadi indikator luaran lembaga litbang dunia, menjadi mosaik rekam jejak hasil kerja peneliti,” ungkap profesor riset ini.
Hasil Litbang ke Dunia Industri
Di dalam sebuah lembaga riset, bagi Nurul, mutlak diperlukan center for innovation yang membawa hasil litbang ke dunia industri. “Center for innovation ini memiliki dua aktivitas utama, yaitu alih teknologi untuk yang sudah ada industrinya, dengan kegiatan seperti promosi inovasi teknologi, valuasi HKI serta ekspos teknologi atau temu bisnis, dan inkubasi teknologi dengan kegiatan seleksi dan identifikasi teknologi, valuasi HKI, serta pendampingan kegiatan pra inkubasi,” paparnya.
Lebih lanjut, Nurul menjelaskan kesulitan membawa hasil riset ke masyarakat dan industri. “Di antaranya mekanisme alih teknologi belum banyak diketahui, belum ada pedoman dan mentor yang mumpuni, peneliti tidak memiliki jiwa teknopreneur serta regulasi dan kebijakan yang belum mendukung,” sebutnya.
Menurut Nurul, ada dua cara untuk melakukan valuasi dan validasi hasil riset untuk bisa dibawa ke industri. “Cara pertama yaitu valuasi teknologi secara teknik, Technology Readiness Level, didasarkan pada kesiapan teknologi dari produk alat hasil litbang sebelum dimanfaatkan oleh pengguna. Kedua yakni validasi komersial, secara ekonomi, Commercialization Readiness Level, didasarkan pada bukti-bukti produk hasil litbang, sesuai dengan permintaan pengguna,” ulasnya.
Nurul menjelaskan bagaimana praktik dan model komersialisasi hasil litbang. “Model pertama, langsung ke industri, dengan MoU, pada pola ini peneliti kurang diuntungkan, karena hanya bersifat transfer teknologi. Model 2, peneliti menjadi pengusaha, mencari investor melibatkan tiga pihak, yakni inventor, pengguna dan investor. Model 3, membangun pusat inkubasi, industri membuat start up yang dikelola bersama. Model 4, peneliti bersama teknopreneur mendirikan industri start up,” jabarnya.
Nurul menegaskan bahwa untuk membawa hasil riset kepada dunia industri, agak sulit bagi peneliti untuk berjalan sendiri, harus membutuhkan mitra strategis (strategic partner). “Manajemen modern saat ini membutuhkan pendamping yang kita kenal dengan start up sebagai mitra. Fungsi mitra adalah mencari dana pendamping untuk melewati the death of valley komersialisasi hasil litbang,” katanya.
“Kemudian pada tahun berikutnya, diharapkan startup menemukan private sector untuk mendapatkan pendanaan pendamping, selain yang berasal dari public sector dengan output berupa contoh produk yang teruji pasar, market captive, bisnis berjalan, dan punya rencana bisnis,” jelas Nurul yang bersama timnya sukses membangun 18 perusahaan start up.
Kepala Pusat Riset Material Maju BRIN, Wahyu Bambang Widayatno menilai forum pertemuan ilmiah kali ini sangat menarik, karena sebelumnya ornamat banyak membahas riset skala lab. “Topik kali ini menarik, bagaimana membawa hasil riset dari lab ke industri. Semangat membuat ekosistem riset yang lebih baik khususnya di ORNM dan BRIN serta Indonesia dalam skala luas,” ujar Wahyu.
“Pada akhirnya kita berharap semua aktivitas riset ini bisa membuat ekonomi RI bisa maju dan bisa merasakan manfaat, tidak hanya pada stakeholder yang melakukan riset dan inovasi, namun juga bagi teman-teman di luar yang belum tersentuh efek baik dari riset dan inovasi yang kita lakukan. Perlu dipikir ulang apa yang sudah dilakukan, riset dan inovasi tidak hanya sebatas terhenti pada memenuhi angka kredit. Aktivitas riset dilakukan untuk meningkatkan daya saing ekonomi yang bisa membawa kesejahteraan bersama,” pungkas Wahyu. (jp/ed:adl,pur)