Tangerang Selatan – Humas BRIN. Salah satu Rencana Strategis Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Tahun 2021-2024 adalah mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan kompetitif. Oleh karena itu, karya SDM yang berkaitan dengan teknologi dan inovasi hasil riset harus terus diupayakan agar mampu direkognisi dalam standar global.
Riset merupakan cara berkomunikasi sains. Saat ini ekosistem riset di BRIN dalam semua aktivitasnya (seperti pendanaan riset dan manajemen talenta), mendorong pembuatan KTI sebagai output dari masing-masing kegiatan. Hal ini menjadikan KTI sangat krusial bagi siapapun, terutama para periset.
Rike Yudianti, profesor riset dari Pusat Riset Material Maju – Organisasi Nanoteknologi dan Material (ORNM) BRIN menyampaikan pada Peraturan BRIN Nomor 1 Tahun 2023 semua SDM iptek, tidak hanya peneliti, tetapi siapa pun sebagai pelaku riset invensi dan inovasi, mempunyai tugas menghasilkan KTI dan paten yang harus dipenuhi setiap tahun.
“Jadi bagaimana hasil dari lembaga litbang ini ditulis dan memenuhi standar global, tentunya ini menjadi PR kita semua,” ujar Rike dalam acara Webinar ORNAMAT ke-30, Penulisan Artikel Ilmiah pada Jurnal Internasional, Selasa (20/06).
Pengertian karya tulis ilmiah menurutnya adalah ungkapan ide atau hasil analisis, yang dituangkan dalam bentuk tulisan secara sistematis yang bisa dimengerti oleh pembaca, dan logis. Peneliti bidang material tersebut menjelaskan bagaimana menuangkan ide dalam bentuk tulisan agar mudah dipahami oleh pembaca.
Pertama, Rike mengungkapkan alasan menulis KTI bagi peneliti di antaranya adalah visibilitas dan kredibilitas. Rike menjabarkan bahwa KTI merupakan kebutuhan, kepuasan, dan keuntungan. “Keuntungan bagi penulis adalah visibility, karena orang lain ingin tahu apa yang kita lakukan, katakan, dan siapa diri kita. Sementara credibility lebih banyak terkait trust (kepercayaan) terkait apa yang kita lakukan dan kita akan lakukan,” ungkapnya.
Secara dinamis, dalam suatu penulisan KTI, kadang-kadang terjadi accepted (diterima) dan rejected (ditolak). “Ini sesuatu yang biasa, karena siapa pun yang bereputasi tinggi, pernah ditolak atau rejected oleh reviewer, itu perlu latihan, termasuk saya sendiri,” tegasnya.
Tahapan Menulis KTI
Dalam menulis karya tulis ilmiah tentu ada hal yang menjadi motivasi. “KTI menjadi syarat administratif sebagai SKP (sasaran kerja pegawai). Kemudian juga bisa menjadi kepuasan, apabila KTI kita diterima dan disitasi. Lalu KTI bisa menjadi keuntungan untuk peluang kolaborasi, promosi, dan naik pangkat. Ini menjadi motivasi kita semua,” ungkap Rike.
Self motivation atau memotivasi diri sendiri versi Dawid Hanak dapat dibangun melalui perencanaan jadwal untuk menulis. “Tidak harus sempurna, dalam KTI ada kerangka abstrak, metode, hasil, dan diskusi. Itu ditulis dulu apa yang mau kita bahas, agar alurnya mengalir dan aspek yang penting dalam riset tidak lupa ditulis. Riset perlu dikerjakan bersamaan dengan menulis, agar tidak kehilangan momen,” pesan Rike.
Sebelum mendaftarkan jurnal, Rike mengingatkan agar para penulis bisa menjawab beberapa pertanyaan berikut. “Apakah kita mengerjakan sesuatu yang baru? Apakah ada yang menantang dalam pekerjaan kita? Apakah hasil memberikan dampak atau pengetahuan untuk pembaca? Dan apakah kita memberikan solusi dari permasalahan?” tuturnya.
Agar mengurangi masalah yang umum terjadi dalam KTI, seperti kesalahan tata bahasa, pengulangan kata, dan kurangnya daftar pustaka, lulusan doktor dari Kyoto University Jepang ini menyatakan perlunya sesama penulis (author) saling membaca KTI-nya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan mengenai peer review atau penelaahan oleh pakar dalam bidang yang sesuai. “Proses ini adalah tahapan agar riset sesuai standar komunitas akademik. Dimulai dari mendaftar (submit) menyesuaikan petunjuk penulisan (author guideline). Kemudian editor in chief memeriksa orisinalitas, kebaruan dan ruang lingkupnya, apabila tidak sesuai maka artikel langsung ditolak. Jika sesuai, akan diteruskan ke associate editor yang mengawal secara teknis dan mencari reviewer yang tepat. Kemudian dilakukan tahapan review untuk feedback (umpan balik), hingga jurnal terbit,” ulasnya.
Editor in chief ‘Building and Environment’ Elsevier, Bert Blocken, dikutip oleh Rike, berpendapat ada 9 kriteria publikasi yang buruk. Pertama penulis tidak membaca literatur publikasi sebelumnya. Dua, banyaknya plagiasi. Tiga, mengabaikan kebaruan di dalam artikel. Empat, disrespek dengan publikasi sebelumnya. Lima, klaim berlebihan data yang dihasilkan. Enam, ambigu dan tidak konsisten untuk istilah pada obyek yang sama. Tujuh, salah dalam mereferensi publikasi yang lain. Delapan, subyektif dalam menilai. Dan sembilan, tidak memerhatikan tata bahasa, gambar, dan tabel. (adl/ed:aps)
Tautan:
https://brin.go.id/news/113067/brin-dorong-hasil-riset-direkognisi-global-melalui-kti